39 – Banjir, roh-roh, dan tunas sagu

Undangan-L
Undangan: gaba-gaba dengan lidi-lidi dan ot. Sekitar 1959. Panjangnya 13 senti.

Intro

Pesta pada awal tahun ke-50-an

Di kali Digul ada beberapa perahu yang berlayar ke arah hilir. Mereka sedang menuju Mariang. Jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal mereka, sekitar 100 kilo atau lebih! Tetapi mereka senang sekali karena mereka pergi ke pesta!

Mariang waktu itu belum kampung yang besar. Pada tahun 1952, pastor Thieman menggambarkannya sebagai “kumpulan kecil rumah-rumah sederhana” dengan hanya sekitar 30 orang tinggal di sana. Kampung itu sudah berada dalam pengaruh Misi Katolik, tapi baru pada tahun 1957 seorang guru agama ditempatkan di sana.

Beberapa hari lagi, pesta akan diadakan. Orang-orang dari sekitar sudah terima undangan dengan sepotong gaba-gaba kecil yang ditusukkan dengan beberapa lidi sesuai jumlah hari menjelang hari besar. Dengan begitu, mereka tahu persis kapan mereka diharapkan datang ke Mariang. Mereka sangat bersemangat, karena pesta seperti ini juga merupakan semacam pasar. Mereka akan bertemu kenalan dari jauh, menjalin kontak baru, tukar-menukar, dan selesaikan perkara-perkara lama dengan berbicara atau dengan berkelahi.

Dengan tarian yang mengesankan, rombongan dari kali Arup itu masuk tempat pesta pada hari yang telah ditentukan. Kemudian mereka diberi tempat di bivak besar yang telah disiapkan untuk tamu.

Waemonggo

Salah satu dari orang kali Arup itu adalah Waemonggo Klaru, seorang laki-laki dari suku Wanggom yang masih bujang. Di pesta itu, dia bertemu dengan gadis yang dia suka. Namanya Hambelayo Lanugut.

Setelah pesta, Waemonggo dengan gembira pulang ke dusunnya bersama teman-teman se-suku. Kemudian dia punya orang mulai berbicara dengan orangtua gadis itu apakah mereka bersedia untuk memberikan anak perempuan mereka kepada Waemonggo dan berapa tinggi maskawin yang harus dibayar. Akhirnya mereka setuju. Gadis dari Mariang itu akan menjadi istri Waemonggo.

Nanti, setelah maskawin dibayar, gadis itu akan kawin dengan Waemonggo dan akan ikut dia ke dusunnya di hutan gelap dekat kali Arup. Di daerah itu belum ada kampung.

JPDG-F 076-07-L
Kelompok orang Wanggom masuk bivak pesta ulat sagu, sekitar 1980

1.   Kali Arup

Sudah hampir satu tahun sejak pendeta Drost untuk pertama kali berlayar dengan kapal Ichthus dari Tanah Merah melintasi kali Digul yang luas menuju utara (bnd posting 09). Saat itu, dia juga pernah naik kali Kasuaris, anak kali Digul yang tampaknya menjadi jalan masuk ke wilayah suku Kombai. Di sana, dia ingin memulai pekerjaan zending. Kontak dengan orang-orang di hutan di sana masih sangat terbatas. Namun, dia bukan orang luar yang pertama yang naik kali ini. Beberapa orang lain telah mendahuluinya, dan perjalanan-perjalanan mereka tidak selalu berakhir dengan damai.

1938: Van Rummelen

Pada akhir tahun 1937, ada perusahaan (Mijnbouw Maatschappij Nederlands Nieuw-Guinea, MMNNG – Perusahaan Pertambangan Nieuw-Guinea) datang ke Tanah Merah untuk melakukan penelitian geologi yang luas di hulu kali Digul. Angkatan Udara Laut melakukan penerbangan pengintai. Pada salah satu penerbangan itu, mereka melihat salah satu anak kali Digul yang besar yang belum tercantum dalam peta. Mereka menyebutnya Digul Barat (sekarang: Tsaw). Dan ketika mereka dengan kapal naik kali Digul, mereka menemukan lagi muara anak sungai. Ternyata, Eksplorasi militer tahun 1909 dan 1913 melewatkan dua kali ini.

Ekspedisi ini mulai penelitiannya di kali Tsaw, yang dieksplorasi hingga ke pegunungan. Kemudian, mereka mengarah ke Digul Timur yang sudah lama dikenal dan mereka teliti hingga ke Lembah Sibil.

IMG_0442-L
‘Motorbivak’ (Bivak Motor) di pinggir kali Digul di bawa muara kali Murup, 1937-1940.

Di bawah muara kali Takum, ekspedisi mendirikan tempat penampungan yang mereka sebut ‘Motorbivak’. Pada tanggal 19 Juli 1938, insinyur Van Rummelen berangkat dengan enam orang pekerja dari kamp ini untuk menjelajahi kali kedua yang belum mereka kenal. Untuk keamanan, dia ditemani oleh setengah brigade polisi. Dia adalah menantu dari Kapten Theo Becking, yang pada tahun 1927 membuka kamp interniran Boven-Digul (bnd posting 23).

Pakai perahu motor tempel, Van Rummelen berlayar ke muara kali itu, yang lebarnya sekitar 40-50 meter dan ternyata dapat dilayari dengan baik. Selama perjalanan itu, mereka dapat kesan bahwa daerah ini cukup padat penduduk, tetapi mereka tidak bertemu orang. Pada hari berikutnya, air kali sudah turun. Walaupun demikian, mereka masih berlayar terus sampai di beberapa tikungan di bawah lokasi kampung Firiwage saat ini.

Van Rummelen sebut kali ini Kasuari; mungkin sebagai kenangan kepada mertuanya yang beberapa tahun sebelumnya membawa seekor anak kasuari dari daerah ini ke Batavia (sekarang: Jakarta). Namun, itu tidak berhasil, karena ketika dewasa, burung yang tidak bisa terbang ini ternyata tidak cocok sebagai hewan peliharaan.

15-vRummelen 7-1-L
Insenyur F.F.F.E. Van Rummelen (1913-1992), pemimpin rombongan MMNNG yang naik kali Kasuari / Arup pada bulan Juli tahun 1938.
IMG 0445-L
Hutan di pnggir kali Kasuari / Arup, 1938
IMG 0447-L
Kebun dengan rumah tinggi di kali Kasuari / Arup, 1938
11-vRummelen 5-3-L
Rombongan MMNNG dipinpin oleh Van Rummelen dengan hati-hati lewat kebun dengan rumah tinggi, kemungkinan besar di kali Kasuari / Arup pada tahun 1938.
IMG 0446-L
Rumah tinggi di daerah kali Kasuari / Arup, 1938

 

Kaart VRummelen Splitsing Digoel Casuarisrivier-L
Peta yang dibuat oleh Van Rummelen sesudah ia naik kali Kasuari / Arup pada tahun 1938.

