23 – Belanda masuk kali Digul

Gambaran kali Digul
Gambaran kali Digul dilihat dari Tanah Merah ke arah utara, 1927. Saat itu hutan lebat masih sampai di pinggir kali. (dari arsip keluarga Monsjou)

Prakata

Ketika pendeta Drost mendarat di Tanah Merah untuk mencari pintu masuk daerah Digul atas, sudah selama hampir 50 tahun ada orang Barat berusaha menembus masuk ke wilayah itu. Dengan kapal uap, perahu motor, perahu dayong (buatan orang Dayak), dan dengan jalan kaki mereka sudah naik sampai ke hulu kali Digul. Kadang-kadang mereka datang dengan puluhan dan ratusan orang, dan tinggal untuk beberapa bulan.

Mereka juga naik kali Kao, kali Mappi, kali Siret (Eilanden), dan kali-kali lain. Tetapi sementara ini saya membatasi diri kepada kali Digul dan kali Arup (Kasuari), karena di situlah kemudian awalnya kerja zending.

Pembagian:

  1. Orang Belanda datang melayari kali Digul
  2. Disambut dengan anak-anak panah
  3. Masa penjajahan Belanda
  4. Alasan berlawanan

Catatan

Sumber

Gubernur-Jenderal Rooseboom
W. Rooseboom (1843-1920), Gubernur-Jenderal Hindia Belanda 1899-1904

1. Orang Belanda datang melayari kali Digul 

Merauke, 1902-1903

Pada tahun 1899, mantan jenderal Willem Roosenboom (1843-1920) diangkat menjadi Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda. Tugas yang diberikan kepadanya adalah mengamankan Hindia-Belanda secara permanen. Itu sebabnya dia kuat mendukung jenderal Van Heutsz yang menaklukkan Aceh (perang Aceh berlangsung dari 1873 sampai 1914).

Di ujung lain Hindia-Belanda, didirikan pos tentara di muara kali Maro, untuk mengakhiri praktek pengayauan. Dalam perjalanan mereka ke timur, orang Marind sering melintasi perbatasan timur dan memenggal kepala orang yang hidup di wilayah yang dikendalikan oleh pemerintah Inggris.1 Inggris telah mengeluh tentang hal ini kepada pemerintah Belanda. Untuk mengamankan daerah itu, pos tentara didirikan. Begitulah kota Merauke lahir.

Di Merauke orang Belanda mendengar bahwa ada kali besar yang belum mereka ketahui, yaitu kali Digul. Pada tahun 1903, untuk pertama kalinya sebuah kapal orang barat dengan hati-hati masuk kali itu. Dalam perjalanan itu mereka hanya sampai ke tanjung pertama.2

Merauke
Gambaran Merauke, dibuat oleh O.G.H. Heldring, 1908.

Expedisi Valk, 1905

Dua tahun kemudian orang Belanda datang kembali untuk menjelajahi kali Digul lebih jauh.3 Kapal uap yang bernama Valk naik kali Digul sampai pulau yang terletak di bawah kampung Wagai yang sekarang.

Sementara kapal Valk menunggu di sana, perjalanan itu dilanjutkan dengan suatu sekoci uap yang tarik beberapa sekoci dayong. Selama sepuluh hari mereka naik kali Digul terus, sampai arus menjadi terlalu kuat. Dekat di bawah desa Kouh sekarang, sekitar di mana kini mata jalan ke Boma, mereka terpaksa balik dan pulang ke kapal Valk.

Kapal uap Valk
Kapal uap Valk
peta perjalanan 1905
Perjalanan ekspedisi 1905
Van Heutsz
J.B. van Heutsz (1851-1924), Gubernur-Jenderal Hindia Belanda 1904-1909

Eksplorasi Militer, 1907-1915

Pada tahun 1906 Gubernur-Jenderal Van Heutsz (pengganti Roosenboom) kirim kapten Hendrik Colijn ke Nederlands Nieuw-Guinea4 untuk memberi saran kepada pemerintah di Belanda tentang apa yang harus dilakukan dengan pulau itu. Waktu itu kapten Colijn sudah berkarir di KNIL, antara lain di Lombok dan di Aceh, dan kemudian akan menjadi perdana menteri Belanda (1933-1939).

Dalam laporannya (tertanggal bulan Pebruari 1907) Colijn mengikhtisarkan hasil pemeriksaannya; bahwa hanya ada tiga pos pemerintah di daerah pesisir Papua (yang garis pantainya melebihi 3700 kilometer!), yang alat komunikasinya sangat tidak memadai. Lagi pula, bahwa tidak ada satupun pos pemerintah di pedalaman. Di samping itu, bahwa tahap perkembangan masyarakat Papua sangat-sangat rendah. Oleh karena itu, demikian kesimpulan yang ditarik Colijn, tidak mungkin untuk mengharapkan pengaruh besar dari pos-pos pemerintah maupun peningkatan ekonomi. Ia menyarankan agar terjadi penjelajahan sistematis seluruh pulau, dengan tujuan memetakan sungai dan kali, mencari hubungan darat antara daerah aliran sungai yang berbeda, mendaki pegunungan, dan mengumpulkan data-data tentang populasi.

