21 – Perintis di Tanah Merah

rumah Koops Hollandia
Rumah dan toko J. Koops di Hollandia (Kloofkamp), tempat penginapan pendeta Drost dan keluarganya dari September 1956 sampai April 1957

 

Cergas

Masih sebelum gereja di Enschede (Belanda) membalas proposal dari pendeta Drost untuk memilih Boven-Digul sebagai lapangan pekabaran Injil,1 pendeta Drost sudah mulai memikirkan bagaimana rencana itu nanti bisa diwujudkan. Ada banyak hal yang harus diatur! Sampai sekarang dia tinggal di rumah keluarga Koops di Hollandia (kini Jayapura). Keramahan itu memang luar biasa, tetapi tempat itu tidak begitu tenang. Dan jika rencana itu jadi, mereka harus pindah ke Tanah Merah.

Segera menjadi jelas bahwa di tidak ada rumah di sana yang bisa dia sewa; dia harus membangun rumah sendiri. Paling gampang kalau dia bisa pesan rumah prefab. Tetapi di mana dia bisa memesannya? Dan mana yang lebih baik, aluminium atau kayu? Apa yang termurah? Apa yang tercepat untuk dicapai? Dan siapa bisa tolong mendirikan rumah itu? Saat itu belum ada kontraktor di Tanah Merah. Di Merauke ada, tetapi mereka ternyata semua sibuk membangun rumah-rumah lain.

Papua dan Eropa
Besarnya pulau Papua dibandingkan dengan Eropa.a

Kapal, juragan, guru Injil

Masalah lain yang harus dipecahkan: sebuah kapal. Jika dia tidak memiliki kapal, hampir mustahil untuk nanti dia bekerja di daerah Digul atas. Tetapi kapal seperti apa? Dan siapa yang akan membayar untuk itu? Ongkos pembelian kapal tentu akan melebihi anggaran zending. Gereja di Enschede segera menanggapi dengan melakukan aksi pengumpulan dana, dan banyak orang di Belanda memberi sumbangan. Bagus sekali! Kapal itu bisa dibeli!

Tetapi bagaimana mereka bisa mengirim kapal itu ke Tanah Merah? Melalui Sorong kah? Atau melalui Merauke kah? Atau mungkin lebih baik melalui Bade kah? Dan siapa yang akan berlayar dengan kapal itu? Perlu seorang juragan yang memenuhi syarat-syarat pemerintah dan yang memiliki izin berlayar. Di mana pendeta Drost dapat menemukan seorang juragan yang memenuhi persyaratan itu dan yang dapat diandalkan?

Beberapa orang menganjurkan agar dia juga mencari seseorang untuk diangkat sebagai guru Injil. Sepertinya rencana yang masuk akal. Hanya saja, bagaimana dia dapat mengatur perumahannya?

Kamar studi Drost
Meja kerja pendeta Drost di dalam kamar duduk rumah Koops di Hollandia

Perintis

Ketika Boven Digul dipilih untuk menjadi lapangan pekabaran Injil dari Gereja-Gereja Reformasi di Belanda, keputusan itu tidak berarti bahwa pendeta Drost langsung bisa mulai memberitakan Injil di wilayah tersebut. Dia telah membuat usulan itu kepada gereja di Enschede, Enschede telah menerimanya, maka sekarang dia sendiri harus menyusun proyek pekabaran Injil itu. Dan tentu ada banyak hal praktis yang harus diatur ketika memulai proyek pekabaran Injil yang sama sekali baru. Selama hampir setahun dia akan sibuk dengan hal itu, dan tahun berikut lagi.

Sebagai utusan pertama, dia terutama dan pertama-tama adalah perintis yang harus mewujudkan prasyarat yang diperlukan untuk memungkinkan pekabaran Injil nanti dapat dijalankan di daerah yang ditujui. Tugasnya sangat sulit, mengingat bahwa wilayah itu dan bahkan Tanah Merah saat itu masih sangat sulit diakses. Dia tidak dapat mengandalkan semua jenis tukang di sana. Lagi pula belum ada hubungan telepon atau whatsapp. Pada zaman itu, Tanah Merah masih adalah sebuah pos terdepan dari dunia barat di tempat yang terisolasi di tengah hutan yang sebagian besar belum pernah dimasuki.