1940: Letnan Claasen

Pada bulan Januari 1940, tepat setelah keberangkatan ‘ekspedisi EMAS’, Letnan Claasen datang dari Kepi ke Tanah Merah. Dia ingin mencari tahu apakah ada kontak dengan orang-orang di sisi utara barisan pegunungan yang potong pulau Papua dari timur ke barat. Setelah berhasil mendapatkan orang untuk pikul barang, dia berangkat ke kali Kasuari, karena di situlah perjalanannya akan dimulai.

Sebulan kemudian, dia sudah kembali ke Tanah Merah. Kami tidak tahu seberapa jauh dia telah naik kali itu, tetapi kami tahu bahwa pertemuannya dengan orang-orang di daerah itu tidak berjalan dengan ramah. Dalam sebuah konfrontasi, seorang sersan terluka oleh tembakan anak panah dan dua orang Papua tewas ditembak. Ada lebih banyak korban; dalam buku hariannya pastor Meuwese mencatat dengan: “Di tempat lain di kali Kasuaris, 4 orang tewas.”

1950: Van Stockum dan Pengkor

Setelah perang dengan Jepan, pada tahun 1950, Van Stockum datang ke Tanah Merah (bnd posting no. 16 catatan no. 3). Pengkor dorang membunuh dia dan merebut senjata korban dan kemudian mereka melakukan tindakan jahat terhadap para penduduk di daerah itu. Beberapa tahun kemudian, ketika pastor Thieman datang ke sana, orang-orang menceritakan kepadanya bahwa Pengkor telah membunuh banyak orang di daerah mereka. Dalam perjalanannya pada tahun 1957, kepala pemerintahan wilayah Boven-Digul, Peters, juga memperhatikan bahwa orang-orang di kali Dawi dan Kasuari takut karena pembunuhan, penculikan wanita, dan intimidasi yang dilakukan oleh Pengkor dan kelompoknya dengan senjata yang mereka rampas.

Bahkan pada tahun 2022, Didimus Fangka menceritakan bahwa kakeknya dipanggil oleh Pengkor bersama orang lain karena mereka akan diberikan kapak dan parang; tetapi ketika mereka datang dengan gembira ke tempat Pengkor di kali Kasuari dekat muara kali Dawi, mereka dibunuh.
Pengkor d’orang berasal dari Mariang; mungkin mereka masih ada perkara dengan orang-orang di wilayah ini? Atau tindakan mereka merupakan manifestasi dari nafsu kuasa semata?

1953: Pastor Thieman

Pada tahun 1952, pegawai administrasi Supit pergi ke kali Kasuari. Pada tanggal 17 Juni 1953, ada kelompok sepuluh orang dari daerah itu datang ke Tanah Merah. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Pater Thieman sangat senang bertemu dengan mereka. Dia memanfaatkan kesempatan ini dan waktu mereka akan pulang, dia ikut serta dalam perjalanan mereka untuk melihat berapa banyak orang yang tinggal di daerah kali Kasuari. (bdn posting no. 25)

Apperloo 00-016-L
Pastor Thieman di Tanah Merah

Sebelumnya, pada bulan Januari, dia juga sudah pernah ke arah tersebut dengan patroli pemerintah yang dipimpin oleh komandan polisi Jellese. Wada waktu itu, mereka berjalan menuju ke Koreom, dan dari sana mereka rencana ke sungai Digul untuk turun ke muara kali Kasuari. Tetapi rencana itu gagal, dan akhirnya mereka buat rakit dan hanyut di kali Takum sampai tebus di sungai Digul. Itu sedikit jauh di bawah muara kali Kasuari, jadi Thieman frustrasi karena rencana naik kali Kasuari itu juga gagal.

Thieman bertekad untuk mencapai sungai tersebut kali ini. Delapan dari kesepuluh orang pengunjung itu pergi terlebih dahulu untuk mengumpulkan mereka punya orang di daerah kali Kasuari menyambut kedatangan pastor. Beberapa hari sesudah mereka berangkat, Thieman sendiri pergi bersama dua orang lainnya pakai perahu dayung. Di tengah perjalanan, mereka juga membawa tiga orang dari Tanah Tinggi dan bapak mandur dari Mariang. Orang terakhir itu tahu bahasa Wanggom dan pernah ke daerah itu bersama dengan Supit tahun sebelumnya.

Pada sore hari di hari ketiga setelah mereka berangkat dari Tanah Merah, mereka tiba di muara kali Kasuari. Mereka melihat beberapa kebun pisang dan banyak lahan sagu, tetapi Thieman dapat kesan bahwa daerah itu tidak banyak penduduk. Beberapa orang yang dia berhasil bertemu mengatakan bahwa banyak orang lain telah melarikan diri dari situ akibat tindakan Pengkor dorang. Juga ketika dia berjalan kaki di sekitar hutan daerah itu, dia memang bertemu beberapa orang, tetapi jumlah mereka kurang. Jalanan-jalanan di hutan sana sangat sedikit dan tampaknya jarang dipakai.

Pada saat itu, belum ada kampung di daerah tersebut. Namun, dalam buku Thieman menulis tentang seorang ‘kepala’. Apakah mungkin itu adalah kepala rombongan yang datang ke Tanah Merah? Mungkin itu adalah Waemonggo kah?

1953: Koopmans

Akhir bulan Juli / awal bulan Agustus tahun yang sama, ada patroli pemerintah yang naik kali Kasuari, dipimpin oleh Inspektur polisi Koopmans. Dia sampai ke muara kali Murup. Menurut HPB Moll, patroli ini sangat berhasil.
Dua tahun kemudian, Moll sendiri dengan kapal pemerintah naik kali Digul. Tujuan perjalanannya adalah mencari lokasi untuk kamp dasar ekspedisi yang akan dilakukan oleh dinas kehutanan bersama pemerintah. Dia menemukan tempat yang cocok di dekat muara kali Takum. Dia melanjutkan perjalanannya sedikit lebih jauh, melewati muara pertama kali Arup, tetapi karena tujuannya telah tercapai, dia merasa tidak perlu pergi lebih jauh ke atas. Dia tidak bertemu dengan penduduk setempat. Tampaknya masih belum ada kampung di daerah yang dia lewati.