Tugas luar biasa ini dipercayakan kepada KNIL dengan bantuan dari Angkatan Laut, dan berlangsung dari bulan Juli tahun 1907 sampai bulan Januari 1915.

staf explorasi bagian selatan Papua
Staf eksplorasi militer bagan Selatan Papua, 1907-1908. Dari kiri ke kanan, belakang: ahli topografi dari Malaysia, dokter B. Branderhorst, J.M. Dumas (peneliti alam), Elber (juragan), insinyur O.G. Heldring; duduk: A.J. Gooszen (nakhoda), R.L.A. Hellwig (assisten-residen di Merauke), J.H. Daam (nakhoda); di depan seorang ahli tumbuh-tumbuhan dan seorang ahli ilmu hewan (dua-duanya dari pulau Jawa).
Kapal bivak Zwaluw
Kapal bivak Zwaluw, 1907. Orang dilindungi oleh atap daun seng, dan dibawah atap itu dibuat dinding-dinding anyaman bambu.

Eksplorasi kali Digul, 1909-1913

Eksplorasi militer kali Digul dan cabang-cabangnya terjadi pada tahun 1909 dan berlangsung dalam tiga fase.

Fase pertama mulai bulan Pebruari, ketika kapal Soembawa membawa kapal bivak Zwaluw5 naik kali Digul sampai kira-kira 10 kilo di bawah muara kali Kao, sekitar di tempat Asiki sekarang. Di sana tempat pertama di mana kapal Zwaluw berlabuh, dan di atas bukit-bukit di tepi timur mereka membangun bivak.

Zwaluw adalah kapal tua yang mesinnya sudah dikeluarkan sehingga perlu ditarik. Pada ekspedisi ini kapal itu berfungsi sebagai gudang terapung untuk segala peralatan teknis ekspedisi dan sejumlah besar bahan makanan yang dibawa. Lagi pula kapal itu dipakai sebagai tempat tidur bagi banyak peserta yang berasal dari Hindia Belanda. Ekspedisi terdiri dari 80 tentara KNIL, ditambah dengan 80 narapidana pekerja paksa.

Dari Bivak Zwaluw sekoci-sekoci dulu menjelajahi kali Kia dan kali Kao. Pada bulan April mereka naik kali Digul. Saat ini mereka sampai beberapa tanjung di atas Kouh yang sekarang.

Fase kedua dimulai dengan relokasi kapal bivak Zwaluw ke tempat yang lebih jauh ke hulu. Akhir bulan Juni Bivak Zwaluw kedua dibangun di tempat di mana Tanah Merah sekarang. Selain itu, ekspedisi sekarang juga dibantu oleh kapal uap kecil yang bernama Anna. Tetapi, ketika mereka naik kali Digul dengan Anna, menjadi jelas bahwa bagian atas kali itu kurang cocok untuk kapal Anna. Oleh sebab itu mereka melanjutkan perjalanan dengan beberapa sekoci lagi, sedangkan kapal Anna menunggu di sana (bivak Anna). Dengan sekoci mereka kali ini naik sampai beberapa tanjung di atas Manggelum sekarang.

Kapal uap Anna
Kapal uap Anna

Akhirnya, pada bulan Agustus, dalam fase ketiga, mereka sekali lagi naik kali Digul dengan sekoci, kira-kira sampai di tempat yang sama. Dari sana mereka melakukan beberapa kali perjalanan kaki untuk menemukan tempat-tempat yang memberi pemandangan pegunungan yang baik. Pada kesempatan itu mereka melihat dari jauh suatu puncak gunung bersalju yang belum mereka kenal, yang mereka namakan puncak Juliana, diambil dari nama putri yang baru lahir pada musim semi itu. Kini gunung itu disebut Puncak Mandala.

Pada pertengahan bulan Oktober, mereka anggap kerja di kali Digul selesai. Kapal bivak Zwaluw diantar keluar dari kali Digul untuk digunakan  lebih lanjut di tempat-tempat lain.

peta ekspedisi 1909
Perjalanan-perjalanan ekspedisi militer pada tahun 1909

Pada tahun 1913 detasemen eksplorasi kembali ke daerah Boven Digul. Pertama mereka naik kali Kao dan kali Muyu, dan melintasi hutan dari kali Muyu ke kali Bidah (Alice-river). Berikut mereka sekali lagi naik kali Digul. Karena sekoci uap segera rusak, terpaksa mereka berdayung pakai perahu buatan orang Dayak. Ketika sampai ke tempat yang dicapai pada tahun 1909, mereka melakukan pengukuran tambahan untuk memetakan daerah pegunungan dengan lebih baik, baru pulang.

peta perjalanan 1913
Perjalanan ekspedisi militer 1913

Boven Digoel 1927

Sesudah eksplorasi militer selesai, selama lebih dari 15 tahun tidak ada orang barat yang naik kali Digul. Baru pada tahun 1926 muncul kapal lagi. Ada seorang tenaga pemerintah Belanda yang datang menjajaki lokasi Bivak Zwaluw kedua.

