40 – Dari start palsu ke perkembangan tinggi

Jager 18-A 02-L
Boven Digoel dilihat dari udara, sekitar 1960.

Intro

“Semua penduduk Boven-Digul – tentara, warga sipil, dan para interniran – hidup, menantikan kedatangan Kapal-Putih. Kapal ini adalah satu-satunya ‘pegangan’ kami: satu-satunya hubungan yang teratur dengan dunia luar, meskipun kapal itu hanya delapan hingga dua belas kali setahun datang naik kali Digul. Jauh sebelumnya, orang yang mengawasi dengan teliti di antara kami sudah bisa mendengar kedatangan kapal. Dan ketika suara berat peluit kapal kedengaran dari kejauhan, kami semua melompat dan terpukau oleh kegembiraan!
Sulit untuk membayangkan apa artinya bagi kami untuk selalu terputus dari setiap kontak dengan sesama manusia di daerah lain. Dan hidup di luar jalur kehidupan sosial normal berubah begitu saja dengan kedatangan kapal seperti itu.
Ketika kapal uap yang terang-benderang berlabuh di sungai yang biasanya gelap dan menyeramkan pada malam hari, kami – para pengasingan – pergi ke tepi sungai untuk menikmati pemandangan yang menarik ini. Kegiatan hidup di atas kapal juga memikat kami, karena kontras yang tajam dengan kehidupan kami yang berjalan begitu lambat di pemukiman.
Pada saat kapal akan berangkat, banyak penduduk pemukiman berdiri di dermaga untuk mengantar awak kapal dan beberapa penumpang. Kapal berbelok tajam melawan arus, dengan peluit yang menggema keras, yang kami anggap seperti sebuah putaran penghormatan. Kemudian kapal berlayar dengan kecepatan penuh sambil disambut teriakan dan sorak-sorai, melewati dermaga. Kami terus berteriak selamat jalan sampai kapal menghilang di tikungan berikutnya. Setelah itu, suasana tiba-tiba hening.
Lalu kami berjalan pelan-pelan, sering kali dengan perasaan sedih, menuju rumah. Kegembiraan umum tiba-tiba hilang. Semua penduduk pemukiman tampaknya merasa sedikit ‘mabuk’ secara moral. Bahkan beberapa hari berikutnya, suasana di pemukiman tetap terasa sepi…”
(I.F.M. Salim, yang selama 15 tahun interniran di Boven Digul)
witte boot - Schoonheiyt-BD 40-L
Kapal uap Fomalhaut (‘kapal putih’) berlabu di Tanah Merah.
Digoel Met Fomalhaut - KITLV-L
Pelabuhan Tanah Merah, dengan kapal Fomalhaut di Digul, sekitar 1929.

1. Apa yang mendahuluinya.

Medan yang terbuka

Kebun contoh

Menurut rencana pemerintah Belada, interniran di Boven-Digoel harus berkembang menjadi sebuah koloni yang makmur. Oleh karena itu, pada tahun 1928 seorang dari dinas pertanian datang untuk bikin kebun contoh dengan padi dan tanaman-tanaman lain. Harapannya, kebun itu akan mendorong para tawanan untuk mengikuti contoh ini, dan dengan cara tersebut, dalam waktu singkat kamp ini  dapat menjadi mandiri secara ekonomi. Namun, rencana ini gagal total: para interniran hanya berpikir untuk kembali ke tempat asal mereka dan tidak ada yang berniat untuk bikin kebun di sini.
Blok In Boven Digoel - KITLV-L
Lapangan main tenis dari asisten-residen J. Blok. dari kiri ke kanan: (agaknya:) Pieter Juriaan Blok, 1912) Wilhelmina Anna Blok (1909), Elsa Bertha Carolina Blok (1914), Anna Elisabeth Blok (1910), Anna Catharina Blok-Caspari (1885-1931), Juriaan Blok (1916), Juriaen Blok (1881-1953).

Proyek Pertanian

Asisten-residen J. Blok memilih pendekatan yang berbeda. Ia mengurus para tawanan membersihkan dan membuka lahan yang luas di sebelah timur gedung-gedung pemerintahan; mereka kerja dengan bayaran dan atas dasar sukarela. Kemudian dia suruh mereka tanam padi, jagung, dan ubi di sana, dan mereka dibayar untuk pekerjaan itu. Maksudnya, hasil panen itu nanti para interniran bisa beli dengan harga murah dari pemerintah. Sekitar 400 hingga 600 orang bekerja dalam proyek ini. Mereka memuja-muja ‘Papa Blok’, dan proyeknya tampaknya akan berhasil.
Namun, Blok jatuh sakit. Dia harus pergi ke Batavia dan pada pertengahan tahun 1931 dia diganti oleh seorang kepala pemerintahan yang baru. Hasil dari pertanian itu kurang memuaskan, dan ketika beberapa ratus interniran dipulangkan ke Jawa, suasana di Boven-Digoel berubah dan semangat untuk bekerja menurun. Akibatnya, lahan pertanian itu dibiarkan terbengkalai selama bertahun-tahun dan ditumbuhi oleh semak-semak.

Demam emas

Alfred Violette

Di New York pada saat itu tinggal seorang pengusaha yang flamboyan, tetapi tidak selalu sukses dalam usahanya, namanya Alfred Violette (1882-1939). Dia bergerak di bidang perdagangan kayu dan mengunjungi Borneo (kini Kalimantan). Saat pulang, ia melakukan perjalanan melalui Australia dan mendarat di Thursday Island, dekat ujung paling utara Queensland, Australia. Setelah pulang ke rumah, dia menceritakan bahwa dia telah memanfaatkan kesempatan itu untuk menyeberang selat dengan pesawat amfibi dan melakukan penerbangan keliling di atas pulau Papua. Di bagian pulau yang termasuk wilayah pemerintah Belanda, dia menemukan sebuah danau; mereka turun di sana, dan di situ dia menemukan emas!
Ichth16 - 04-L
Alfred Violette
Pada bulan April 1931, Violette pergi ke Kementerian Koloni di Den Haag untuk mendapatkan konsesi (izin untuk membuka tambang) untuk wilayah itu, namun upayanya tidak berhasil. Dia tidak mau menyerah, dan di Amerika dia berhasil meyakinkan beberapa pengusaha dengan ceritanya. Maka di tengah-tengah tahun-tahun krisis, sindikat Violette didirikan untuk membiayai ekspedisi mencari emas ke Papua.