1957: Peters

Pada bulan Juni 1957, pengganti HPB Moll, Frans Peters, bersama dengan dokter pemerintah Henk Bijkerk, melakukan patroli besar. Sebuah perjalanan penjelajahan dengan pesawat Catalina telah menemukan adanya konsentrasi rumah-rumah tinggi di daerah yang mereka tuju. Mereka naik kali Digul Barat (Tsaw) sampai mencapai pertemuan antara Digul Merah dan Digul Biru. Dari sana, mereka melintasi ke aliran atas kali Dawi. Mereka turun menggunakan rakit dan akhirnya sampai di kali Kasuari. Mereka ikut aliran kali itu ke arah hilir sampai mereka mencapai sungai Digul, dan kemudian mereka kembali ke Tanah Merah. Peters menggambarkan Kasuari sebagai “sungai pegunungan yang khas dengan tingkat air yang berubah dengan cepat.” Mereka menemukan beberapa rumah tinggi di tepi kali, dan berhasil menjalin kontak dengan beberapa penduduk di daerah itu. Dan mereka menemukan bahwa di daerah ini telah terbentuk sebuah kampung. Nama kampung itu Arup.

 

2.   Kampung yang pertama

Arup-1

Kunjungan Pastor Thieman telah mendorong penduduk di sekitar kali Kasuari untuk membuka sebuah kampung. Meskipun dia tidak bertemu banyak orang di sana dan tidak berhasil menembus daerah tersebut lebih jauh, minat penduduk telah bangkit, begitu pula keinginan untuk mendapatkan barang-barang Barat. Ketika Thieman pulang ke Tanah Merah, dia berjanji akan kembali.

Namun, kali Kasuari tidak cocok untuk kapal karena airnya kadang-kadang turun dengan cepat dan kapal bisa terdampar di tempat-tempat batu kerikil. Oleh karena itu, mereka memilih lokasi kampung mereka di kali Digul, tidak jauh dari muara utara kali yang orang Barat sebut Kasuari sebenarnya bernama Arup. Karena kampung berada dekat muara itu, maka kampung itu juga disebut Arup. Mereka mulai membangun rumah-rumah di sana tidak lama setelah kunjungan Thieman, mungkin sekitar tahun 1954.

Pastor Thieman tidak muncul kembali. Dia sibuk dengan desa-desa di Muyu dan sepanjang bagian selatan sungai Digul.

Tetapi kampung Arup terima kunjungan dari beberapa orang kulit putih lain. Waktu HPB Peters dan Dokter Bijkerk menuju kali Tsaw, Digul, dan Kasuari, mereka mampir ke kampung baru ini.

140-L
HPB Peters.

Arup-2

Kunjungan pertama itu juga menjadi kunjungan terakhir. Peters berpendapat bahwa lokasi kampung itu tidak cocok karena tidak selalu dapat diakses oleh kapal. Oleh karena itu, dia meyakinkan mereka untuk pindah ke lokasi yang lebih jauh ke bawah. Di tepi Barat sungai Digul, dekat muara Arup selatan, ada tempat yang menurut dia lebih cocok untuk membangun kampung.
Karena tempat itu juga berada di muara kali Arup, kampung di lokasi kedua tetap disebut kampung Arup. HPB Peters secara resmi mengangkat Waemonggo Klaru sebagai kepala kampung, dan Balekho Kurufe sebagai mandur.1

Beberapa tahun kemudian, tepian lokasi kampung pertama menghilang karena erosi di sungai Digul.

Apperloo 00-039-L
Balekho / Baleo Kurufe. Foto ini diambil sekitar 1958-1960. Kemungkinan besar di kampung Arup (sebelum pindah ke Kawagit).

3.   Berhubungan dengan Zending

Kunjungan tak terduga

Masih pagi hari, sekitar tiga bulan setelah kunjungan Peters. Pohon-pohon di lokasi baru sudah ditebang, dan ada satu-dua orang yang sudah mulai membangun rumah. Beberapa kerangka rumah sudah berdiri, hanya rumah Okhare2 yang hampir selesai.

Pagi itu, Okhare duduk di pintu rumahnya; dia ada luka parah di kaki dan hampir tidak bisa jalan. Orang-orang lain semua sibuk dengan pekerjaan mereka. Tiba-tiba dari kejauhan mereka dengar bunyi kapal yang naik sungai. Semua orang terkejut: siapa itu? Bukan pastor, karena dia tidak memiliki kapal. Tetapi siapa? Mereka waspada karena mereka sudah pengalaman yang kurang baik dengan pengunjung sebelumnya.

Bunyi itu semakin dekat, dan beberapa saat kemudian mereka melihat kapal kecil muncul dari tikungan di kejauhan. Mereka belum kenal kapal itu. Dan lihat, ada seorang kulit putih di atasnya, tetapi dia bukan pastor, dan juga bukan Peters atau dokter. Siapa dia?

Dari rumahnya, Okhare juga melihat kapal itu semakin dekat, dan dia merasa takut. Apa yang mereka lakukan di sini?

OZ 1959-4-5 September 07a-L
Pdt Drost dengan Tambunop (1960).

Drost

Belum genap satu bulan setelah patroli HPB Peters, dan jauh sebelum dia pertama kali naik kali Digul, pendeta Drost tulis surat kepada gereja di Enschede bahwa dia segera mau kunjungi kampung Arup “untuk mendirikan pusat zending di sana sebagai pangkalan untuk patroli di wilayah kali Kasuari.” Saat itu, dia sendiri belum pernah keluar dari Tanah Merah, dan ketika dalam suratnya itu dia sebut kampung Arup adalah “kampung besar”, itu hanya berdasarkan informasi yang dia terima dari Peters. Ini adalah gambaran yang terlalu optimis, karena sebenarnya kampung ini sama sekali tidak besar. Lokasi lama tidak terlalu berarti, dan ketika pada pagi hari tanggal 6 September 1957 Drost datang ke tempat baru itu, orang-orang di sana baru saja mulai membangun rumah mereka.

Malam sebelumnya, pendeta Drost menginap di salah satu bivak di bawah muara kali Takum. Dia membawa seorang juru bahasa dari Tanah Tinggi yang bernama Yakob Kundob, seorang dari suku Mandobo yang tahu bahasa Wanggom. Dan tadi, di perjalanan dari bivak itu ke kampung Arup, Drost bertemu dengan seseorang yang bernama Tambunop3, yang juga rencana mau bangun rumah di kampung Arup. Orang itu bisa komunikasi dengan orang di kali Dawi, sehingga Drost minta dia nanti ikut naik kali Kasuari sebagai pemandu.

Arup

Kapal sudah berlabuh di tepi sungai dan orang kulit putih yang tidak mereka kenal itu turun ke darat. Dari orang kampung tidak ada yang melarikan diri. Mereka sudah lihat bahwa orang-orang di kapal tidak membawa senjata. Mereka juga perhatikan bahwa ada beberapa orang sesuku dan orang Papua lainn di antara penumpang yang berbicara bahasa Wanggom, dan mereka segera berteriak bahwa mereka tidak perlu takut.