Atas laporannya yang positif, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mendirikan kamp interniran di tengah belantara Papua, untuk mengasingkan orang-orang yang dianggap membahayakan keamanan Hindia-Belanda. Seorang kapten KNIL yang bernama Becking diperintahkan untuk membangun kamp itu. Dia tiba pada tanggal 27 Januari dengan kapal Fomalhaut dengan 120 tentara dan 60 pekerja, dan hari berikutnya mereka memulai membersihkan tempat itu untuk membangun Tanah Merah. Pengangkutan tahanan pertama tiba pada bulan Maret.

Karena sejumlah dari orang-orang buangan ternyata nonkooperatif, dua tahun kemudian dibuka tempat baru bagi mereka. Letaknya tempat itu, Tanah Tinggi, sekitar 40 kilo di atas Tanah Merah.6

Becking
Kapten L.T. (Theo) Becking (1887-1945) (dari arsip keluarga Becking)

Gambaran pembangunan Tanah MerahGambaran pembangunan Tanah Merah, 1927. (dari arsip keluarga Monsjou)

Tanah Merah
Bersihkan lokasi Tanah Merah, 1928.
Gambaran Tanah Merah dan kali Digul
Gambaran kali Digul di Tanah Merah, dilihat ke arah selatan, 1927. (dari arsip keluarga Monsjou)
Tanah Merah
Gambaran Tanah Merah, 1927, dekat pelabuhan. (dari arsip keluarga Monsjou)
gambaran Tanah Merah
Gambaran Tanah Merah, 1927. (dari arsip keluarga Monsjou)
Tideman di Tanah Merah
J.Tideman, Gubernur Maluku, mengunjungi Tanah Merah. Yang berdiri di paling kanan adalah kapten KNIL M.A. Monsjou, yang mengganti L.Th. Becking menjadi komandan di Tanah Merah (1927-1928). (dari arsip keluarga Monsjou)
Tideman di Tanah Merah
Inspeksi oleh Gubernur Maluku J. Tideman, pada kesempatan kunjungannya ke Tanah Merah, 1928. (dari arsip keluarga Monsjou)

Sudah jelas bahwa kedua tempat itu, Tanah Merah dan Tanah Tinggi, tidak dibuka untuk masyarakat setempat, atau untuk mengeksplorasi apalagi membangun daerah Boven-Digoel. Sebaliknya, tempat-tempat itu dipilih karena lokasinya yang sangat terisolir di tengah ratusan kilometer hutan yang tidak bisa ditembus. Apa lagi, hutan itu dihuni oleh suku-suku Papua, yang biasa bunuh makan penjajah yang tidak diinginkan. Melarikan diri dari Tanah Merah atau Tanah Tinggi hampir mustahil.

Akhir tahun 1929, jumlah orang yang diasingkan di Tanah Merah sudah mencapai 2.100 jiwa. Dan tiap-tiap bulan kapal putih pulang pergi dari Merauke ke Tanah Merah.

Tanah Tinggi
Pembangunan Tanah Tinggi di kali Digul, 1929.
Tanah Tinggi
Tanah Tinggi, sekitar 1934-1935.

Pintu masuk mulai terbuka

Meskipun bukan tujuannya, dengan pendirian Tanah Merah pemerintah Hindia Belanda sudah ciptakan pangkalan militer di daerah yang sampai saat itu hanya sesekali mereka lalui. Penghuni daerah itu tidak pernah mengundang mereka, dan mungkin juga sama sekali tidak ingin mereka berada di wilayah mereka. Namun jelas penyusup yang tidak diundang itu tidak akan keluar lagi. Entah suku-suku yang hidup di hutan sepanjang kali Digul dan kali-kali lain di daerah itu senang atau tidak, pintu masuk daerah mereka sudah mulai dibuka paksa dan tidak dapat ditutup kembali.

Dari waktu ke waktu tentara di Tanah Merah mengadakan patroli di daerah sekitarnya. Misalnya, sudah pada awal 1927 kapten Becking melakukan perjalanan ke Sungai Fly. Lain kali mereka naik kali Digul dengan kapal. Pada tahun 1934 didirikan pos pemerintah di Ninati. Tetapi tidak ada kebijakan yang direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis untuk mencari hubungan dengan penduduk-penduduk daerah.

