22 – Dunia yang akan rusak

rumah-rumah tinggi di Korowai
Rumah-rumah tinggi di Korowai; foto diambil dari helikopter pada penerbangan pengintaian 14 Juli 1978

Hidup di dusun

Zaman dulu belum ada kampung di wilayah suku-suku di daerah Boven-Digoel. Orang-orang yang hidup di situ tinggal tersebar di hutan, masing-masing di dusunnya sendiri. Seluruh hutan dibagi menjadi warisan dari berbagai marga atau klan keluarga. Mereka tinggal di sana dalam kelompok-kelompok kecil, dua atau tiga rumah bersama di satu tempat. Biasanya suatu klan terdiri dari paling banyak 20 hingga 30 jiwa. Tidak ada kepala suku, tidak ada tuan dan tidak ada budak. Tiap marga hidup tersendiri, dan mau hidup tanpa gangguan dan jauh dari pandangan orang lain. Kebebasan dan hak perseorangan mencirikan kehidupan mereka. Di dusun mereka merasa dilindungi dari pencurian dan perzinaan, dilindungi juga dari pertengkaran dan dari bahaya suangi dan pembunuhan. Dari waktu ke waktu mereka pindah ke suatu tempat lain di dusun mereka untuk membangun rumah baru, karena rumah lama sudah mulai runtuh, atau karena hasil kebun sudah mulai habis, atau karena terjadi kematian, atau karena salah satu sebab lain.

rumah-rumah tinggi
Rumah-rumah tinggi di Korowai; foto diambil dari helikopter pada penerbangan pengintaian 14 Juli 1978

Ancaman yang terus-menerus

Mereka memilih untuk tidak membangun rumah dekat kali besar. Karena dari waktu ke waktu, ada kelompok-kelompok pemburu kepala datang naik kali itu dalam perahu-perahu perang besar. Orang yang tinggal dekat di pinggir kali gampang jadi korban mereka. Tetapi perahu-perahu besar itu tidak bisa memasuki anak-anak kali yang lebih kecil yang berkelok-kelok. Berarti, lebih ke darat dan jauh dari kali besar orang jauh lebih aman.

Pada zaman itu, orang Marind tiap-tiap tahun mengadakan perjalanan dalam kelompok-kelompok besar untuk merampok dan memenggal kepala orang yang tinggal di tempat-tempat yang jauh. Contohnya, pada tahun 1884 sekelompok yang terdiri dari 35 perahu perang besar ditemukan sekitar 300 kilo ke arah timur, dengan sekitar 1.200 orang pemburu kepala di dalamnya. Sebuah laporan lain dari tahun 1896 menyebutkan 500 orang pemburu kepala dalam 75 perahu perang yang berlayar sekitar 250 kilo dari tempat kampung asal mereka. Kedua peristiwa itu terjadi di pinggir laut. Tetapi orang Marind tidak hanya melakukan penyerbuan di sepanjang pantai, tetapi mereka juga biasa naik kali-kali besar, seperti kali Digul.

Orang yang hidup di daerah kali Mappi tidak aman dari orang Jaqai yang tinggal di Mappi bawah. Mereka itu kadang-kadang naik sampai di kepala kali Mappi untuk mencari mangsanya.

Juga orang dari Asmat dan suku-suku terkait adalah pemburu kepala dan biasa masuk pedalaman dengan perahu-perahu mereka. Masih pada tahun 1966 ada orang Citak yang naik kali Ndeiram-kabur untuk menyerang orang Korowai. Orang Korowai takut serangan mereka hingga tahun delapan puluhan.

rumah tinggi
Rumah tinggi di Tayan (Kombai), 1978

Aman di rumah tinggi

Tidak mengherankan orang di pedalaman selalu berwaspada, dan membangun rumah mereka di darat, tersembunyi di dalam hutan. Dengan beralasan mereka membangun rumah-rumah itu di pohon-pohon, biasanya sekitar 8-12 meter di atas tanah, tetapi terkadang ada yang lebih tinggi lagi. Rumah-rumah tinggi itu sulit dibakar dan dilindungi dengan baik dari penyusup. Orang hanya dapat masuk rumah itu melalui tiang tipis yang berlekuk, dan dalam keadaan darurat orang di dalam rumah tinggi itu dengan mudah dapat tarik tiang masuk itu ke atas. Di dalam rumah tinggi mereka juga dapat menyimpan barang-barang berharga dengan aman, seperti busur dan anak panah mereka, benda-benda yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, dan barang curian.