Dari kejauhan, Okhare juga mendengar teriakan itu. Tak lama kemudian, Balekho dan Yawuno datang ke rumahnya. Mereka sudah bertemu dengan pendeta Drost, tetapi sekarang mereka perlu bicara dulu dengan mereka punya kakak untuk mendengar keputusannya. Mereka meyakinkan Okhare bahwa dia tidak perlu takut. Orang kulit putih itu datang dengan damai!

Kata-kata itu menenangkan hati Okhare. “Jika itu benar-benar seorang kulit putih, dengan hidung yang tajam, maka itu baik. Saya lelah dengan baku bunuh dan segala hal semacam itu! Kekerasan itu harus berhenti!” Orang lain setuju dengan dia: “Benar! Pastor janji akan kembali, tetapi dia sudah tipu kami! Kami sudah tunggu dia begitu lama, tetapi percuma, karena dia tidak datang!”

T2-4 R001-032 TII4-L
Orang kampung Arup. Di sebelah kiri adalah bpk Balekho Kurufe, kepala kamung Arup (1958). Bapak yang duduk di belakang: Ohare / Khobofio / Fiambaru Kurufe.

Demikianlah, itu adalah alasan mengapa mereka buka kampung pertama. Mereka taruh harapan mereka pada pastor, karena mereka menantikan bahwa melalui dia kekayaan orang kulit putih akan mengalir ke dalam dunia mereka! Kapak besi dan parang panjang, dan masih banyak barang lain lagi. Menurut mereka, orang kulit putih dengan hidung yang tajam adalah nenek moyang mereka yang telah kembali dengan membawa kekayaan dan kemakmuran untuk mereka! Sayangnya, pastor itu telah mengecewakan harapan mereka. Tetapi sekarang mereka akan berusaha mempertahankan pendeta ini.

Ketika Drost datang ke rumah Okhare, Okhare bilang: “Kamu bisa datang ke sini! Saya ingin menyimpan kamu dalam saya punya noken!” Dengan kata itu dia merujuk pada noken kecil yang biasa dipakai oleh laki-laki di leher mereka; di dalamnya mereka menyimpan barang kecil yang berharga yang selalu mereka bawa.
Hari itu masih ada orang lain yang datang dari hutan dan yang mengaku bahwa mereka akan menetap di kampung ini.

MKD-003-L-2
Pdt. Drost belajar berhitung dalam bahasa Wanggom.

Sambutan ramah

“Mereka sambut kami dengan ramah!” tulis Drost dalam laporannya. “Menurut perkiraan saya, Arup akan menjadi kampung yang besar, karena banyak orang yang masih tinggal tersebar di hutan akan datang berkumpul di sini. Ada banyak anak-anak, dan ada banyak laki-laki yang punya tiga istri.”
Pada sore hari itu, pendeta Drost coba belajar sedikit dari bahasa Wanggom; ia mencatat angka dari 1 hingga 10. Yang menarik, orang Arup minta seorang guru. Mereka sepertinya sudah sadar bahwa kampung tanpa guru tidak dapat berkembang.

Hari berikut pagi hari Drost berangkat naik kali Kasuari. Tambunop ikut. Ketika mereka kembali, lebih dari seminggu kemudian, Drost mampir sekali lagi ke Arup. Ia mendorong orang-orang di sana untuk terus membangun kampung ini dengan tekun. “Kamu harus panggil kamu punya adik dan kakak dan om yang masih tinggal di hutan! Semua orang harus datang dan tinggal bersama di kampung ini!” Ketika ia pulang ke Tanah Merah, dua orang Arup ikut bersama dengan dia.

Belum sampai satu bulan kemudian, Waemonggo dan Balekho datang ke Tanah Merah, bersama dengan dua orang dari Tuyubin, salah satu dusun dekat kali Dawi. Mereka datang laporkan bahwa salah seorang dari mereka telah diserang dengan panah oleh orang hutan yang hidup jauh di utara.
Ketika Drost sekali lagi naik kali Digul, keempat orang tersebut ikut serta, sementara perahu mereka ditarik oleh kapal Ichthus. Di Kouh, ada satu orang yang juga mau ikut, seorang pemuda yang sudah fasih berbahasa Melayu. Mungkin itu adalah Wanggemop.

Ketika mereka tiba di kampung Arup, mereka lihat bahwa ada lima rumah baru yang sedang dibangun. Hal itu cukup memuaskan bagi Drost. Hari berikut ia dipanggil ke rumah seorang laki-laki yang sakit keras. Pada malam itu, orang itu sudah meninggal dunia. Ia adalah seorang Bainanob, marga yang dusunnya terletak jauh di dalam hutan di hulu kali Kouh. Pasti dia punya orang akan datang segera, dan itulah sebabnya kali ini tidak ada yang mau ikut ketika Drost kembali ke Tanah Merah.

Meijer

Pebruari 1958

Setelah kunjungan Drost pada bulan September dan Oktober 1957, hubungan terputus sementara. Baru pada tanggal 22 Februari 1958, penduduk Arup dengar bunyi kapal Ichthus lagi. Mereka segera melihat bahwa itu bukan pendeta Drost yang datang. Ada seorang kulit putih lain di kapal, seorang laki-laki badan tinggi yang belum pernah mereka bertemu sebelumnya.
Pria itu adalah bapak guru Jan Meijer yang tiba di Papua pada pertengahan bulan November. Ia sedang dalam perjalanan ke kampung Firiwage di Kasuari untuk jemput HPB Tanah Merah dan pendeta Drost yang sedang melakukan patroli di wilayah Kombai. (bnd posting no. 15)

Karena air di Kasuari terlalu rendah, Meijer terpaksa harus tunggu beberapa hari di Arup sampai air naik lagi.
Pada saat itu, Arup masih tetap merupakan kampung kecil. Meijer mendorong penduduk untuk menebang lebih banyak pohon untuk membuat halaman kampung lebih besar supaya ada tempat untuk membangun lebih banyak rumah. Menurut dia, lokasi itu cukup luas untuk mendirikan pos zending di sini.

T2-7 R001-059 TII7-L
Kenaikan bendera di Kampung Arup, 1958. Bapak dengan baju putih yang memberi salut militer adalah Waemonggo Klaru.

Untuk mengisi waktu, Meijer mengadakan upacara naik bendera Belanda; ketika bendera dikibarkan, kepala desa Waemonggo berdiri tegap memberikan salam militer. Pada hari berikut, Meijer mengajak penduduk bekerja membangun dermaga, tetapi ketika air sungai mulai naik di pertengahan hari, ia berangkat masuk kali Kasuari.