Mencari emas, 1936-1940

Mulai dari tahun 1936 terjadi kegiatan banyak lagi di sepanjang kali Digul. Tahun itu ada ekspedisi yang naik kali Digul sampai di muara kali Arup. Dari sana mereka masuk hutan dengan kelompok yang terdiri dari 50 orang. Mereka merintis ke arah barat laut dengan tujuan menembus ke kali Eilanden (kini kali Siret). Sebelum sampai di situ, mereka menemukan sebuah kali besar yang belum mereka kenal; mereka menamakannya kali Becking (kini Ndeiram-kabur), menurut nama pemimpin ekspedisi ini kapten Becking (yang sepuluh tahun sebelumnya mendirikan Tanah Merah). Akhir tahun itu upaya kedua dilakukan dipimpin oleh kapten KNIL Frans Harting, dan dia berhasil melalui daerah Kombai dan daerah Korowai sampai ke kali Eilanden (Siret), dan bahkan lanjut ke kali Steenboom (kini kali Bumu).7

Harting
Kapten Frans Harting, pemimpin ekspedisi kedua yang dari kali Digul sampai ke kali Steenboom (Bumu). (foto dari arsip keluarga Becking)

Kemudian ada beberapa ekspedisi yang lebih besar lagi dari perusahaan yang sama yang datang mencari emas di hulu kali Digul. Perusahaan itu datang dengan ratusan karyawan ke Tanah Merah dan menetap di sana untuk empat tahun yang berikut. Saat itu mereka juga mulai membangun suatu lapangan terbang. Sebelum mereka pergi ke hulu kali Digul, mereka mengintai daerah yang ditujui itu dari udara. Pesawat-pesawat terbang di atas seluruh wilayah itu untuk memetakannya dengan lebih baik dan untuk melihat tempat-tempat mana yang memberikan harapan tinggi untuk penyelidikan lebih lanjut.

Berikut mereka naik kali Digul dan kali Tsaw sampai di atas sekali. Untuk memudahkan pengangkutan bahan dan bekal makanan, mereka mendirikan pangkalan utama beberapa tanjung di bawah muara kali Arup, kira-kira di tempat bivak Anna 30 tahun sebelumnya. Kelompok karyawan 27 orang Dayak dari Kalimantan membangun gudang semipermanen di situ.

Tempat itu, yang mereka sebut Motorbivak (bivak motor), digunakan dari tahun 1937-1940. Selama periode itu, perahu dan kapal motor bolak-balik secara teratur dari Tanah Merah ke atas. Pada tahun 1938, mereka untuk pertama kalinya naik kali Arup, dan menyebutnya kali Kasuari. Tahun berikut ada sekitar 165 orang yang menjelajahi hulu kali Digul; bekal makan bagi mereka yang diangkat dari Tanah Merah ke atas sekitar 10.000 kilo.

Semua upaya ini gagal membuahkan hasil yang diharapkan, dan pada akhir 1940, perusahaan tersebut menyerah dan meninggalkan Tanah Merah.

Saat itu belum ada satu kampung pun di seluruh wilayah di sepanjang kali Digul di atas Tanah Merah.

Bivak Motor di kali Digul
Bivak Motor (Motorbivak, bivak 8) di tepi kali Digul

Perang Dunia Kedua

Pada bulan Pebruari 1940, seorang letnan yang bernama Claassen dengan kelompoknya naik kali Kasuari (Arup) untuk mencoba menembus ke kali Eilanden, tetapi usahanya gagal dan dia pulang ke Tanah Merah. Sesudah itu tidak ada ekspedisi lagi selama Perang Dunia Kedua berlangsung.

Tentu saja masyarakat pribumi di daerah kali Digul atas tidak tahu apa-apa mengenai perkembangan perang. Mereka memang melihat aktivitas yang tidak biasa. Beberapa kali pada tahun 1942 dan 1943, ada pesawat Jepang terbang tinggi lewat daerah itu. Pada tanggal 5 September 1943, delapan pesawat Jepang terbang rendah dan menjatuhkan 42 bom di Tanah Merah. Sebelumnya, para tahanan politik dan sebagian besar penduduk Tanah Merah sudah dievakuasi ke Australia. Ada 340 tentara Australia yang mengganti tempat mereka.

1946-1956

Akhir tahun 1949 dan awal 1950 seorang pencari emas yang bernama Van Stockum melalui daerah Mandobo menuju ke daerah kali Kasuari untuk mencari emas. Karena ia memperlakukan para pengikutnya dengan kejam, dia akhirnya dibunuh oleh mereka di suatu tempat di hulu kali itu.8

Rewob Pengkor
Pengkor (nama lain: Rewob), kepala rombongan yang membunuh Van Stockum.

Peristiwa itu merangsang pemerintah Belanda di Tanah Merah untuk berusaha mengamankan daerah Mandobo di mana Pengkor, kepala rombongan yang membunuh pak Van Stockum dan yang mencuri senjatanya) telah mendatangkan malapetaka.