Billiton

Pada saat yang sama, seorang pengusaha Inggris berunding dengan Billiton, suatu perusahaan pertambangan Belanda yang memainkan peran penting di Hindia Belanda pada abad ke-19 dan ke-20. Dia mau dapat konsesi pertambangan besar di Papua, dan tidak dapat mengabaikan perusahaan itu. Mereka mendengar tentang Violette dan sindikatnya. Ceritanya terdengar cukup fantastis, tetapi jika apa yang dia ceritakan benar, maka akan banyak manfaat dalam bekerja sama dengannya karena dengan demikian mereka dapat mencari emas dengan lebih tepat. Mereka mengundang Violette ke Den Haag karena mereka ingin tahu persis di mana dia menemukan emasnya.
Violette mengatakan bahwa pada penerbangan keliling itu mereka pertama-tama mengikuti sungai Fly (di bagian Papua yang dikuasai Australia) dan kemudian terbang ke arah barat. Di sana mereka turun di sebuah danau, kemudian dia berjalan kaki ke sungai dekat di situ, dan di sanalah dia menemukan emas. Katanya, mereka juga menembak seekor rusa di sana.
Dia memberi kesan yang dapat dipercaya dan berhasil mengemukakan ceritanya dengan daya meyakinkan. Sebuah kontrak dibuat; konsesi kecil dari sindikat Violette menjadi bagian di dalam wilayah konsesi pertambangan yang jauh lebih besar dari sindikat Billiton. Berdasarkan petunjuk Violette, mereka memutuskan untuk memulai pencarian itu di sungai Lorentz.
Scan6908-L Bewerkt-1 AI 2 AI Indo
Wilayah kosesi Billiton (hijau), dan didalamnya wilayah kosesi Violette (merah).

Penjelajahan

KNILM

Ketika Theo Becking pada tahun 1936 atas perintah perusahaan Erdmann & Sielcken (perusahaan yang mewakili Billiton di Batavia) pergi ke Papua untuk melakukan penjelajahan (bnd. posting 23), dia juga periksa kemungkinan ekspedisi nanti menggunakan pesawat terbang. Di Ambon, dia bertemu dengan Residen Haga. Dia mendengar dari dia bahwa mereka belum menemukan lahan yang cocok untuk bandara di Merauke, tetapi sedang membangun lapangan pendaratan darurat di Tanah Merah.
Pada bulan Juli 1928, Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (Perusanaan Penerbangan Hindia Belanda) didirikan, yang kemudian pada bulan Oktober tahun itu mendapat predikat ‘Kerajaan’. Singkatannya: KNILM, yang menurut orang yang mengolok-olok berarti: Kalo Naik Ini Lekas Mati. Sebelum didirikan secara resmi, KNILM telah memesan empat pesawat F.VIIb dari pabrik pesawat terbang Fokker di Belanda. Pesawat-pesawat itu tiba di Batavia pada akhir September dan awal Oktober, dan pada tanggal 1 Nopember 1928, dua rute penerbangan pertama dibuka: dari Batavia (Tjililitan) ke Semarang dan ke Bandoeng. Beberapa tahun kemudian, jaringan rute penerbangan diperluas dengan penerbangan ke Palembang dan Medan.
Krisis ekonomi juga terasa di Hindia Belanda, tetapi mulai tahun 1936, pembangunan beberapa bandara baru dimulai, di antaranya Kemayoran di Batavia. Tanah Merah juga masuk dalam perencanaan. KNILM telah merencanakan rute di sana. Tetenburg, seorang pilot angkatan laut yang terkenal saat itu, telah periksa dan menyetujui lokasi itu.1

 

Wesselink-NNG-182-L
Rute perjalanan KNILM ke Tanah Merah yang direncanakan tetapi yang tidak pernah direalisasikan.
Meskipun demikian, ada orang yang ragu apakah lapangan terbang itu akan cukup keras untuk pesawat bisa mendarat di sana. Pada umumnya, di wilayah selatan Papua mereka rasa lebih baik menggunakan pesawat amfibi daripada dengan ongkos besar membangun lapangan-lapangan terbang.
JvBaal Tanah Merah 1937 Lapangan-L
Tanah Merah, 1937. Orang bekerja di lapangan untuk ratakannya.

 

Tanah Merah

Setelah tiba di Tanah Merah, keesokan harinya, Becking pergi melihat bandara yang sedang dalam pembangunan dan melihat bahwa ada lahan seluas 200×700 meter yang telah dibersihkan dari pohon dan akar-akarnya. Hal ini sudah terduga, karena pekerjaan berat telah dilakukan tujuh tahun sebelumnya. Meskipun demikian, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan sebelum pesawat dapat mendarat di sini. Landasan belum rata dan hanya ada sekitar 70-80 orang yang bekerja. Becking memperkirakan akan memakan waktu setengah tahun lagi sebelum mereka dapat menyelesaikan landasan selebar 100 meter.
Dia memang anggap tanah di Tanah Merah sangat cocok untuk landasan: dalam jangka panjang, tanah liat merah itu akan menjadi sangat keras. Dia memberikan saran untuk memesan biji rumput di Buitenzorg. Selain itu, ada cukup banyak batu kerikil di kali Digul; permukaan semua jalan di Tanah Merah telah dikeraskan dengan batu-batu, sehingga bisa digunakan di landasan juga jika perlu. Namun, secara keseluruhan, dia lebih cenderung ekspedisi nanti menggunakan pesawat amfibi.
Opa Becking Maart1937 Nr1-L - Nrs
Kelompok ekspedisi Goldmine waktu berangkat dengan kapal KAMPAR dari Batavia pada tanggal 18 Maret 1937.
1. Schreurs, pengawas; 2. Terpstra, insenyur; 3. Tauw (tidak ikut); 4. Goudentak, insenyur; 5. Van Lonkuyzen, dokter; 6. Fedoroff, Marconis; 7. Feldhusen; 8. Theo Becking, pemimpin; 9. Menschaar (tidak ikut); 10. Fechner (tidak ikut)
68-Kampar Vertrek6-L - Nrs
Kapal KAMPAR berangkat dari Batavia dengan anggota ekspedisi Goldmine, tgl 18 Maret 1937.1. Becking; 2. Fedoroff; 3. Terpstra; 4. Goudentak; 5. Van Lonkhuyzen.