Ndeiram-kabur

Tengkorak
Tengkorak yang digantungkan di pohon di daerah Kombai dekat kali Ndeiram-hitam. Foto diambil sekitar tahun 1979

Hidup dalam ketakutan

Sekalipun di rumah-rumah tinggi mereka merasa aman dari bahaya orang jahat yang datang dari jauh, mereka harus juga berwaspada terhadap orang jahat yang tinggal di kalangan mereka sendiri. Memang mereka bukan pengayau yang pergi berburu kepala di daerah suku-suku lain. Namun ada banyak pembunuhan dan balas dendam. Sebabnya, di balik setiap kematian adalah suangi, menurut keyakinan mereka. Penting sekali untuk mengidentifikasi dan kemudian melenyapkan suangi itu sesegera mungkin, supaya dia tidak dapat membunuh orang lain lagi. Eksekusi suangi itu biasanya disertai dengan kanibalisme. Kemudian tulang-tulangnya ditaruh di pohon-pohon di pinggir jalanan di hutan. Jadi, orang selalu harus sangat berhati-hati agar tidak menjadi mangsa suangi. Dan selalu ada bahaya dituduh sebagai suangi oleh orang lain dan dibunuh. Jadi, mereka tidak jalani hidup yang tenang dan damai. Sebaliknya, mereka hidup dalam ketakutan, dan selalu harus berwaspada.
Selain itu, kesehatan mereka juga selalu diganggu. Memang mereka kenal bermacam-macam jenis tumbuhan di hutan yang dapat digunakan untuk melawan pelbagai penyakit. Walaupun begitu, malaria makan banyak korban, dan luka yang berbau busuk dari frambusia tidak dapat dibasmi.

Tempat pesta ulat sagu
Tempat pesta ulat sagu di daerah Korowai. Foto diambil dari helikopter, bulan Juli 1978.
Pesta ulat sagu
Pesta ulat sagu di daerah Kombai, bulan Juli 1978
Pesta ulat sagu
Pesta ulat sagu di daerah Kombai, bulan Juli 1978

Rindu ke hutan

Biarpun ada banyak bahaya di hutan, ternyata orang menikmati kehidupan di dusun. Mereka suka mengembara dan berburu di hutan yang tak berujung. Hutan itu menyediakan segala sesuatu yang mereka butuhkan: sagu, pisang, tumbuhan-tumbuhan lain,bahan untuk bikin rumah, ikan, binatang-binatang kecil, belum lagi babi. Mereka hidup senang di dusun. Dari waktu ke waktu mereka pergi mengunjungi kemenakan atau kenalan, dengan bermacam-macam alasan: untuk tamu-tamu saja, atau karena terjadi kematian, atau untuk menuntut hutang yang belum dibayar, atau dengan alasan lain lagi. Sering juga ada pesta, seperti pesta babi atau pesta ulat sagu, di mana ratusan orang dari jauh dan dekat berkumpul si satu tempat. Itu selalu mengasyikkan, dan orang yang pergi ikut pesta selalu membawa busur anak panah. Karena bisa saja terjadi pertengkaran dan perkelahian antara orang-orang yang masih ada perkara yang belum diselesaikan. Lega rasanya saat mereka kembali dengan selamat di dusunnya masing-masing.