Pada tahun 1955 HPB (kepala pemerintah setempat) Moll naik kali Digul dengan kapal pemerintah yang bernama Narcis ke daerah di mana kali Kasuari dan kali Takum bersatu dengan kali Digul. Dekat muara kali Takum dia dapat suatu tempat yang rupanya bagus untuk membuat bivak dan gudang. Mungkin saja perjalanan ini dilakukan sebagai persiapan untuk ekspedisi besar yang terakhir yang saat itu sudah direncanakan dan yang akhirnya terjadi pada tahun 1959, yaitu ekspedisi ke pegunungan Bintang.

Kapal uap Anna
Kapal uap Anna dengan beberapa sekoci, sekitar 1907-1010

2. Disambut dengan anak-anak panah

Merauke

Ketika orang Belanda mendarat di muara kali Maro, pada awalnya orang Marind bersikap baik dan membantu terhadap mereka. Tetapi itu segera berubah. Berkali-kali, penduduk yang berkeliaran di luar pagar pemukiman itu ditebang kepalanya. Sepuluh hari setelah orang barat mendarat, dua petugas polisi, seorang mandur, dan lima tukang kayu Cina dibunuh di luar bivak. Beberapa kali bivak itu malam hari diserang oleh orang Marind; mereka disambut dengan tembakan sehingga terpaksa mundur.

Tetapi orang Marind tidak mudah menyerah. Pada akhir bulan Maret 1902, 25 pekerja paksa dari Aceh melarikan diri; dua orang selamat kembali, yang lain dipenggal kepala. Bulan April lagi demikian: dari sepuluh orang yang melarikan diri hanya empat luput dari tangan orang Marind. Bulan Agustus ada 26 pekerja paksa dari Aceh yang jatuh korban pisau pengayau. Patroli-patroli tentara yang pergi tangkap para pelaku pembunuhan itu pulang tanpa hasil, karena para penduduk kampung-kampung tidak menunggu kedatangan tentara. Tahun berikut keadaan mulai lebih tenang, meskipun kadang-kadang ada yang dikena anak panah. Dan pencurian barang berharga tetap merupakan masalah.

Perhatian yang seksama

Kadang-kadang orang benar-benar terkejut dengan kedatangan para penyusup sehingga mereka  dan mereka melarikan diri dengan cepat. Tetapi dengan segera diketahui di seluruh daerah bahwa ada orang naik kali Digul! Dan tentu saja dengan diam-diam penghuni daerah itu mengintai penjajah dari tepi sungai. Orang-orang di kapal dan sekoci sering tidak sadar bahwa ada mata-mata di hutan yang terus-menerus mengamati mereka.

Kadang-kadang ada orang yang keluar dari hutan dan memberanikan diri untuk mendekati pendatang yang aneh, dan sekali-sekali ada yang bertukar barang. Tetapi pada umumnya mereka tidak memperlihatkan diri, atau menunjukkan bahwa mereka tidak mau terima para penyusup itu dan mau mengusir mereka. Sama seperti di daerah-daerah lain di Papua, di wilayah Boven Digul pun anggota-anggota ekspedisi sering diserang dengan anak panah dan tombak.

peta
Pertemuan dengan penghuni pesisir kali Digul

Bersikap mengancam

(Angka di antara kurung mengacu pada angka-angka pada peta di atas ini.)

(1) Pada ekspedisi 1905, sekoci-sekoci sudah dekat tempat desa Kouh sekarang. Tetapi karena arus terlalu kencang mereka tidak bisa maju lagi. Malam itu, ketika mereka di bivak, mereka mendengar anjing melolong di seberang kali, Tetapi mereka tidak memperhatikannya, dan sama sekali tidak menduga bahwa ada orang dekat. Besok pagi, ketika mereka baru berangkat dan masih sedang berputar haluan, tiba-tiba ada sekitar 20 atau 30 orang yang keluar dari hutan dengan berteriak dan melambai-lambaikan tombak dan busur. Arus segera membawa sekoci-sekoci ke hilir sehingga cepat di luar jangkauan rombongan di tepi kali itu.

(2) Hal seperti itu terjadi juga pada tahun 1909. Di antara Tanah Tinggi dan Tanah Merah, tiba-tiba orang ekspedisi dikejutkan oleh sekelompok 10 penghuni hutan bersenjata berat, yang selama beberapa saat mengikuti mereka di tepi kali dengan berteriak dan menari.

(3) Dua hari kemudian, ketika sekoci-sekoci sudah sampai di daerah kali Kouh, sekitar 15 orang bersenjata turun dari sebuah rumah tinggi dan dengan lolongan keras mereka mulai melakukan tarian perang di tepi kali Digul. Dari rumah tinggi itu, mama-mama dan anak-anak mendorong mereka dengan banyak teriakan. Jauh di depan lagi ada suara orang berteriak dan bunyi toki dinding rumah. Kita mereka sampai di sana, ada sekelompok laki-laki berjalan bersama sekoci-sekoci sambil berteriak dan menari.

Juga di (4) dan di (5), orang pribumi bersikap mengancam, namun tidak lepas anak panah.