 

2. Gagal?

Ekspedisi pertama

Sungai-sungai

Pada bulan Maret 1937, ekspedisi emas berangkat dari Batavia dengan kapal Kampar yang disewa dari KPM. Sayangnya, Violette sendiri tidak bisa ikut: dia lapor diri sakit. Mereka harus mengandalkan apa yang telah dia ceritakan dan tunjukkan di peta; penjelasannya itu global saja.
Selama empat bulan, mereka menyelidiki bagian hulu sungai Lorentz (kini: Unir) dan sungai Noordoost, Reiger, Van der Sande, dan Schultz. Mereka membawa sekitar 250 pekerja: 200 orang Dajak dan 50 orang Sunda, sedangkan untuk keamanan mereka ditemani dua brigade tentara pribumi.
Ekspedisi ini menhasilkan banyak data berharga, tetapi mereka tidak temukan emas di seluruh wilayah konsesi sindikat Violette.
Detail-schatkaart-billiton-1024x881-L-1
Daerah kosesi sindikat Violette.

Danau

Sebelum ekspedisi dimulai, Angkatan Laut melakukan beberapa penerbangan pengintai untuk memetakan sungai Lorentz. Pada salah satu penerbangan itu, mereka menemukan sebuah danau yang dinamai danau Dusseldorp, berdasarkan nama petugas penerbangan Letnan Willem Dusseldorp yang saat itu menjadi komandan eskadron. Apakah ini mungkin danau di mana Violette menemukan emas?2

 

Ichth16 - 03-L
Pilot Willem Dusseldorp
Pada tanggal 14 Mei, dua pesawat Dornier dari Angkatan Laut mendarat di kamp dasar ekspedisi di sungai Lorentz. Becking ikut dengan salah satu dari pesawat itu ke danau Dusseldorp, dan dengan perahu karet mereka menjajaki danau itu. Ternyata tepiannya berawa dalam sehingga mereka tidak bisa berlabuh di darat. Oleh karena itu mereka simpulkan bahwa ini bukan danau dari cerita Violette. Setelah lebih dari satu jam, mereka terbang kembali, dan pilot memerlukan semua keterampilannya untuk mencapai ketinggian yang cukup dan menghindari bukit-bukit keliling danau itu.
Bahkan pada penerbangan pengintai terakhir pada bulan November, danau Violette tidak ditemukan.
British Admiralty Map 1934 - Violettesyndicate-L
Peta laut dengan Papua, dari British Admiralty 1934. tanpa data-data sungai di pedalaman.

Violette

Ketika mereka tidak menemukan emas dan tidak berhasil melokalisasi danau Violette, mereka mulai meragukan kebenaran cerita Violette. Direktur Billiton pergi ke New York untuk menghadap Violette dengan hasil negatif dari ekspedisi. Violette menjawab bahwa mungkin dia keliru; katanya, pada saat penerbangan keliling itu dia hanya membawa peta laut yang tidak menunjukkan sungai-sungai di pedalaman. Menurut dia, mungkin perlu mencari lebih ke arah timur.
Direktur Billiton itu yakin bahwa Violette tidak berbohong. Berdasarkan laporannya, para pemegang saham sindikat Billiton setuju untuk mendanai penelitian lebih lanjut di wilayah yang berada di luar konsesi sindikat Violette. Sindikat Violette dibubarkan.

Ekspedisi kedua

Sungai Pulau (kali Eilanden)

Sebelum pindah dari Sungai Lorentz ke Sungai Pulau, mereka melakukan beberapa penerbangan pengintai lagi dengan pesawat Fokker dari angkatan laut. Mereka terbang di atas Pegunungan Salju, dari puncak Wilhelmina hingga perbatasan dengan bagian Australia. Saat itu mereka menemukan sebuah anak sungai besar dari Digoel (kali Tsaw, bnd posting 39).
IMG 015883-L
Kali Eilanden dekat Mabül, 2022.
Kemudian, seluruh ekspedisi dengan kapal Kampar pindah ke Sungai Pulau. Di sana, mereka membangun bivak dasar antara muara sungai Brazza dan Kolff, dan dari sana mereka mulai menyelidiki kepala sungai-sungai itu.
Di hulu Sungai Pulau, mereka memang menemukan jejak emas. Sayangnya, pada bulan Desember mereka terpaksa harus berhentikan pencarian itu sebelum waktunya. Orang Dayak tidak mau melanjutkan pekerjaan mereka karena kontrak telah berakhir; mereka tidak tahu tentang perpanjangan dua bulan yang disepakati oleh pimpinan ekspedisi dengan mandur mereka.

Evaluasi

Pada bulan Februari 1938, insinyur pertambangan Terpstra menerangkan semuanya kepada para anggota sindikat Billiton di London. Terutama penemuan emas di Sungai Pulau mengundang penelitian lebih lanjut. Untuk memungkinkan itu, para pemegang saham setuju untuk sekali lagi tambahkan dana. Sebagai pangkalan untuk ekspedisi ketiga ini, mereka memilih Tanah Merah. Di sana ada bandara yang hampir selesai, dan kali ini mereka mau menggunakan pesawat terbang untuk membekali kelompok eksplorasi.
14-vRummelen 6-2-L
Perumahan MMNNG (Mijnbouw Maatschappij Nederlands Nieuw-Guinea) di Tanah Merah, 1938.

3. Tanah Merah

Kesunyian pecah

“Kami benar-benar tidak tahu apa yang terjadi! Kesunyian dan kesepian yang luar biasa tiba-tiba berubah menjadi kesibukan dan kebisingan modern. Berbagai kapal berlabuh di sungai Digoel yang sebelumnya sunyi sepi, dan sejumlah besar material dibongkar di pemukiman. Barang-barang ini kemudian diangkut lebih lanjut dengan truk. Sebelumnya, semua pengangkutan hanya dilakukan dengan kereta sapi yang lambat, sehingga transportasi dengan mobil ini sudah menjadi acara yang sangat bising yang terdengar di seluruh pos.
Di wilayah timur yang luas dan sebelumnya sepi, mereka membangun sebuah bandara. Hanggar pesawat terbang dibangun, beberapa gudang, dan rumah untuk para karyawan.
Selain itu, perusahaan itu juga membangun suatu kantor pos sendiri, stasiun radio, dan peralatan untuk navigasi penerbangan. Semua rumah dengan cepat dihuni. Secara total, sekitar 230 orang tinggal di sana – termasuk beberapa orang Belanda, pekerja Jawa, dan orang Dayak – sehingga ada kerumunan yang menyenangkan di pos yang sebelumnya sepi.”
(I.F.M. Salim)
13-vRummelen 6-1-L
Perumahan MMNNG (Mijnbouw Maatschappij Nederlands Nieuw-Guinea) di Tanah Merah, 1938. Perhatikan papan nama jalan Becking.