Residen Boendermaker
A. Boendermaker, Residen Zuid Nieuw-Guinea. b

Jaringan hubungan

Pada bulan-bulan sebelumnya pendeta Drost sudah berhasil membangun jaringan hubungan yang luas. Semua relasi itu sekarang sangat berguna. Tanpa bantuan orang di Sorong, Merauke, dan Tanah Merah yang telah dia temui, urusannya tentu akan jauh lebih sulit, jika bukan tidak mungkin. Minggu-minggu ini ia menghabiskan banyak waktu di belakang mesin ketik, dan memelihara korespondensi yang intensif, termasuk dengan residen Boendermaker di Merauke.2 Dia terima banyak saran dan petunjuk. Tapi dia harus memutuskan semuanya sendiri! Tidak ada seorang rekan untuk berdiskusi dan memutuskan bersama, dan gereja di Enschede itu jauh.

Hollandia 1953
Hollandia 1953. c (© Sjoerdrj di Flickr)

Teman kerja?

Tanggung jawab itu membebani pendeta Drost. Pada awal bulan Desember 1956 dia menulis dalam suatu surat kepada gereja di Enschede bahwa dia berharap gereja di Leerdam3 akan bergegas. Gereja itu masih berunding dengan beberapa gereja lain di Belanda, dan mungkin akan mengirim seorang pendeta misionaris ke Papua. Selain itu, gereja-gereja di Kanada juga memikirkan tugas misi mereka, dan Papua adalah salah satu pilihan bagi mereka. Tetapi semuanya itu masih sangat tidak pasti, dan pendeta Drost sangat menantikan kedatangan seorang rekan kerja. Bahkan, sebelum dia berangkat dari Belanda, gereja di Enschede sudah berjanji bahwa mereka tidak akan membiarkan Drost bekerja tersendiri di Papua!

Bapak guru Meijer?

Ketika Enschede membuat proposal untuk mengutus seorang guru ke Papua, pendeta Drost membalas dengan antusias: biarkan guru itu datang sesegera mungkin! Dia juga langsung mengusulkan suatu seorang yang mungkin bersedia untuk datang, yaitu bapak guru Meijer di Amsterdam. Sebelum pendeta Drost berangkat dari Belanda dia sudah pernah bertemu dengan orang itu, dan dia tahu orang itu merasa tertarik. Memang orang lain bisa juga, asal orang yang akan diutus itu memiliki bakat teknis: “menangani palu, dll. diperlukan di sini. Kami harus melakukan banyak hal sendiri”, katanya. Jika orang itu datang dengan cepat, dia dapat membantu membangun rumah di Tanah Merah. Seandainya perlu, istrinya bisa datang pada saat kemudian.

Haruslah seseorang yang sudah menikah. Kalau saja kedua istri dapat menemani yang satu yang lain, ketika kedua suami mereka nanti keluar berpatroli.
Itu bulan Januari 1957. Pertengahan bulan November tahun itu baru guru yang dibicarakan itu akan tiba di Tanah Merah. Pendeta Drost benar-benar harus membangun rumahnya sendiri.