Sekoci-sekoci eksplorasi militer
Eksplorasi militer 1907-1010; Sekoci-sekoci pada waktu istirahat di tempat batu kerikil di pinggir kali

Tembak dari tempat persembunyian

Desas-desus kedatangan orang asing itu dalam waktu singkat sudah menempuh jarak jauh. Karena itu orang-orang di hulu Digul dapat waktu cukup untuk mempersiapkan diri dan bersembunyi di belukar di hutan atau di rumput tinggi di pinggir kali. Ketika orang asing muncul, dengan tiba-tiba mereka disiram dengan anak-anak panah. Itulah yang terjadi dekat muara kali Kouh (6, 1909), dan juga di sekitar desa Kawagit sekarang (7, 1910). Di tempat yang terakhir itu, tentara ekspedisi membalas dengan membakar dua rumah tinggi tua yang ada di situ, dengan harapan orang di hutan akan berubah pikiran dan tidak lepaskan anak panah lagi. Namun, harapan itu ternyata sia-sia. Bulan berikut, ketika sekoci-sekoci pulang dari hulu kali Digul, dua kali mereka disiram anak panah dari jarak dekat (8).

(9) Pada tahun 1913, ekspedisi ditembakkan ketika mereka sekitar daerah kali Kouh. Pertama, mereka mendengar lolongan orang di hutan, diawali dengan tiruan seruan burung cenderawasih. Tak lama kemudian, beberapa anak panah ditembakkan, tetapi karena jarak yang terlalu jauh sehingga tidak ada yang dikena.

(10) Ketika mereka sudah mulai dekat bekas bivak Anna (kali Takum di bawah), dua kali berturut-turut mereka ditembak anak panah dari rumput tinggi di pinggir kali. Seorang pekerja paksa terluka parah di punggung, sedangkan seorang tentara dan tiga pekerja paksa terluka juga. Patroli itu balas menembak dan mengejar mereka di darat, tetapi mereka tidak berhasil menemukan siapa pun.

(11) Pada tahun 1940, patroli letnan Claassen terpaksa menghentikan perjalanannya dan pulang ke Tanah Merah, karena terjadi pertikaian bersenjata di kali Kasuari; seorang sersan yang dikena anak panah, sedangkan 6 orang Papua telah menjadi korban peluru.

Bivak eksplorasi militer
Tiga anggota tim eksplorasi militer 1907-1090 dalam bivak.

Bersekutu untuk menyergap

Kadang-kadang beberapa fam atau marga sudah berhimpun dan bersama-sama menghadang para penyusup untuk mencoba mengusir mereka dari daerah mereka.

(12) Kelompok 20-30 orang yang tiba-tiba muncul di tepi kali pada tahun 1905 jelas sudah berkumpul untuk mengusir orang-orang asing itu.

(13) Pada pagi hari tanggal 12 April 1909 – saat itu masih gelap gulita – sekelompok 50 sampai 60 orang menyerang Bivak Zwaluw pertama, kira-kira di tempat Asiki sekarang. Dengan teriakan nyaring mereka turun dari bukit di belakang bivak dan menembakkan banyak anak panah, lalu berusaha memanjat kawat berduri. Sekitar 12 orang berhasil memasuki bivak itu. Tetapi sersan dan tentara sudah langsung bangun dari tidur mereka, ambil senjata dan segera berhasil memukul mundur para penyerang, dibantu oleh sejumlah pekerja paksa yang juga berada di dalam bivak itu. Dua orang penyerang tewas, yang lain melarikan diri dengan membawa dua orang luka-luka. Di pihak penghuni bivak itu pun ada beberapa korban terluka.

Tentara pergi mengejar kelompok yang sudah menyerang mereka. Sekitar lima belas menit jalan kaki dari perkemahan, mereka menemukan sebuah bivak sederhana; di dalamnya ada banyak senjata, pelindung dada, dan sagu yang telah ditinggalkan para penyerang dalam pelarian yang tergesa-gesa. Sekitar 6 kilo lebih jauh lagi ada sebuah bivak besar, tempat beberapa hari sebelumnya mereka telah bersiap untuk penyerbuan.

(14) Tiga bulan kemudian, Bivak Anna diserang, tidak jauh dari muara kali Takum.

Bivak eksplorasi militer
Salah satu bivak eksplorasi militer 1907-1910

(15) Pada tahun 1909, seorang insinyur serta dua orang tentara yang ikut untuk melindunginya, tiba-tiba bertemu dengan beberapa orang Papua, sekitar 100 meter dari kelompok besar ekspedisi. Mereka itu segera mulai melepaskan anak-anak panah. Ketika tentara mulai tembak, ternyata mereka sudah dikepung oleh sejumlah besar orang Papua lain. Sementara itu sisa pasukan tentara sudah datang untuk menyelamatkan mereka. Masih dua kali orang Papua menyerang mereka, tetapi akhirnya mereka diusir oleh tembakan tentara.