Kesibukan

Sejak awal tahun 1938, Tanah Merah mengalami kesibukan yang luar biasa. Truk yang dibawa oleh ekspedisi sangat berguna. Orang-orang Dajak dan Sunda membawa kehidupan dan kesenangan, dan sayangnya kadang-kadang juga adu perselisihan dan pertengkaran. Semua itu menciptakan ilusi sebuah kota besar dan kadang-kadang membuat penduduknya melupakan bahwa mereka tinggal di tempat yang hampir sepenuhnya terisolasi dari dunia luar.
Pemerintah daerah juga mendirikan pemakaman umum tepat di sebelah bandara. Pada tahun 1938 dan 1939, sekitar 20 orang dikuburkan di sana: tentara, seorang pegawai, pekerja ekspedisi, dan beberapa anak-anak dari tentara dan warga sipil. Duapuluh tahun kemudian, Hennie Meijer juga akan menemukan tempat istirahat terakhir di sana.
42-scan 11-3-L
Pemakaman di Tanah Merah, 1938-1939.
IMG 6691-L
Pemakaman tua di Tanah Merah, 2022.
60-2-vRummelen 11-2-L
Rumah-rumah halaman Lapangan Terbang di Tanah Merah sedang dibangun, tahun 1938.
60-3-vRummelen 1-4-L
Lapangan terbang di Tanah Merah baru selesai, tahun 1938

Lapangan terbang

Sementara itu, bandara hampir selesai, lebarnya 100 meter dan panjangnya 800 meter. Benih rumput dari Buitenzorg tidak berhasil, sehingga lLapangan itu sekarang ditutupi dengan gulungan rumput. Karena di Tanah Merah tidak banyak rumput, prosesnya sangat lambat. Akhirnya, bandara harus memiliki lebar 200 meter. Seorang pegawai dari Dinas Penerbangan datang melihat dan memberikan beberapa petunjuk.
Pada akhir bulan November, bandara akhirnya siap digunakan. Perusahaan Erdmann & Sielcken, yang biasa disebut Goldmine, telah menyewa dua pesawat untuk ekspedisi ini.
Wesselink-NNG-012-L
Grumman Goose (foto koleksi Thijs Postma)
Wesselink-Indie-078-L
Pesawat Fokker F.VIIb PK-AFF yang dipakai oleh Goldmine dan yang kemudian celaka waktu mendarat di Kiunga, tgl 26 Oktober 1939.

Start palsu

Pada hari Sabtu, tanggal 24 Desember 1938, pesawat-pesawat itu tiba: sebuah pesawat amfibi jenis Grumman bermotor dua, dan pesawat darat Fokker bermotor tiga, yang disewa dari KNILM. Di bawah perhatian besar, kedua pesawat itu mendarat di bandara baru Tanah Merah. Semua orang senang sekali, karena mereka telah menunggu-nunggu lama untuk ini. Sekarang eksplorasi di hulu kali Digul akhirnya bisa dimulai.
Tapi kemudian pada hari itu, tidak ada yang tersenyum lagi. Pendaratannya memang berhasil, tapi ternyata lepas landas sangat tidak mungkin dilakukan. Lapangan itu sangat lembek akibat hujan deras yang terjadi akhir-akhir ini. Pesawat Fokker tenggelam ke dalam lumpur hingga ke poros rodanya, dan juga bagi pesawat Grumman landasan juga terlalu becek.
Inilah merupakan masalah besar! Pesawat-pesawat ini sangat penting untuk ekspedisi. Tanpa bantuan dari udara, untuk sementara waktu pengiriman makanan ke kelompok-kelompok penjajakan tidak dapat dilakukan.

4. Apa sekarang?

Pesawat Grumman

Tetapi ekspedisi tidak bisa menunda-nunda, jadi mereka ambil keputusan untuk mencoba menyeret pesawat Grumman dari bandara ke sungai. Untuk itu, mereka harus melewati daerah perumahan di daerah Bestuur. Tentu sulit sekali, karena jalanan-jalanan sempit dan tidak dirancang untuk transportasi semacam ini, dan ada pohon-pohon yang menghalangi. Dengan lebar beberapa puluh meter, tebing sungai yang curam harus digali untuk membuat semacam perosotan di mana pesawat dapat diluncurkan perlahan ke sungai. Ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun, akhirnya mereka berhasil: pada hari Rabu, 11 Januari, pesawat amfibi itu dengan bantuan banyak orang diseret dari bandara ke sungai. Semua penduduk Tanah Merah datang untuk menyaksikan transportasi luar biasa ini dan banyak juga orang Papua datang dari hutan untuk melihatnya.
Operasi itu butuh banyak usaha, tapi akhirnya mereka sampai di sungai. Di situ, pesawat itu perlahan-lahan dimasukkan ke air melalui lintasan yang sudah disiapkan.

Grunman Naar De Digoel-1-L

50-scan 13-2-L

49-scan 13-3-L

59-Tanah Merah Vliegtuig Op De Helling-L
Het Grumman amfibie-vliegtuig moet nog deze helling af om veilig in de Digul te komen.

37-scan 4-1-L

08-scan 4-2-L

Ketika pilot menyalakan dan menguji coba kedua mesin, banyak orang Papua panik dan berlari menjauh dari kebisingan yang menggelegar di atas air dan dinding hutan. Dari jauh mereka menyaksikan burung raksasa itu mengebut di atas air baru terbang ke atas.
09-scan 4-3-L
Het Grumman amfibie-vliegtuig start op de Digul.
Wesselink-NNG-164-L
Pesawat Grumman Goose PK-AES yang dipakai oleh Goldmine.