MKD-d-062-L
Fato dari patroli besar pemerintah dan pdt Drost melintasi daerah suku Komba, awal tahun 1958. Yang berdiri, dengan tangan terlipat: kiri pdt Drost, kanan hpb Peters. Di sebelah kanan sekali: dokter Bijkerk.
MKD-d-063-L
Foto dari patroli besar pemerintah dengan pdt Drost melintasi daerah Kombai, awal tahun 1958. Foto ini mungkin diambil di Arup sebelum mereka pulang ke Tanah Merah.

Satu minggu kemudian, kapal Ichthus kembali dengan orang-orang dari petroli tersebut. Arup dibanjiri dengan orang-orang kulit putih, petugas polisi, dan orang yang pikul barang. Ada kapal lain yang datang dari Tanah Merah untuk tolong mengangkut semua orang tersebut. Dua hari kemudian mereka semua sudah pergi, dan kampung Arup kembali menjadi sunyi dan sepi.

Mei 1958: Waemonggo

Pada bulan Mei, tuan guru Meijer datang lagi kunjungi kampung Arup. Ketika dia tiba, hanya ada empat orang di kampung, tetapi dalam hari-hari berikut, beberapa orang lagi datang masuk kampung. Mereka bilang bahwa mereka tidak puas dengan Waemonggo. Kepala desa itu lebih sering berada di Tanah Merah daripada di kampung mereka, dan itu juga telah diperhatikan oleh Meijer sendiri. Pemerintah di Tanah Merah kadang-kadang pilih beberapa orang dari pedalaman yang dikirim ke Hollandia (kini: Jayapura) untuk bekerja di sana untuk jangka waktu tertentu. Waemonggo sudah coba ikut program pemerintah itu, tetapi dia ditolak. Karena itu, ia merasa malu dan sementara waktu menghindar.

IMG-20160414-WA0005-L-1
Waemonggo Klaru

Orang-orang Arup juga mengatakan bahwa Waemonggo telah membunuh seseorang di dekat Firiwage, dan karena itu penduduk kampung tersebut itu sekarang mau membalas dendam. Itulah sebabnya mengapa semua orang Arup sudah bubar dan pulang ke mereka punya rumah-rumah tinggi di hutan. Di sana mereka rasa lebih aman daripada di kampung. Mereka bilang bahwa ketika tuan Meijer nanti berangkat kembali ke Kouh, pada hari yang sama mereka pasti akan segera kembali ke dusun, karena mereka tidak akan tinggal di Arup tunggu serangan dari orang-orang Firiwage!

17-05 1980 06 Ndeia-Tiau ZW-L
Rumah tinggi di daerah Kombai, 1980.

4.   Rencana-rencana yang hebat

Zending

Klamer dan Van Benthem

Pdt. Drost berpendapat bahwa Arup harus menjadi pos utama kerja zending, sebagai pangkalan untuk pekerjaan di sepanjang sungai Digul-atas dan kali Tsaw, Kasuari, dan Dawi. Pada tanggal 16 Mei 1958, dia tulis surat ke gereja di Enschede bahwa di daerah itu ada kerja cukup untuk melibatkan tiga misionaris.
Alasan konkret untuk suratnya adalah bahwa kemungkinan besar akan ada beberapa misionaris lain yang akan datang bekerja di Papua dalam waktu dekat. Pada bulan Juni 1958, gereja-gereja di Belanda ambil keputusan untuk mengutus pendeta Klamer dan pendeta Van Benthem ke Nederlands Nieuw-Guinea (Papua). Awalnya, mereka berdua telah dipanggil untuk nanti diutus ke Kalimantan, tetapi semakin jelas bahwa pemerintah Indonesia tidak akan memberikan visa kepada mereka karena ketegangan politik antara Indonesia dan Belanda pada saat itu.

Meijer-A P32-1-L
Pdt Drost sedang mengetik surat.

Ketika Drost melihat kemungkinan itu, dia sudah surat-menyurat dengan Klamer dan Van Benthem. Itu sebabnya bahwa pada awal bulan Maret, Klamer sudah hampir yakin bahwa dia akan bekerja di Arup; dia tulis bahwa setelah tinggal sebentar di Tanah Merah, dia ingin segera membangun dan menginap sebuah rumah prefab aluminium di kampung Arup. Selain dua pendeta tersebut itu, gereja di Kanada juga sedang mertimbangkan untuk kirim seorang misionaris ke Nederlands Nieuw-Guinea.

Drost dan Thieman

Satu bulan kemudian, terjadi bentrokan antara pendeta Drost dan Pastor Thieman (bnd posting 28). Untuk mengantisipasi tindakan balasan dari Misi, mereka segera “menduduki” Kouh. Namun, Drost dan Meijer anggap penting untuk segera mempercepat rencana pengembangan di bagian atas sungai Digul. Beberapa hari setelah percakapan dengan pastor, Drost tulis ke Enschede bahwa dia berharap dapat memulai pekerjaan di Arup pada akhir tahun itu. “Namun demikian, saya tidak menantikan banyak aktivitas Misi Katolik di daerah kali Kasuari. Misi tidak memiliki sarana transportasi seperti yang kita miliki.”

Dan memang, pastor Thieman dengan sedih harus melihat bahwa zending dengan kapal Ichthus bisa mencapai daerah sungai Digul-atas dengan lebih mudah dan cepat daripada dia sendiri.

Sebaliknya, pemerintah di Tanah Merah sangat senang dan melihat peluang untuk segera masuk wilayah utara yang sampai saat itu masih berada di luar batas pengaruhnya. Peters memberitahu Drost bahwa mereka serius berencana mendirikan pos pemerintahan di Arup. Hal ini mendorong Drost untuk berpikir lebih jauh lagi: kalau demikian, mereka juga akan membutuhkan seorang guru, dan dalam jangka waktu yang lebih lama, zending mungkin juga harus mendirikan sebuah rumah sakit kecil dengan seorang dokter.

IMG-20160414-WA0045-L-1
Pdt Klamer dengan istrinya

Rencana pembangunan

Satu minggu setelah dia tiba di Tanah Merah, pendeta Klamer menulis ke gereja yang mengutusnya (Spakenburg) bahwa sangat penting untuk segera memesan sebuah rumah prefab untuk dia. Dan juga sebuah kapal, dengan jenis yang sama seperti Ichthus, tetapi sedikit lebih besar: “Jika tidak, tidak mungkin untuk membawa semua bahan bangunan (seperti semen, rumah prefab, makanan, dll.) ke atas.” Menurut dia, penting sekali untuk memastikan bahwa dalam waktu yang sangat singkat seorang guru akan diutus untuk tinggal di Arup; jika tidak, istri pdt Klamer akan berada di sana sendirian ketika Klamer melakukan patroli.