Rumah

Faktor waktu akhirnya menentukan. Sebenarnya sebuah rumah prefab aluminium lebih bagus, tetapi waktu yang dibutuhkan untuk mendapat dan mendirikannya di Tanah Merah itu terlalu lama. Itu sebabnya pendeta Drost memesan rumah prefab buatan kayu, dari perusahaan kayu Entrop di Hollandia. Bapak Entrop berjanji bahwa salah satu dari karyawannya akan datang ke Tanah Merah untuk bantu mendirikan rumah itu. Untuk fondasi dan lantai pendeta Drost harus mencari seseorang dari Merauke. Tetapi ketika pendeta Drost tidak berhasil menemukan tukang di Merauke yang dapat membuat itu, Entrop mengatakan bahwa kalau begitu dia dapat kirim dua tenaga untuk membuat landasan.
Untuk mengurus bahan yang diperlukan, pendeta Drost menghubungi kenalannya di Merauke; mereka berjanji kirim semen dan kayu ke Tanah Merah. Tinggal saja mengatur pengiriman rumahnya dari Hollandia ke Tanah Merah, apakah perlu melalui Merauke, atau mungkin bisa juga melalui Bade yang jauh lebih dekat.

Kapal Ichthus
Pelayaran percobaan kapal Ichthus di pelabuhan Amsterdam, sebelum dikirim ke Papua.

Kapal

Sementara pendeta Drost menyibukkan diri dengan segala urusan berkaitan dengan pendirian rumahnya di Tanah Merah nanti, gereja di Enschede memusatkan perhatiannya pada pembelian kapal. Aksi pengumpulan dana cukup berhasil sehingga mereka bisa memesan kapal. Mereka bertanya kepada pendeta Drost, jenis kapal apa yang dia butuhkan. Dan apa jenis mesin yang harus dimasukkan, 1-silinder atau 2-silinder. Dan perlukah toilet juga dibangun di dalamnya? Pendeta Drost sendiri juga masih ada beberapa hal berkaitan dengan kapal itu, sehingga korespondensi bulan Januari 1957 penuh dengan detail-detail teknis.
Sementara itu, pendeta Drost senang sekali berhasil menemukan seorang juragan. Namanya Jakob Deda, seorang pemuda yang berkeluarga, dengan dua anak kecil. “Jadi kami terus ‘membangun’ dan segera kami berharap untuk ‘berlayar’ di bawah bendera Salib. Semoga Tuhan memberi kamu dan kami banyak sukacita dan kemajuan dalam pekerjaan ini. Tuhan memberkati rencana-rencana kita. Kami menyerahkannya ke dalam tangan-Nya: Dia adalah Raja kita yang perkasa, yang juga memerintah atas cabang kerja ini di Kerajaan-Nya. Tuhan memberkati kamu.”
Cabang kerja ini… Dia benar-benar ingin memulai dengan cabang kerja yang lain, pekerjaan yang sebenarnya: pekabaran Injil!

Jakob Deda
Jakob Deda dengan istri dan anak-anaknya

Fleksibel

Pendeta Drost sudah segera memperhatikan bahwa di Papua jarang saja semua berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan. Ia belajar menjadi fleksibel dan menghadapi situasi yang tidak pasti. Berulang-ulang kali dia harus menyesuaikan rencana dan memikirkan cara-cara lain untuk mencapai tujuannya. Seperti ketika menjadi jelas bahwa kapal yang akan membawa rumahnya serta semua barang mereka dari Hollandia ke Bade tidak akan melalui tempat itu. Tentu itu merupakan kesialan yang berat, karena kapal yang berikut akan pergi sebulan kemudian. Pendeta Drost tidak suka pembangunan rumahnya akan mengalami keterlambatan satu bulan, tetapi apa yang bisa dia lakukan?

Tiba-tiba terjadilah kesempatan lain. Dia mendengar bahwa kapal Carstensz yang biasa memelihara hubungan antara Merauke dan Tanah Merah, sementara ada di pelabuhan Hollandia untuk diperbaiki. Segera pendeta Drost pergi ke direktur perusahaan pelayaran “Mamberamo”, yang mengelola kapal ini. Ketika direktur itu mendengar masalahnya, dia janji bahwa ketika kapal Carstensz sudah diperbaiki dan kembali ke selatan, rumah Drost dan semua barang lainnya boleh ikut dan langsung akan dibawa sampai di Tanah Merah. Jadi solusi itu sebenarnya jauh lebih bagus daripada rencana semula!