Lapangan terbang

Batu kerikil

Pimpinan ekspedisi senang karena operasi itu berhasil. Setidaknya pesawat ini sekarang bisa digunakan lagi. Tapi pesawat Fokker pasti masih lama tidak akan mengudara: pesawat itu hanya bisa lepas landas setelah lapangan terbang itu diperkuat.
Goldmine mengeluarkan waktu dan biaya banyak untuk memperbaiki bandara yang dibangun oleh pemerintah, tapi ternyata tidak bisa digunakan. Mereka menggali parit selebar 40 meter dan dalam satu meter sepanjang 600 meter, dan kemudian mengisi parit itu dengan batu-batu kerikil – suatu pekerjaan berat.

Sejarah berulang

Semuanya ini sangat mengingatkan pada sejarah lapangan terbang di Wanggemalo, hampir 50 tahun kemudian. Di sana pun tanah liat merah: sangat keras saat kering, tapi agak licin saat hujan. Seperti di Tanah Merah, kami dulu coba tabur benih rumput, tapi benih itu tidak mau tumbuh. Kemudian kami menutup seluruh landasan dengan gulungan rumput dari desa. Akhirnya itu berhasil, dan lapangan terbang itu disetujui secara resmi oleh Penerbangan Sipil. Semuanya tampak baik-baik saja, sampai pada satu saat suatu pesawat Cessna-185 harus menggunakan ‘rake-brake’ (pengereman darurat) saat mendarat di lapangan basah agar tidak masuk jurang di ujung lapangan. Sebelum lapangan itu bisa digunakan lagi, seluruh permukaannya harus diperkuat dengan batu-batu kerikil. Setelah itu, tidak ada masalah lagi.
T4 - NIMH Via Tracesofwar-L
Fokker T.IV dari MLD (Angkatan Laut)

Pesawat Angkatan Laut

Untuk mengatasi periode pesawat darat tidak dapat digunakan, Angkatan Laut menyediakan pesawat terbang Fokker T4 yang berupa amfibi. Pada pertengahan Februari, pesawat ini tiba di Tanah Merah untuk melayani perusahaan dalam memberi bantuan dari udara kepada kelompok eksplorasi yang bekerja di kepala kali Digul. Ketika rehab bandara di Tanah Merah selesai pada akhir bulan Maret dan pesawat Fokker yang terkandasdi sana akhirnya bisa terbang lagi, pesawat militer itu kembali ke pulau Jawa pada tanggal 27 April.
“Kami semua, yang sebelumnya hanya terbiasa dengan suara mesin ringan di kompleks pemerintahan, perlahan-lahan mulai terbiasa dengan semua kebisingan. Juga orang Papua, yang datang dari hutan untuk menyaksikan peristiwa fenomenal ini, mulai menyesuaikan diri dengan situasi baru ini. Saya tidak pernah benar-benar mengerti apa yang mereka pahami tentang semua penerbangan ini. Saya mendapat kesan kuat bahwa mereka menerimanya begitu saja!” (Salim)

Pesawat Fokker

Namun, hambatan berikutnya segera muncul. Kelompok eksplorasi Goldmine telah mencapai daerah pegunungan tinggi, tetapi di wilayah itu ternyata kedua pesawat itu hampir tidak dapat melakukan droping (menjatuhkan makanan dll). Terutama pesawat Fokker yang sudah tua tidak cocok untuk wilayah pegunungan. Oleh karena itu, kelompok eksplorasi terpaksa harus menghentikan penelitian dan kembali ke tempat di daerah yang lebih rendah.
KNILM tidak mau mengakui bahwa pesawat yang mereka kirimkan tidak cocok untuk terbang di sana, tetapi setelah bulan Juni, Goldmine tidak memperbarui kontrak sewa itu.

Gagal!

Goldmine

Sementara itu, penelitian di daerah hulu kali Digul tidak memberikan harapan besar untuk menemukan emas. Karena itu, mereka memutuskan untuk menggeser pencarian ke sisi utara pegunungan. Namun, nasib buruk masih menghampiri Goldmine. Pesawat Fokker dari Tanah Merah tidak dapat memberikan bantuan yang diperlukan. Oleh karena itu, perusahaan terpaksa mulai membangun lapangan terbang di tepi utara Danau Sentani.
Sementara itu, pesawat Grumman bertanggung mengadakan transportasi kelompok eksplorasi dan penyediaan logistik. Namun, pada tanggal 4 Mei, bencana kembali terjadi: saat mendarat di Danau Sentani, pesawat terbalik dan tenggelam. Beruntung, kedua penumpangnya bisa selamat.
IMG 5813-L
Danau Sentani, 2022.
Ternyata, mengganti pesawat amfibi ini tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat. Itu berarti bahwa eksplorasi di utara berakhir, dan mereka kembali ke Tanah Merah untuk meneruskan kerja mereka di kepala kali Digul tanpa bantuan pesawat.
03-vRummelen 5-2-L
Mulai saat itu, pemimpin ekspedisi mulai rasa bahwa semangat kantor pusat Erdmann & Sielcken di Batavia turun. Dan ketika pencarian baru di daerah hulu kali Digoel tidak memberikan hasil yang diharapkan, dan uang mulai habis, sementara ada ancaman perang di Eropa, Goldmine ambil keputusan untuk mengakhiri ekspedisi ketiga ini.

Pesawat Fokker

Setelah berakhirnya kontrak sewa Goldmine dengan KNILM, pesawat Fokker tetap berpangkalan di Tanah Merah. Dari sana, pesawat ini mulai terbang untuk sebuah perusahaan pemetaan di bagian Papua yang di bawah kuasa Australia. Tetapi pada tanggal 26 Oktober 1939, Fokker ini mengalami kecelakaan saat mendarat di lapangan terbang di Kiunga, suatu desa di daerah sungai Fly. Kru terluka dengan luka lecet ringan. Bagi Tanah Merah, untuk sementara waktu ini berarti akhir era penerbangan.