Tanggal tiba ke-empat misionaris pertama di Tanah Merah

Drost

26 Maret 1957

Meijer

19 Nopember 1957

Klamer

29 Juli 1958

Van Benthem

8 Nopember 1958

Pada tanggal 13 Agustus, Drost dan Klamer menuliskan visi mereka dalam “Rencana Sementara Pembangunan Kegiatan Zending di Wilayah Boven-Digul.” Program ini dimulai dengan pernyataan berani: “Kami yakin bahwa di wilayah ini ada tempat untuk setidaknya lima orang misionaris.”

Dengan rasa syukur, mereka mengingat bahwa beberapa hari sebelumnya, pekabaran Injil di Kouh telah dimulai (10 Agustus 1958, bnd. posting 35). Tetapi mereka menekankan bahwa pos pusat Zending harus dibangun di tempat yang lebih ke atas, yaitu di daerah kali Kasuari:

“Kami berpendapat bahwa di kampong Arup, kampong yang letaknya 1 hari perjalanan lebih ke atas dari Kouh, pos pusat Zending harus didirikan, karena lokasinya yang strategis, dan karena fakta bahwa Pemerintah di Tanah Merah juga ada rencana untuk mendirikan pos di sana.
Kami berencana untuk segera memulai persiapan pos Zending di sana. Dari kampong pusat tersebut, wilayah itu dapat dikerjakan dalam berbagai arah, sementara tempat-tempat lain untuk membuka pos Zending dapat ditentukan kemudian.”

Sementara itu, istri Klamer akan mengurus poliklinik di Arup.
“Dalam pengembangan pos medis di Arup, pada suatu saat akan timbul kebutuhan akan seorang dokter Zending. Saat ini, kami belum dapat mengatakan kapan dokter seperti itu diharapkan, tetapi pastinya tidak dalam waktu dekat.”

05-vRummelen 2-1-L
Bivak dari MMNNG dibanjiri oleh Digul.

5.   Mencari lokasi baru

Kekecewaan yang besar

Akhir tahun 1958, Arup masih tetap kecil, dengan sekitar delapan rumah. Kendala utama yang menghambat pembangunan kampung ini dan mengurangi minat para penduduknya adalah saat banjir, air sungai Digul membanjiri halaman kampung. Kadang-kadang air bahkan naik sampai setinggi 50 cm di bawah rumah-rumah. Hal ini membuat penduduk merasa tidak nyaman tinggal di sana dan khawatir akan barang-barang mereka. Mungkin lebih baik mereka mencari tempat lain lagi kah?

Pada pertengahan bulan Agustus, Drost pergi ke Arup lagi. Kali ini, pendeta Klamer juga ikut untuk melakukan orientasi pertama di daerah tempat dia berharap akan bekerja. Ketika mereka tiba di Arup, mereka terkejut melihat bahwa lokasi kampung ini tidak cukup tinggi untuk tetap kering saat banjir besar. Hal ini sangat mengecewakan! Kampung ini tidak hanya kecil, tapi juga basah! Orang kampung datang mengeluh kepada mereka: “Kami mau pindah dari sini!”
Maka pada pagi hari yang berikut, mereka naik kapal Ichthus untuk mencari bukit yang lebih tinggi dan cukup besar untuk membangun pos pusat zending.

Waemonggo

Mencari sepanjang hari

Mandur Balekho dan kepala kampung Waemonggo ikut serta. Mereka orang daerah ini dan tahu beberapa lokasi yang mungkin cocok. Sepanjang hari mereka memeriksa beberapa bukit di sepanjang sungai Digul. Namun, pencarian mereka belum berhasil. Setiap tempat yang mereka periksa ternyata tidak cocok karena terlalu kecil atau terlalu sempit. Beberapa tempat mungkin cocok untuk rumah-rumah kampung, tetapi tidak cukup luas untuk mendirikan beberapa rumah zending.

Waemonggo berdiri di reling. Tempat terakhir yang dia mau tunjuk kepada Drost dan Klamer adalah di muara kali Falia. Jika lokasi itu juga tidak memenuhi persyaratan, mereka harus kembali ke Arup.
Sayangnya, Drost juga menolak lokasi terakhir itu. “Apakah kamu tahu lokasi lain yang lebih besar?” tanya dia. “Tidak,” kata Balekho, “tidak ada lokasi lain lagi yang bisa kami pergi periksa.”
Waemonggo tetap diam dan berdiri di belakang. Dia masih tahu satu tempat yang lebih besar, lebih tinggi, dan lebih luas dari semua tempat yang mereka lihat hari ini, tetapi dia tidak mau membawa mereka ke sana. Jadi dia tetap diam dan tidak mengatakan apa-apa.

IMG 016747-L
Kali Digul di antara Kawagit dan Biwage

Pulang

Mereka berbalik dan mulai kembali ke Arup. Sekarang mereka ikut arus sungai dan maju jauh lebih cepat daripada saat mereka naik sungai melawan arus. Mereka tetap harus waspada terhadap tempat-tempat dangkal, tetapi mereka mencapai kemajuan yang baik. Di bagian sungai Digul ini, ada banyak cabang sungai dan pulau-pulau. Pada suatu saat, Drost mau masuk ke salah satu cabang sungai yang tadi pagi mereka tidak lewati. Waemonggo terkejut! Itu tidak boleh! Kalau mereka akan ikut cabang itu, mereka akan datang lewat bukit tinggi yang dia mau sembunyikan dari mereka! “Tidak, tuan,” katanya, “lebih baik kita ikut cabang sungai yang lebar, yang putar pulau itu di sebelah kanan. Tadi pagi kita juga lewat di sana.” “Ya, itulah sebabnya!” jawab Drost dengan heran dan sedikit kesal. Dan meskipun Waemonggo tetap protes, Drost tidak peduli dan suruh juragan Yakob Deda untuk putar pulau itu dari sebelah kiri.

MKDrost-F 010-L
Yakob Deda di kapal Ichthus.

Drost

Drost sama sekali tidak mengerti keberatan dari kepala kampung itu. Sepanjang hari dia sudah sangat membantu. Mengapa tiba-tiba dia melawan? Mengapa dia tidak mau lewat cabang sungai Digul yang lain itu? Dengan kecepatan saat ini, mereka akan kembali ke Arup dalam sekitar satu jam. Tetapi apa yang mereka harus lakukan setelah itu? Sudah jelas bahwa mereka tidak dapat membuka pos zending di tempat itu. Bahkan penduduk sendiri tidak mau tinggal di sana. Apa yang harus mereka lakukan? Di mana kah mereka dapat mendirikan pos zending pusat yang direncanakan? Itulah sebabnya dia masih mau lewat cabang Digul ini. Mereka belum pernah ke sini sebelumnya. Mungkin saja ada lokasi yang baik di sini? Ia berpegang pada harapan terakhir ini.