Hollandia-binnen
Hollandia-kota, sekitar 1956. Di sebelah kanan di bawah adalah rumah sakit. d

Masa yang baik dan sulit

Pada bulan Januari, di tengah segala kesibukan kerjanya, istrinya melahirkan anak keempat mereka. Dia segera sembuh, dan pada hari Minggu 20 Januari anak kecil itu dibaptis. Itu terjadi dl dalam suatu kebaktian yang diadakan di rumah keluarga Koops. Pada hari yang sama mereka juga merayakan pesta Perjamuan Kudus, dalam kebaktian sore.
Tetapi kalau jatuh sakit, kerja sementara terpaksa berhenti. Pada akhir bulan Januari pendeta Drost tidak rasa enak badan. Dia merasa lemah lesu, dan tak berdaya. Dulu mereka pikir bahwa dia dapat malaria. Tetapi sesudah diperiksa ternyata dia kena sakit kuning, dan perlu dirawat di rumah sakit. Letaknya rumah sakit itu di Hollandia-kota (kini Abepura), sekitar 10 kilometer dari tempat rumah Koops. Dia harus beristirahat sampai sakitnya sembuh dulu.

Pada hari Senin tanggal 22 Februari di boleh keluar rumah sakit dan pulang ke rumah. Dua hari kemudian mereka menerima berita dari Belanda bahwa ayah pendeta Drost sakit parah. Malam hari berikut ada telegram bahwa dia telah meninggal dunia. Mereka sangat terharu dan sedih mendengar berita itu. Bapak Koops mengambil Alkitabnya dan membacakan Mazmur 23: “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku…” Bersama-sama mereka berdoa.

Kemudian mereka tenang dan tidur. Karena – demikianlah kata pendeta Drost – “sekarang ayah ada di Rumah Bapa di surga dan bersama dengan semua orang percaya yang sudah meninggal ia menantikan pagi kebangkitan. Pengharapan itu, yang berfokus pada masa depan Tuhan kita Yesus Kristus, telah sangat menghibur kita, dan menghibur kita setiap hari lagi. Karena kita mempunyai pandangan tentang kemuliaan yang kita akan menerima bersama dengan orang Dayak dan orang Papua – ya, bersama dengan seluruh gereja Tuhan, yang dikumpulkan-Nya dari segala penjuru bumi.”
Tatapannya tetap tinggal berfokus pada Boven Digul!

Peta Tanah Merah
Lokasi rumah pendeta Drost di Tanah Merah. e

Ke Tanah Merah

Pada 26 Maret dia akhirnya bisa berangkat ke Tanah Merah. Dua tenaga dari Entrop ikut. Istri dan anak-anaknya masih tinggal di Hollandia sampai perumahan di Tanah Merah diatur dengan baik. Untuk sementara waktu mereka bisa menginap di dalam salah satu rumah kosong dari pemerintah di Tanah Merah.

Sebelum dia bisa mulai membangun rumah, pendeta Drost dulu perlu pilih lokasinya. Ada tempat di dekat gedung gereja Protestan Maluku, tetapi tanah di situ kurang luas. Ada tempat lain di sebelah utara bandara, yang memang cukup bagus. Tetapi akhirnya pendeta Drost memilih tempat di sebelah selatan bandara. Lokasi itu sekitar 10 menit berjalan kaki dari kota, tapi selain daripada itu tempat itu yang terbaik dan paling nyaman. Pendeta Drost menerima tanah itu dari pemerintah tanpa pembayaran. Sama seperti misi Katolik juga tidak perlu bayar untuk tanah yang mereka pakai. Pemerintah menganjurkan agar pendeta Drost langsung mengamankan (tanpa biaya) sebagian tanah di sebelah rumahnya untuk memungkinkan perluasan kompleks zending di masa depan.