Violette

Seorang insinyur pertambangan dari Goldmine sangat kritis terhadap cerita-cerita Violette dan rencana ekspedisi berdasarkan cerita tersebut:
“Misalnya, selain dari keyakinan yang menurut saya sama sekali tidak bisa dipertahankan terhadap janji-janji Mr. Violet yang tidak berdasar pada apapun, adalah kesalahan yang tidak dapat dimaafkan untuk tetap berpegang pada ide bahwa dataran besar di selatan Pegunungan Tengah mungkin mengandung emas dalam jumlah yang dapat diolah. Karena itulah sebagian besar dari Ekspedisi pertama dan seluruh Ekspedisi kedua menjadi sia-sia.”
Pada tanggal 4 Nopember 1939, Violette didiagnosis mengalami radang usus buntu. Ia menjalani operasi tetapi ada komplikasi yang menyebabkan kematiannya beberapa hari kemudian.
Tinggal pertanyaan apakah dia benar-benar menemukan emas di Papua seperti yang selalu dia klaim. Tak terbayangkan bahwa dia mengarang semuanya. Meskipun dia tidak selalu jujur dengan kebenaran, menyebutnya sebagai penipu mungkin berlebih-lebihan. Dia melihat peluang-peluang yang fantastis dan dengan setulus-tulusnya percaya akan ide-idenya, dan dia juga berhasil meyakinkan orang lain tentang itu. Tetapi pada akhirnya, itu tetaplah fantasi.
Pada tahun 2022, orang daerah ditambah dengan orang dari seluruh pelosok Indonesia ramai datang menambang emas secara ilegal di hulu kali Eilanden dan Ndeiram (kali Becking). Mereka berhasil temukan emas, tetapi rupanya tidak dalam jumlah yang cukup untuk menarik perhatian perusahaan pertambangan resmi untuk menjadikannya proyek komersial.
IMG 015890-L
Orang tambang emas di pinggir kali Eilanden, 2022.

Keheningan yang mencemaskan

“Sama seperti mereka muncul mendadak di Tanah Merah, demikian pula dengan tiba-tiba berangkat lagi. Pembangunan itu diikuti dengan penghancuran keseluruhan. Pada akhir tahun 1939, evakuasi dari Perusahaan sudah selesai dilakukan. Bandara yang dibangun dengan begitu banyak energi dan waktu ditinggalkan dalam kondisi tidak terawat. Hanggar dan beberapa gudang masih berdiri. Bangunan-bangunan yang lain dihancurkan dan materialnya dibawa pergi. Boven Digoel kembali menjadi tempat yang sunyi dan sepi yang keheningannya mencemaskan di tengah hutan belantara!” (Salim)

5. Awal yang baru

Perang

Saat pecahnya perang, bandara Tanah Merah yang tidak dipakai lagi dihancurkan sepenuhnya untuk mencegah Jepang menggunakannya. Tetapi tidak lama setelah pada bulan Juni 1943 seluruh internir di evakuasi ke Australia dengan pesawat Catalina, tentara Australia datang dan memperbaiki serta memperpanjang landasan tersebut. Pada bulan Maret 1944, mereka kerja siang malam dengan gunakan bulldozer dan alat gilas. Pada tanggal 28 April, beberapa hari setelah Jenderal Amerika McArthur merebut Hollandia, sebuah pesawat Douglas mendarat di Tanah Merah. Awal baru untuk bandara di Boven-Digoel.
Wesselink-NNG-178-L
Pesawat Beaver dari Kroonduif.

Kroonduif (Mambruk)

Setelah Hindia Belanda diserahkan kepada Indonesia, selama beberapa tahun tidak ada layanan penerbangan teratur di Papua. Pada tahun  1950 Pemerintah Belanda menyewa pesawat Dakota dari KLM (perusahaan penerbangan Belanda) yang akan terbang dari Biak ke Hollandia, Merauke, dan Sorong. Dua tahun kemudian mereka sewa dua pesawat Dakota lagi. Mulai 1 September 1952, setiap dua minggu KLM terbang rute Biak – Merauke – Tanah Merah, dan pada tahun 1956, frekuensinya meningkat menjadi sekali seminggu.
Pada tanggal 1 November 1954, didirikan Nieuw-Guinea Luchtvaart Maatschappij (NGLM, kemudian menjadi NNGLM: Perusahaan Penerbangan Nederlands Nieuw-Guinea) yang beroperasi dengan nama Kroonduif. Fokusnya pada pesawat amfibi; pemerintah telah membeli dua pesawat Beaver yang dapat dilengkapi dengan roda atau pengapung dan yang diserahkan kepada NNGLM. Kemudian perusahaan memesan dua pesawat Beaver lagi dan tiga pesawat roda Twin Pioneer, dan mengambil alih tiga pesawat Dakota milik KLM yang terbang di Papua. Sesudah beberapa kecelakaan, Kroonduif memiliki 3 pesawat Beaver, 3 pesawat Dakota, dan 2 pesawat Twin Pioneer. Itulah yang harus mereka andalkan hingga tahun 1962.
Wesselink-NNG-318-L
Pesawat pertama dari MAF, tgl 14 Pebruari 1946. Dari kiri ke kanan, mulai dengan yang ke-empat: Elizabeth ‘Betty’ Greene, James ‘Jim’ Truxton, J.Grady Parrott. Pesawat WACO dengan sayap bertingkat.

MAF

CMA

Pada akhir tahun 1938, Walter Post dan Russel Deibler dari Christian and Missionary Alliance (CMA) membuka pos zending di Enarotali di tepi Danau Wissel, yang baru ditemukan pada bulan Desember 1936. Dr. J.V. de Bruijn adalah kepala pemerintah di situ. Hingga pecahnya perang, penerbangan mingguan dengan Grumman dari KNILM menyediakan persediaan yang diperlukan untuk Bestuur dan zending.
Setelah perang, persediaan itu dibuat dengan pesawat Catalina dari Angkatan Laut, tetapi karena para pejabat Bestuur dapat prioritas, biasanya sedikit ruang yang tersisa untuk CMA. Oleh karena itu, CMA membeli pesawat Sealand yang tiba di Papua pada awal tahun 1954. CMA membangun hanggar di dekat danau Sentani.
CMA sudah lama memiliki program penerbangan sendiri. Di Kalimantan, mereka memiliki pesawat amfibi sejak tahun 1939, dan setelah perang mereka menggunakan pesawat Sealand. Sayangnya, pesawat ini harus ditinggalkan pada tahun 1951 setelah harus melakukan pendaratan darurat di tempat terpencil.
Pada tanggal 20 April tahun itu, pesawat ini mendarat di kali Baliem dan membawa beberapa misionaris Amerika yang akan menetap di lembah itu. Satu tahun kemudian, pesawat Sealand ini mengalami kecelakaan, dan pilot Al Lewis meninggal dunia.
CMA juga memiliki pesawat roda, tetapi pada bulan November 1956, pesawat itu hancur total dalam pemberontakan orang Papua di wilayah Paniai. Pesawat baru dipesan dan tiba pada bulan Januari 1957. Namun, pada bulan April, CMA menyerahkan pesawat dan hanggar di Sentani kepada MAF.