(16) Hari berikut, ketika sebagian besar patroli sementara keluar untuk membuka jalan rintis, bivak diserang oleh sekitar 25 orang Papua. Saat itu hanya ada 4 tentara dan 6 pekerja paksa yang menjaga bivak itu. Tetapi dari jauh patroli itu mendengar teriakan, dan dengan cepat mereka pulang ke bivak. Ketika mereka sampai di sana, serangan tersebut tampaknya berhasil dihalau dengan beberapa tembakan.

(17) Pada tahun 1913 beberapa pekerja sedang memotong kayu di hutan beberapa kilometer di selatan dari bivak Zwaluw, di bawah perlindungan tiga orang tentara. Tiba-tiba mereka dikepung oleh lebih dari 150 orang Papua. Dengan jeritan yang mengerikan mereka mulai melepaskan anak-anak panah. Salah satu dari ketiga tentara itu langsung terluka parah oleh 7 anak panah, dan dua orang pekerja juga terkena. Dua tentara lainnya segera membalas tembakan. Tiga orang Papua tewas, yang lain melarikan diri.

Pembakaran rumah tinggi
Kadang-kadang pemerintah Belanda membakar rumah tinggi sebagai tindakan balas dendam kalau mereka tidak berhasil tangkap pelaku penembakan dan penyerangan dengan anak panah.

(18) Ekspedisi-ekspedisi yang mencari emas akhir tahun 1930-an juga puluhan kali diserang oleh penghuni daerah di hulu kali Digul. Akibatnya, pekerjaan ekspedisi berulang kali terhambat serius. Salah satu serangan terparah terjadi pada tahun 1938 di suatu tempat di sekitar kampung Bi sekarang.

Kontrolir Houbolt, HPB di Tanah Merah pada tahun-tahun itu, menulis dalam laporannya:

“Penghuni daerah ini sudah meninggalkan rumah-rumah mereka sebelum kelompok ekspedisi sampai ke tempat mereka. Sering ekspedisi disambut dengan nyanyian perang. Lebih parah lagi, anggota-anggota ekspedisi berkali-kali disiram anak panah. Semua ini membuat pekerjaan di sini setidaknya sama berbahayanya dengan di Aceh, karena taktik orang Papua untuk melemparkan anak-anak panah dari perangkap. (…) Secara total, dari tahun 1938 hingga 1940 sekitar 25 kali peserta eksplorasi diserang dengan anak-anak panah. Dua orang dipanah mati, sementara enam lainnya luka parah.”

Tidak diketahui berapa orang Papua menjadi korban tembakan tentara, tetapi pasti jauh lebih banyak.

Orang Jair
Orang Jair di Tanah Merah, sekitar 1933. Yang di sebelah kanan adalah kepala yang bernama Sayot. (digunting dari aslinya)

3. Masa penjajahan Belanda

Penjajahan Belanda di Papua

Penjajahan Papua terjadi pada periode Politik kolonial etis. Sebelum tahun 1900, orang Belanda memandang Hindia Belanda sebagai daerah yang disajikan untuk kepentingan Belanda. Pandangan itu umum di dunia barat pada zaman itu, yaitu bahwa koloni ada untuk menguntungkan negara induknya. Penduduk asli harus mematuhinya, dengan sukarela atau tidak. Sampai awal abad ke-20, pemerintah Belanda hampir tidak memedulikan pulau Papua yang di paling timur di Hindia Belanda. Mereka mendapat kesan bahwa daerah itu tidak akan membawa keuntungan.

Pada tahun 1901 terjadi perubahan dalam politik ini.

Brooshooft
P. Brooshooft (1845-1921)

Politik kolonial etis

Seorang wartawan Belanda yang bernama Brooshooft yang selama bertahun-tahun menjadi pemimpin redaksi sebuah surat kabar di Semarang, sering kali membela hak-hak orang Jawa yang harus dilindungi dari kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Menurut dia, merekalah yang memiliki hak tertua di tanah kelahiran mereka. Pada tahun 1901 ia menuangkan gagasannya dalam suatu brosur yang berjudul: Haluan Etis dalam Politik Kolonial.

Sementara itu, Abraham Kuyper, seorang teolog dan politisi dari Gereja Reformasi di Belanda, yakin bahwa Belanda adalah kewajiban moral terhadap rakyat Hindia Belanda. Alih-alih memanfaatkan koloni ini, ia berpendapat bahwa Belanda harus membesarkan kepulauan Insulinde sebagai anak angkat hingga bisa memperoleh posisi yang lebih mandiri di masa depan. Menurut Kuyper, itulah merupakan tugas bersejarah yang dapat diwujudkan oleh pengkristenan, yang akan mengangkat penduduk asli Hindia Belanda dan membawa mereka pada posisi yang lebih baik.