Boendermaker
Residen A. Boendermaker dengan anak kepala kampung Syuru di Asmat, 1955. f

Pertemuan yang tidak terduga

Semen dan bahan lainnya dari Merauke telah tiba di Tanah Merah. Sudah tanah diukur dan dibersihkan, mereka langsung mulai mengerjakan fondasi rumah. Minggu-minggu berikut, pendeta Drost dan dua tenaga dari Hollandia itu cukup sibuk dengan hal itu.
Pada suatu hari Sabtu, tiba-tiba ada pesawat yang turun di lapangan terbang. Tentu semua orang pergi lihat siapa yang datang. Ternyata ada bapak Boendermaker, si Residen Papua Selatan, bersama dengan direktur dari Nederlandsch Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM, perusahaan minyak, anak perusahaan Shell).

Ketika mendengar siapa itu, pendeta Drost pakai kesempatan untuk berbicara dengan direktur itu mengenai soal transportasi kapal zending dari Sorong ke Tanah Merah. kapal. Gereja Enschede di Belanda sudah kirim kapal itu dengan kapal besar ke Sorong. Pendeta Drost tahu bahwa sering ada kapal NNGPM yang dari Sorong berlayar ke Bade dan ke Tanah Merah. Oleh sebab itu dia memancing: “Bisa kah kapal NNGPM nanti membawa kapal zending itu dari Sorong ke Bade?”

Bapak direktur itu tertarik pada kerja zending, dan minta penjelasan lebih. Residen Boendermaker memberikan rekomendasi untuk pendeta Drost, baru direktur perusahaan minyak itu berjanji untuk membahas hal itu di Sorong. Dua minggu kemudian ada berita bahwa pada prinsipnya mereka setuju untuk membawa kapal itu dari Sorong ke Bade, dan mungkin terus lagi ke Tanah Merah. Itu akan ideal!

Drost
Drost dengan tenaga-tenaganya membangun rumah di Tanah Merah

Siap untuk konstruksi

Pada hari Paskah 21 April kapal Carstensz tiba di Tanah Merah. Hari berikut muatannya dibongkar. Semuanya dibawa ke rumah penginapan pendeta Drost, dan dia langsung mengatur kamar-kamar rumah itu. Ketika hari berikut pesawat dari Hollandia membawa ibu Drost dengan anak-anaknya, semua sudah siap bagi mereka. Juragan bapak Deda juga sudah datang dengan pesawat itu; istri dengan anak-anaknya masih tinggal di Hollandia. Sayangnya tukang dari Entrop yang akan tolong mendirikan rumah, belum datang. Berarti terpaksa harus bersabar selama seminggu lagi. Pendeta Drost kirim berita ke Entrop untuk memastikan bahwa minggu berikut tukang itu akan datang.

Dan betul, minggu berikut mereka bisa mulai membangun rumah. Bapak Deda bantu juga. Dia sementara tinggal di rumah penginapan pendeta Drost; tetapi tentu saja nanti perlu bangun rumah untuk dia juga. Mengingat hal itu, mungkin lebih baik belum mencari seorang guru Injil, itu bisa ditunda sampai tahun depan.

Drost dan Deda
Pendeta Drost dan Jakob Deda mengecat rumah di Tanah Merah
Jakob Deda
Jekob Deda, juragan zending, membantu mengecat rumah zending di Tanah Merah

 

Peluasan rumah

Pada bulan Mei Enschede mengangkat guru Meijer. Itu berarti bahwa perlu dibangun dua kamar lain lagi yang bersambung dengan rumah Drost. Apalagi, gereja-gereja di Kanada-timur (Toronto) sudah mengambil keputusan untuk juga mengutus misionaris ke Papua.4 Dan Gereja-gereja yang bekerja sama dengan gereja Leerdam di Belanda juga demikian. Di waktu mendatang harus rumah-rumah lain lagi dibangun untuk mengakomodasi semua orang itu.