Sentani

Sejak bulan Juni 1952, Charley Mellis dari MAF sudah ada di Sentani untuk mendirikan program MAF di Papua.3 Pada tahun 1955, tiga pilot pertama datang, yaitu Dave Steiger, Paul ‘Pablo’ Pontier, dan George Boggs. George Boggs menjadi pilot tetap pesawat yang diambil alih dari CMA. Pada akhir tahun 1958, MAF memiliki lima pesawat di Papua.
Pada awalnya, hampir belum ada lapangan terbang di pedalaman, sehingga hampir semua penerbangan menggunakan pengapung. Tetapi pada tahun 1957 sudah ada 17 lapangan yang dibangun oleh zending dan misi.
Kouh 016-L
Pesawat MAF PK-MPB di kali Digul di Kouh. Pada awalnya, warna besawat-pesawat MAF itu kuning.

Kouh

Saat kami sedang membangun pastori, suatu sore kami berdiri di tepi kali Digoel bersama orang kampung. Suara hutan tiba-tiba ditambah dengan suara pesawat kecil yang datang dari arah barat. Pendeta Van Benthem dalam suasana hati yang gila dan beberapa kali dengan suara keras memerintahkan, turunlah! Hanya lucu saja. Tetapi suara mesin pesawat berubah, pesawat air itu berbelok dan mendarat di depan kami di kali Digoel! Pesawat itu milik MAF. Di dalamnya hanya ada pilot, ia tersesat akibat peta yang kurang lengkap; dia dalam perjalanan ke Tanah Merah. Bahan bakarnya hampir habis dan ia butuh pastikan jalur yang benar. Ketika ia melihat atap seng mengilap di pastori, ia memutuskan untuk mendarat dengan harapan ada orang yang bisa membantunya. Dan tentu saja, kami bisa membantu. Ia hanya perlu mengikuti aliran kali Digoel ke selatan untuk mencapai Tanah Merah. Inilah pertemuan pertama kami dengan MAF, dan setelah itu ada banyak pertemuan lainnya! Namun, Jan van Benthem kesulitan meyakinkan orang di Kouh bahwa ia hanya bercanda dan tidak memiliki kekuatan magis untuk memanggil pesawat turun!
Kouh 015-L
Kouh, pesawat MAF PK-MPB berangkat dari kali Digul di Kouh, sekitar 1960.

Boma dan Wanggemalo

Pada bulan Januari 1960, guru Meijer melakukan percakapan awal dengan MAF di Sentani. Informasi yang ia terima menjanjikan. Namun, ia juga diberi saran untuk membangun lapangan-lapangan terbang. Ketika akhir tahun itu pendeta Versluis mulai kerjanya di Boma, ia langsung mulai bersihkan tempat untuk membangun lapangan terbang kecil di sana. Tampaknya akan sulit sekali zending masuk wilayah Kombai kalau tidak ada hubungan pesawat, dan di masa depan pasti perlu dibuat lapangan terbang di tengah wilayah tersebut itu juga. Versluis menduga bahwa dia tidak akan dapat melakukannya sendiri. Dan tentu, hampir 20 tahun berlalu sebelum itu terwujud dengan pembangunan lapangan terbang di Wanggemalo.
020 5 CAVersluis 73 (31) 20-L
Kerja di Boma untuk membuat lapangan terbang, sekitar tahun 1960
Jager 16-A 08-L
Pesawat MAF PK-MPA berangkat (dari lapangan di Boma kah?), sekitar 1963.
Jager 16-A 04-L
Pesawat MAF PK-MPA di lapangan di pedalaman, keumingkinan besar di Boma. Sekitar 1963.

Tanah Merah

Ketika menjadi jelas bahwa penyerahan Papua ke Indonesia akan mengakibatkan akhirnya pelayanan Kroonduif, pada bulan September 1962 pendeta Klamer pergi berbicara dengan MAF. Ia mendapatkan jaminan bahwa jkalau perlu MAF akan membuat penerbangan dari Hollandia ke Tanah Merah sekali dalam tiga minggu untuk pengiriman pos dan bahan makanan. Untuk itu, mereka akan menggunakan bandara di Tanah Merah.
Meijer-A P75-3-L
Pesawat MAF berangkat dari lapangan terbang Tanah Merah, sekitar tahun 1960.

Perkembangan yang tinggi

Oleh pemeliharaan Allah yang mengherankan, program MAF di Papua baru mulai berkembang ketika di kalangan zending kebutuhan akan lebih banyak hubungan udara mulai tibul!
Pablo Pontier (1925-1984) menjadi pilot yang terkenal di berbagai pos zending, dan dalam 60 tahun setelah itu banyak pilot MAF lain menyediakan koneksi yang diperlukan untuk pos-pos zending di pedalaman wilayah Boven-Digoel dan sekitarnya. Pada tahun 80-an, pesawat air MAF bahkan ditempatkan di Boma.
Jikalau MAF tidak menyediakan bantuan dari udara bagi zending selama sekian puluhan tahun itu, dilihat dari kemampuan kita manusia, perkembangan zending dan gereja di wilayah ini tentu tak mungkin.
Kalau kita sadar akan semuanya itu, kita berdiam diri dengan takjub dengan mengucap syukur kepada Tuhan!
Tanah Merah 007-L
Pilot Pablo Pontier dengan pesawat air MAF di pelabuhan di Tanah Merah, sekitar 1960.
IMG 8220-L
Pesawat amfibi PK-MAG dari MAF berangkat dari kali Digul di Tanah Merah, tgl 31 Oktober 2023.