Setelah tikungan yang tidak terlalu tajam di sungai, dia melihat di kejauhan di sebelah kiri hutan yang sangat tinggi. Apakah itu hanya pohon-pohon raksasa? Atau mungkin ada tanah tinggi di sana? Dia meminta Yakob untuk mengurangi laju kecepatan.

Ketika mereka semakin dekat, dia lihat bahwa ini memang sebuah bukit yang sangat tinggi. Bagaimana itu bisa terjadi! Kepala kampung pasti sudah tahu! Mengapa tadi pagi dia tidak membawa mereka ke sini langsung? Jika begitu, mereka tidak perlu repot-repot melakukan perjalanan jauh periksa banyak tempat lain! Pendeta Drost sangat kecewa dengan kepala desa itu. Sekarang sudah jelas mengapa dia tidak mau mereka lewat di sini. Alasannya memang sulit dimengerti! Dia tampak sangat membantu, tapi sebenarnya dia telah coba sembunyikan lokasi yang bagus ini! Drost semakin marah.

IMG_6691-L
Bukit tinggi dimana nantinya kampung Kawagit.

Chabutu

Sementara itu, Yakob mengarahkan kapal Ichthus ke tepi dan beberapa saat kemudian mereka mendarat untuk melihat apakah bukit ini benar-benar sebesar yang terlihat dari sungai. Waemonggo tinggal di belakang. Dia berbisik kepada mandur Balekho, “Aduh, saya takut… Saya tidak berani ikut…”
Drost dan Klamer memanjat melalui hutan di lereng bukit sampai mereka berada di atas. Dari sana mereka bisa melihat jauh ke atas hutan. Indah sekali! Di sini, bahkan saat banjir terbesar pun tidak perlu khawatir tentang kaki yang basah! Ini tempat yang bagus sekali! Dan mereka yakin bahwa bukit ini cukup luas untuk kampung dan beberapa rumah zending. Inilah tempat yang cocok untuk pos pusat zending di daerah ini!

Dengan senang dan lega, mereka turun kembali ke kapal. Ketika mereka sampai di sana, Drost bertanya, “Bukit ini siapa punya?”
Waemonggo masih tetap sembunyi diri di belakang. Tetapi Balekho menjawab:
“Nama tempat ini Chabutu4, dan ini adalah Waemonggo punya dusun. Dia milik hak pakai di sini…”
Sekarang mau tidak mau Waemonggo harus maju.
“Ini kau punya dusun kah?” tanya Drost.
“Iya, betul pak, tanah di sini saya punya… Sebenarnya ini adalah saya punya mama punya dusun. Tapi bapak, di sini kami tidak bisa buka kampung! Kami tidak bisa tinggal di sini! Nanti kami semua akan mati!”
“Mati? Mengapa? Apa yang kau bicarakan?”
“Ini tempat pemali, tempat setan! Tempat ini harus dihindari, karena di sini tempat roh-roh. Tidak aman di sini! Benar, bapak harus percaya saya, kita sebaiknya pulang dari sini!”

Tetapi Drost tidak mau dengar itu. Bukit ini adalah lokasi yang sangat cocok, di sinilah mereka harus membuka kampung, dan di sini dia mau mendirikan pos zending! Dia sangat marah pada kepala kampung itu! Dia begitu marah sehingga dia mau pukul dia.
“Kau sudah tipu kami! Kau sudah membuat kami cari sepanjang hari, padahal pagi tadi kita bisa langsung ke sini! Kau main-main dengan kami! Kau takut roh-roh? Kami tidak takut! Dan kamu juga tidak boleh takut. Kamu bisa tinggal di sini dengan aman. Inilah tempat untuk pos zending! Kamu harus membersihkan tempat ini. Dan engkau, bapak mandur, engkau harus mengatur pembukaan tempat ini! Itu adalah kau punya tugas. Kamu harus membuka kampung di sini!”

Arup-123 Route - Ambas Manyanggatun-L - C - IND
Peta perjalanan Drost dan Klamer cari tempat baru untuk Arup

Tunas sagu

Drost dan Klamer sudah pulang ke Tanah Merah. Tetapi Waemonggo dan orang-orang Arup sekarang menghadapi masalah besar. Mereka benar-benar percaya pada bahaya roh-roh di tempat pemali itu. Tetapi di sisi lain, mereka juga tidak mau putus hubungan dengan orang-orang kulit putih itu. Dan sudah jelas bahwa mereka tidak bisa tinggal di Arup. Jadi apa yang harus mereka lakukan?
Mandur Balekho kecewa. Drost sudah kasih perintah kepadanya untuk atur orang Arup bersihkan tempat itu, supaya kampung nanti bisa pindah ke sana. Tapi dia takut! Bagaimana jika roh-roh itu akan berbuat sesuatu…

Seseorang dapat gagasan yang hebat: mereka harus melakukan uji coba untuk mendapatkan pertanda baik! Usulan itu disambut dengan antusias dan langsung mereka setuju. Mereka masih bicara lama untuk menentukan cara melaksanakan tes itu.
Habis itu, mereka bersiap-siap pergi ke Chabutu. Di tengah perjalanan, mereka singgah di tempat rawa sagu. Mereka cari tunas sagu yang muda, menggali dan membawanya.

.Tunas Sagu 01 Klein-wit

Ketika mereka tiba di Chabutu, mereka tidak naik bukit roh-roh, mereka tetap tinggal di bawah. Di lembah itu, mereka cari tempat yang cocok, baru dengan acara yang tepat dan dengan mengucapkan rumusan rahasia yang diharapkan bisa memuaskan roh-roh itu, mereka tanam tunas sagu yang mereka bawa tadi. Maksudnya, jika tunas itu tumbuh, itu adalah pertanda baik. Jika hal itu terjadi, mereka bisa membuka lokasi ini dan membuka kampung, dan tidak perlu takut bahaya. Tetapi jika tunas sagu itu tidak berhasil berakar dan mati, itu berarti roh-roh tidak setuju! Jika demikian, tempat ini benar-benar tidak aman dan tidak mungkin mereka membuka kampung di sini.
Setelah itu, mereka pulang ke Arup.

Hari berikut, mereka pergi lihat, dan wah!, daun baru sudah muncul! Cepat sekali! Ah, jika begitu mereka tidak perlu takut untuk membuka tempat ini! Mereka sudah dapat pertanda bahwa roh-roh itu tidak lagi menjadi masalah. Balekho dan yang lainnya merasa lega.

IMG 016737-L
Pohon sagu di bawa bukit Kawagit, 2017.

6.   Kawagit

Pohon sagu tumbuh menjadi pohon besar. Balekho, Waemonggo, dan orang lain yang ikut pindah dari Arup ke tempat baru ini sering tunjuk pohon sagu itu kepada anak-anak mereka, dan ceritakan sejarahnya: “Lihat: dulu, waktu kampung ini belum ada, kami tanam pohon sagu itu untuk mengetahui apakah kami bisa tinggal di sini dengan aman.”