Pembangunan rumah Drost sendiri mengalami banyak keterlambatan, akibat hujan lebat. Masih perlu dibuat baik air dan tangki kakus, tetapi selama hujan semen tidak bisa dituangkan. Tetapi pada pertengahan bulan Juli akhirnya mereka bisa pindah masuk ke Beth Haezer (“Rumah bantuan”).5 Itu nama yang mereka berikan kepada rumah zending itu. Nama itu pertama-tama menunjuk ke atas, yaitu merujuk ke pertolongan TUHAN, yang mereka telah mengalami kuat selama bulan-bulan itu. Pada saat yang sama, nama itu juga merujuk ke pemberitaan Injil di Digul Atas, yang akan dimulai bertitik tolak dari rumah ini; dengan tujuan itulah rumah ini dibangun!

Tukang kayu dari Hollandia pulang lagi; dengan bantuan bapak Deda, sisa pembangunan bisa diselesaikan oleh pendeta Drost sendiri. Kemudian mereka segera harus melanjutkan dengan pembangunan kamar-kamar untuk bapak guru Meijer dan istrinya. Pendeta Drost sudah pesan bahan untuk rumah itu dari Entrop di Hollandia. Ketika bahan itu sudah tiba, mungkin kamar-kamar itu dapat didirikan dalam kurang lebih dua minggu.

Rumah Drost
Rumah Drost di Tanah Merah
Drost
Pdt dan ibu Drost di belakang rumah mereka di Tanah Merah

 

Kesialan

Pada awal Juli, sebuah telegram dari Sorong membawa berita buruk. “Karena keadaan tidak ada kesempatan untuk mengirim kapal Anda dengan kapal penyusur NNGPM. Sarankan: dikirimkan oleh KPM. Mohon berita setuju.” Drost sangat marah. Segera dia kirim balasan: “mohon dikirimkan secepatnya oleh KPM ke Bade.” Kalau saja direktur itu langsung menolak permohonannya, waktu mereka bertemu di bandara di Tanah Merah! “Saya tidak tahu apakah mungkin ada perlawanan dari bapak-bapak Katolik. Kadang-kadang saya curiga. Tetapi hal seperti itu sangat sulit untuk dibuktikan”, demikian pikirannya pendeta Drost.
Kemudian menjadi jelas bahwa ada sesuatu yang lain yang menjadi sebab rencana itu tidak jadi. Ketika pada bulan Juni wabah flu kena Sorong, jadwal pelayaran kapal-kapal NNGPM diubah secara radikal. Oleh karena itu mereka tidak ada kemungkinan lagi untuk membawa kapal zending ke Bade atau Tanah Merah.

Pengunduran

Pembatalan ini berarti bahwa pendeta Drost untuk ke sekian kalinya harus menyesuaikan rencananya, dan menunda lagi perjalanannya pertama dengan kapal itu naik kali Digul.
Untuk memastikan bahwa pengiriman kapalnya tidak ditunda lebih lagi, dia menghubungi seorang pendeta misionaris di ECK di Sorong, yang dia masih kenal dari Belanda. Harapannya, bahwa pendeta itu bisa membantu berbicara dengan orang NNGPM di sana, supaya pengiriman kapal itu akan diurus dengan cepat dan dengan baik.
Kira-kira pada waktu yang sama, istri dari pendeta Drost harus pergi ke Merauke untuk perawatan medis, sehingga untuk sementara waktu pengawasan anak-anaknya jatuh ke pundaknya sendiri.

Tanah Merah
Lokasi rumah pendeta Drost di Tanah Merah, 1958

Menjemput kapal

Akhirnya dia dapat berita bahwa kapal sedang dalam perjalanan dan diharapkan tiba di Merauke sekitar 25 Juli. Sekarang pendeta Drost bisa buat rencana. Dia menginformasikan kenalannya di Merauke untuk memastikan semuanya akan baik-baik saja. Baru tidak ada jalan lain selain pergi menjemput kapal itu sendiri. Pendeta Drost dan bapak Deda bersama-sama terbang ke Merauke.