Dusun itu lebih dari sekadar sumber makanan. Dusun adalah tempat di mana mereka ada perasaan keterikatan dengan nenek moyang. Di dusunlah akar mereka berada, di situlah masa depan mereka terbentang. Di tanah nenek moyang itu mereka dibesarkan, di sana mereka menikah, di sana mereka membangun rumah, di sana mereka dapat anak-anak, di sana mereka menjadi tua, dan di sana mereka nanti akan meninggal dunia ini untuk dipersatukan dengan nenek moyang mereka. Itulah dunia mereka. Dari generasi ke generasi. Sampai pada suatu hari dunia “beradab” mengetuk pintu wilayah mereka.

Heli di Ndeiram-kabur
Helikopter mendarat di tempat batu kerikil di kali Ndeiram-kabur, bulan Juli 1978. Sebelah kanan pendeta Kruidhof.

Dunia akan rusak

Tanda-tanda pertama bahwa dunia lebih besar dari wilayah marga-marga yang berbahasa sama, dan lebih besar juga dari suku-suku yang bermusuhan yang di sekitar mereka, adalah barang tertentu yang memasuki dunia mereka. Barang yang mereka tukar saat mengunjungi kenalan, atau yang mereka beroleh di suatu pesta. Pertanda tentang apa yang akan datang.

Pada perjalanannya yang pertama dengan kapal Ichthus, pada tanggal 15 September 1957 pendeta Drost mengunjungi suatu rumah tinggi di dekat kali Kasuari. Di sana pendeta Drost bertemu dengan seseorang yang mempunyai tunggul kapak besi. Ternyata kapak itu sudah tua dan dipakai cukup lama. Ketika dia tanya dari mana bapak itu mendapatkan kapak itu, orang itu menjelaskan bahwa dia pernah menukarnya dengan seseorang di kali Kouh.

Barang kontak di pondok
Barang kontak yang ditinggalkan di pondok kecil di pinggir kali Ndeiram-kabur, bulan Juli 1978.

Lebih dari 20 tahun kemudian, dan hampir 40 km ke barat laut, beberapa misionaris mendarat dengan helikopter di tempat batu dekat suatu pondok di pinggir kali Ndeiram-kabur. Mereka tidak bertemu orang; ketika mereka mendarat, orang sudah melarikan diri dengan cepat. Oleh karena itu mereka meninggalkan kapak besi dan beberapa hadiah lain di dalam sebuah pondok yang kosong. Sebulan kemudian, ketika misionaris sekali lagi datang ke tempat itu, terlihat jelas bahwa sementara itu orang telah pernah masuk bivak itu, tetapi ternyata mereka tidak menyentuh barang yang ditinggalkan oleh misionaris itu. Seolah-olah mereka mengerti bahwa menerima hadiah ini pada akhirnya akan membawa dunia lain itu masuk wilayah itu, baru dunia mereka akan hancur.

 

Sumber

  • J. van Baal, Dema. Description and analysis of Marind-anim culture (South New Guinea), The Hague 1966.
  • Laporan kerja pdt. M.K. Drost, Laporan kerja 17 Oktober 1957 (dalam Archief- en Documentatiecentrum van de Gereformeerde kerken in Nederland, Zendingsarchief, archiefnummer 78, doos 56)
  • G.J. van Enk dan L.J. de Vries, The Korowai of Irian Jaya, New York / Oxford 1997
  • J.P.D. Groen, Kakuarumu – Een vorm van zwarte magie, Kampen 1991 (GMO)
  • J.P.D. Groen, korespondensi pribadi
  • Bruce M Knauft, South coast New Guinea cultures: history, comparison, dialectic. Cambridge 1993.
  • Rupert Stasch, The Camera and the House: The Semiotics of New Guinea “Treehouses” in Global Visual Culture, dalam: Comparative Studies in Society and History 2011; 53(1):75-112.
  • L.J. de Vries, The greater Awyu languages of West Papua, Boston / Berlin 2020 (Pacific Linguistics, vol. 657)
  • Video perahu-perahu orang Asmat, adalah adegan dari film “The sky above the mud below” dari ekspedisi Belanda-Perancis 1959 yang dipimpin oleh Pierre-Dominique Gaisseau, Embassy Pictures Corporation, 1962.