Sekitar lima tahun yang lalu, waktu Waemonggo, Balekho, dan orang lain yang membuka tempat ini sudah lama meninggal dunia, seseorang yang tidak peduli akan sejarah itu sudah tebang pohon ini untuk pangkur sagu. Anak-anak dari generasi pertama, yang sekarang sendiri sudah mulai tua, sangat menyesal. Karena pohon sagu tua itu adalah kenangan tentang orang tua mereka, sebuah tanda sejarah yang mengingatkan pada awal mula desa ini di muara kali Ka, yang memberi nama desa ini: Kawagit.

Nara Sumber-1
Nara sumber sejarah Kawagit. Dari kiri ke kanan, di atas: Bernadus Kurufe, Lamekh Amuru, Dorkas Kurufe; di bawah: Marit Klaru, Aram Kurufe, Ferdinan Kurufe.

Bernadus Kurufe, Okhare punya anak
Lamekh Amuru, Andawo punya anak
Dorkas Kurufe, Balekho punya anak
Marit Klaru, Waemonggo punya anak
Aram Kurufe, Yawuno punya anak
Ferdinan Kurufe, Endomo punya anak

-//-

Catatan

  1. Balekho atau Baleo Kurufe
  2. Okhare Kurufe juga disebut Khofofio, atau Fiamburu.
  3. Pada tahun 1960, Tambunop ternyata menetap di kampung Murup.
  4. Nama Chabutu itu mungkin pdt Klamer salah catat dan seharusnya Kamburu: dusun kali Ka.
  • Waemonggo Klaru kemudian menjadi Kristen dan dibaptis pada tahun 1960-an oleh pendeta Klamer. Dia meninggal dunia sekitar 1984. Istrinya Hambelayo Lanugut juga menjadi Kristen. Die meninggal dunia pada tahun 1992.
  • Balekho Kurufe, Okhare Kurufe, dan Yawuno Kurufe semua meinggal dunia sebelum dibaptis. Balekho sekitar 1967, Okhare pada tahun 1975, dan Yawuno sekitar tahun 2000.
  • Balekho juga disebut Baleo.
    Yawuno / Yafuno: pendeta Klamer kasih dia nama: Yanuarius.
    Okhare ada nama lain juga: Khofofio, dan Fiambaru.

 

Sumber

Publikasi

  • Groot, P.F. de, Kort verslag over de werkzaamheden van de IIIde Expeditie der N.V. Mijnbouwmaatschappij Nederlandsch Nieuw-Guinea in 1938 en 1939. Dalam: De Ingenieur in Nederlandsch-Indië, tahun terbitan ke-7 no. 9 (bulan September 1940).
  • Klamer, J., In het land van de Papoea’s. (“Di tanah Papua.”) Seri artikel dalam Gereformeerd Gezinsblad (kini: Nederlands Dagblad), no. 14 ttgl 22 Pebr. 1960.

Arsip Nasional di Den Haag

  • Peters, F.H., Memorie van Overgave van de Onderafdeling Boven-Digoel, 1958. Toegang 2.10.25, inv. nr 43.
  • Rummelen, F.F.F.E. van, Dagrapporten , juli 1938. Toegang 2.20.51 inv.nr 746.
  • Rummelen, F.F.F.E. van, Kleine verkenning 19/7 s/d 23/7 . Toegang 2.20.51 inv.nr 746.
  • Rummelen, F.F.F.E. van, Rapport kleine verkenning 24/7 s/d 29/7 ’38. Toegang 2.20.51 inv.nr 746.
  • Schreurs, J.G., Dagrapporten van 21 Juli – 25 Aug. ’38 (dengan peta yang terlampir). Toegang 2.20.51 inv.nr 746.

Perpustakaan Universitas Leiden

  • Moll, L.O.A., “Verslag kort tournee 7-10 Maart 1955 naar samenstroming van Casuarisrivier, Takoemrivier en Digoel.” (Laporan pendek patroli 7-10 Maret 1955 ke gabungan sungai Kasuari, Takum dan Digul). Lampiran-I pada laporan bulan Maret-April 1955 Boven-Digoel. Koleksi Moll, D.H 1430.

Arsip Missionarissen van het H. Hart
Erfgoedcentrum Nederlands Kloosterleven

  • Thieman, W., buku-buku harian 1 s/d 3. Arsip msc inv.no. 5045.
  • Thieman, W., buku-buku catatan patroli 1 s/d 3. Inv.no. 5045.
  • Thieman, W., “Geschiedenis Missiewerk in Tanah Merah en omstreken, van 22 Juni 1937 – “ (Sejarah kerja Misi di Tanah Merah dan daerah sekitarnya, mulai dari tgl. 22 JUni 1937 -). (Buku tulis dari Thieman; ringkasan-ringkasan dari buku harian pastor Meuwese). Inv. no. 5045.

Pusat Arsip dan Dokumentasi Gereja-Gereja Reformed di Belanda (ADC)

  • Drost, M.K., laporan-laporan. Dalam Archief Zending Enschede, archiefnummer 78, doos 56.
  • Meijer, J.W., laporan-laporan. Dalam Archief Vereniging Mesoz, archiefnummer 253, doos 5.
  • Klamer, J., laporan-laporan. Dalam Archief zendende Kerk Spakenburg-Zuid, archiefnummer 154, doos 10.

Berkas lain

  • Knigge, H., Ringkasan laporan patroli HPB Peters, lampiran pada laporan no. 3, ttgl 29 aug 1960. Dalam Arsip Zending di Toronto, Canada.

Arsip pribadi

  • Fanoy, A., laporan-laporan bulanan 1959-1962.
  • Klamer, J., Mijn levensverhaal.

Nara sumber

  • Marit Klaru, anak dari Waemonggo; rekaman pada tanggal 4 Nopember 2022 di Tanah Merah
  • Ferdinan Kurufe; rekaman pada tanggal 5 Nopember 2022 di Tanah Merah
  • Aram Kurufe, anak dari Yawuno Kurufe dan Wakhuno Dedemu; rekaman pada tanggal 5 Nopember 2022 di Tanah Merah
  • Bernadus Kurufe, anak dari Okhare; rekaman pada tanggal 15 Nopember 2022 di Kawagit
  • Lamekh Amuru, anak dari Andawo Amuru; rekaman pada tanggal 15 Nopember 2022 di Kawagit
  • Dorkas Kurufe, anak dari Balekho; rekaman pada tanggal 16 Nopember 2022 di Kawagit
  • Didimus Fangka; rekaman pada tanggal 17 Nopember 2022 di Kawagit