Catatan

  1. Pada tahun 1929, Willem Hendrik Tetenburg (1896-1958) menerbangkan kapal terbang Dornier Wal yang pertama dari Belanda ke Hindia Belanda.
  2. Ketika kapten Becking pada tahun 1936 menemukan sungai yang saat itu belum dia kenal (sungai Beking, kini kali Ndeiram kabur, bnd posting 23), maka pilot Dusseldorp yang dengan dia mengintai sungai itu dari udara.
  3. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, beberapa mantan pilot militer mendirikan sebuah organisasi dengan tujuan menyediakan sarana transportasi untuk pekabaran Injil di daerah-daerah terpencil: Mission Aviation Fellowship (MAF). Salah satu pendirinya adalah Betty Greene (1920-1997), seorang pilot wanita. Dengan penerbangan operasional pertama pada tahun 1946, ia membawa sekelompok penginjil dengan pesawat WACO dubbeldekker merah ke daerah terpencil di Meksiko. Pada tahun 1952, Grady Parrott, juga salah satu pendiri MAF, datang lihat keadaan di Papua. Pada akhir tahun berikut, sebuah pesawat Piper Pacer ditempatkan di Wewak. Dari sana, beberapa kali penerbangan dilakukan ke bagian Papua yang di bawah kekuasaan Belanda.

Sumber

Buku / Publikasi

  • De Stuurkolom – Orgaan van de militaire luchtvaart, uitgave October 1947.
  • Gouwentak, C.J., De exploratie naar goud in Ned. Z.W. Nieuw-Guinea. 1939, in: T.K.N.A.G, 1939, p.220-235.
  • Groot, P.F. de, Kort verlag over de werkzaamheden van de IIIde Expeditie der N.V. Mijnbouwmaatschappij Nederlandsch Nieuw-Guinea in 1938 en 1939. In: De Mijningenieur, 7, nr 9, sept 1940.
  • Hazewinkel, Harm J. & Theo Wesselink, Burgerluchtvaart in Nederlands-Indië tot 1950, z.p., 2018.
  • Lent, B.H.F. van, Luchtvaart. In: W.C. Klein, Nieuw-Guinea, deel I, ’s-Gravenhage 1953, pg. 351-386
  • Parker, C.W., Northern who’s who – a bibliographical dictionary of men and women. 1912
  • Salim, I.F.M., Vijftien jaar Boven-Digoel – Bakermat van de Indonesische onafhankelijkheid. Hengelo 1980 (cetakan kedua).
  • Terpstra, H., Eenige opmerkingen over de expeditie naar de Lorentz- en Eilanden-rivieren der Mijnbouw Maatschappij Ned. Nieuw-Guinea. In: Tijdschrift “Nieuw-Guinea”, 3, 1939, p. 684-687.
  • Terpstra, H., Opmerkingen naar aanleiding van ir. P.F. de Groot’s “Kort Verslag over de werkzaamheden van de IIIde Expeditie der N.V. Mijnbouw Maatschappij Nederlandsch Nieuw-Guinea in 1938 en 1939”. In: De Ingenieur in Nederlandsch-Indië, 8e jg nr 1 (januari 1941)
  • Terpstra, H., Resultaten van een goud-exploratie in het stroomgebied van de Lorentz- en de Eilanden-rivier in Nederlandsch Nieuw-Guinea. In: De Ingenieur in Nederlandsch-Indië, 6e jg nr 1 (januari 1939).
  • Vegt, Quirijn van der, Marineblauw boven Texel – De geschiedenis van marinevliegkamp De Mok, In: – Marineblad KVMO, nummer 5, augustus 2017, jaargang 127, pg 26-29
  • Wesselink, Theo, Burgerluchtvaart in Nederlands Nieuw-Guinea 1926-1962, z.p. 2013.

Arsip Nasional di Den Haag

  • Houbolt, W.J.H., Vervolg memorie Onderafdeeling Boven-Digoel ov er het tijdvak Mei 1938 – October 1940 onder het bestuur van den Fd. Controleur kapitein W.J.H. Houbolt. Nationaal Archief, kantoor voor bevolkingszaken in Nederlands Nieuw-Guinea, Rapportenarchief (1852) 1951 – 1962, Toegang 2.10.25, Inv. Nr. 399.
  • Groot, ir. P.F. de, Brief No. 103 aan de Vertegenwoordiger der N.V. Mijnbouw Mij Nederl. Nieuw Guinea, HH Erdmann & Sielcken, Batavia; Nationaal Archief, toegang 2.20.51, Inv. Nr. 749.
  • Groot, ir. P.F. de, Brief aan de Firma Erdmann & Sielcken, Vertegenwoordiger der Mijnbouw Mij. Nederlandsch Nieuw Guinea te Batavia, 23 oktober 1939; Nationaal Archief, toegang 2.20.51, Inv. Nr. 749.
  • Broek, J.v.d., Overzicht van de werkzaamheden der derde expeditie in Nieuw Guinea, 13 september 1939, gericht aan Commissarissen en Aandeelhouders der N.V. Mijnbouw Mij Nederl. Nieuw Guinea, HH Erdmann & Sielcken; Nationaal Archief, toegang 2.20.51, Inv. Nr. 749.
  • Wiarda, J., Memorie van overgave over het tijdvak 2 mei 1935 – 25 mei 1938; gedateerd 1 juni 1938; Nationaal Archief, archief bevolkingszaken in Nederlands Nieuw Guinea, Rapportenarchief (1852) 1951-1962, Toegang 2.10.25, Inv. Nr. 398.
  • Groot, ir. P.F. de, Brief aan ir. P. Hövig, Lembang 26 maart 1940; Nationaal Archief, toegang 2.20.51, Inv. Nr. 749.

Pusat Arsip dan Dokumentasi Gereja-Gereja Reformed di Belanda (ADC)

  • Drost, M.K., rapporten. Dalam Archief Zending Enschede, archiefnummer 78, doos 56.
  • Klamer, J., rapporten. Dalam Archief zendende Kerk Spakenburg-Zuid, archiefnummer 154, doos 10.
  • Meijer, J.W., rapporten. Dalam Archief Vereniging Mesoz, archiefnummer 253, doos 5.

Arsip dari Nederlands Gereformeerde Kerk di Leerdam:

  • Versluis, C.A., verslagen.

Internet

Sumber lain

  • Arsip Becking: surat-surat dari Becking dan Harting
  • Informasi dari kalangan MAF-Belanda melalui Jan Harink
  • Arsip foto Van Rummelen

–//–