Pada hari Jumat, 2 Agustus, mereka berangkat dari sana dengan kapal penyusur yang membawa kapal mereka ke Bade. Setelah 3 hari berlayar, mereka tiba di sana pada hari Minggu sore. Besok pagi mereka menyiapkan kapal dan berangkat ke Tanah Merah. Untungnya ada bulan terang sehingga mereka bisa berlayar terus sepanjang malam. Tengah malam tanggal 6 Agustus mereka berlabuh di Tanah Merah, capai dari perjalanan yang melelahkan, tetapi dengan “bersyukur dan terima kasih atas kapal yang indah ini, yang akan menjadi bantuan yang baik untuk pekerjaan itu.” Hari-hari berikut Jakob Deda mengecat kapal itu. Ia juga melukis nama Ichthus di samping depan.

Akhirnya jadi!

Tiga minggu kemudian, perjalanan ke atas yang tiap-tiap kali tertunda akhirnya bisa dimulai. Bahan dari Hollandia untuk membangun kamar-kamar rumah Meijer belum tiba, sehingga ada waktu juga untuk membuat perjalanan itu. Pendeta Drost menulis dalam laporan kerjanya: “Pada hari-hari ini, pikiran kami sering kembali ke tahun lalu, ketika sekitar bulan yang sama kami menyiapkan diri untuk berangkat ke sini. Dan kalau kami melihat bahwa dalam minggu ini, pada Rabu – jikalau Tuhan menghendakinya – perjalanan pertama menuju ke lapangan pekabaran Injil kita akan dimulai, hal itu membuat kami menjadi hening karena rasa terima kasih!”

 

Catatan:

  1. Lihat pos yang sebelumnya
  2. A. Boendermaker saat itu Residen (‘bupati’) bagian Selatan Nederlands Nieuw-Guinea (kini propinsi Papua dan Papua-Barat). Lihat juga pos yang sebelumnya.
  3. Leerdam adalah gereja yang kemudian akan mengutus pendeta C.A. Versluis ke Papua.
  4. Gereja di Toronto, Kanada, kemudian akan mengutus pendeta H. Knigge ke Papua.
  5. Lihat pos yang lama

 

Sumber:

  • Korespondensi pdt Drost dengan ‘Enschede’ pada tahun 1956 dan 1957 (Archief- en Documentatiecentrum van de Gereformeerde kerken in Nederland, Zendingsarchief, archiefnummer 78, doos 56).
  • H. Drost Van Buitenpost naar buitenpost (tidak diterbitkan)
  • Berita-berita dalam surat kabar Gereformeerd Gezinsblad.
  • D.J. Jongsma, Een bestuurlijk moeilijk ressort’ – De houding van bestuursambtenaren in het Boven-Digoelgebied op Nederlands-Nieuw-Guinea in conflicten tussen zending van de gereformeerde kerk (vrijgemaakt) en missie van de missionarissen van het Heilig Hart, 1956-1962. (tesis master, tidak diterbitkan).
  • Ons Zendingswerk op Nieuw-Guinea,tahun 1955-1957.

Foto:

  1. © J.P.D. Groen
  2. Detail dari foto konperensi Maret 1960 Maret 1960. Arsip Nasional Belanda, koleksi Algemeen Nederlands Fotopersbureau (ANEFO).
  3. © Sjoerdj, di Flickr
  4. Dari koleksi Koloniale wereldtentoonstellingen, Tropenmuseum
  5. Pengolahan peta yang dilampirkan pada Aanvullende Memorie van Overgave van de onderafdelingschef van Boven Digoel, controleur I B.B. F.H.Peters (nota penyerahan), Desember 1958, Arsip Nasional Belanda, Ministerie van Koloniën: Memories van Overgave, toegang 2.10.39, inventaris 417).
  6. Residen Boendermaker di Asmat, Arsip Nasional Belanda, koleksi Kantoor voor Voorlichting en Radio Omroep Nederlands Nieuw Guinea.