 

Colijn
H. Colijn (1869-1944), foto dari tahun 1905.
Ratu Wilhelmina pada tahun 1903
Ratu Wilhelmina (1880-1962) pada tahun 1903

Dari 1901 hingga 1905 Kuyper menjadi Perdana Menteri, sehingga haluan etis itu menjadi kebijakan pemerintah dalam politik kolonialis. Dalam pidato ratu Wilhelmina tahun itu, dia mengungkapkan tugas bersejarah ini sebagai berikut:

“Sebagai Negara Kristen, Belanda berkewajiban untuk mengatur lebih baik kedudukan hukum dari orang Kristen pribumi di kepulauan Hindia; untuk lebih kuat memberikan dukungan kepada penginjilan Kristen; dan untuk mengilhami seluruh kebijakan pemerintah dengan kesadaran bahwa Belanda harus memenuhi suatu panggilan moral terhadap penduduk di daerah ini.”

Misi untuk membudayakan penduduk asli

Istilah-istilah yang digunakan, seperti ‘mengangkat’, ‘perwalian’, dan ‘panggilan moral’, mengacu pada cita-cita bahwa masyarakat bangsa-bangsa non-Eropa harus diangkat ke tingkat peradaban Eropa. Bahasa itu memancarkan pesan superioritas bangsa-bangsa Barat. Hal tersebut bermula dari sikap paternalistis, yang juga mengandung unsur rasis. Ini sering tampil dalam mentalitas yang merendahkan, dalam penghinaan yang sombong yang dilontarkan kepada para cendekiawan pribumi, dan dalam sikap meremehkan masyarakat asli Hindia Belanda.

Pada tahun 1901, seorang politikus dari partai sosialis merancang prinsip-prinsip program kebijakan politik kolonial partainya. Salah satu prinsip tersebut adalah pendidikan tanpa pamrih penduduk pribumi menuju ke kemandirian. Tetapi, di lain kesempatan politikus ini mengatakan bahwa dia ragu-ragu apakah setiap bangsa memiliki potensi untuk mencapai tujuan itu…

Pasifikasi

Peralihan ke penjajahan etis tidak berarti bahwa prinsip penjajahan dengan sendirinya dipertanyakan. Penjajahan etis juga tidak berarti penjajahan tanpa kekerasan. Pasifikasi dianggap perlu untuk melaksanakan tugas bersejarah itu.

Pasifikasi dan penghapusan kesewenang-wenangan dipandang sebagai langkah awal menuju masyarakat yang adil di Hindia Belanda. Setelah dasar ini diletakkan, para pejabat sipil dapat mengabdikan diri sepenuhnya pada tugas-tugas etis. Dengan demikian pengintensifan kekuasaan Belanda akan menuju ke perbaikan keadaan penduduk asli.

Itu sebabnya Brooshooft mendukung tindakan keras dalam perang Aceh. Dia menekankan bahwa kekuasaan Belanda harus dipertahankan; sebagai seorang ayah, Belanda harus melindungi “bangsa yang kekanak-kanakan ini” untuk meningkatkan taraf ekonominya. Kuyper juga mendukung penggunaan sarana militer dan kekerasan demi pasifikasi Hindia Belanda.

Tanah Merah
Kompleks militer di Tanah Merah, sekitar 1938

Dampaknya politik kolonial etis

Dengan demikian mulailah periode baru, yang berlangsung dari tahun 1901-1942. Itu adalah tahun-tahun yang ditandai oleh niat yang baik-baik saja. Namun, orang-orang yang kepadanya niat yang baik itu ditujukan ada perasaan yang berbeda. Di satu sisi, politik etis menghasilkan pendekatan, tetapi di sisi lain politik itu mengakibatkan suasana yang lebih tegang.

Sebabnya, politik itu tidak sependapat dengan aspirasi rakyat. Politik itu mau memperbaiki keadaan mereka di bawah pimpinan Belanda, tetapi cita-cita gerakan nasionalis menuntut tindakan yang lebih drastis. Orang bertanya-tanya mengapa mereka diperintah oleh “negara induk”, mengapa mereka sendiri tidak membentuk negara berdaulat penuh, dan mengapa Belanda menuntut pendapatan yang macam-macam. Gerakan nasionalis itu makin kuat.

Hal itu merupakan gangguan bagi pemerintahan kolonial. Karena sebenarnya bukan maksud Belanda bahwa penduduk asli akan menjadi mandiri dalam jangka waktu pendek. Reaksi Belanda terhadap nasionalisme di Hindia Belanda memperjelas bahwa pemerintahan kolonial memandang kemerdekaan penduduk asli sebagai cita-cita masa depan yang sangat jauh yang mungkin tidak dapat dicapai.

Di bawah politik etis itu kekuasaan Belanda di Hindia Belanda diperluas dan diperkuat. Pasifikasi menyatukan nusantara, yang dari awalnya merupakan kepulauan yang beragam kerajaan, budaya, suku bangsa, dan bahasa, menjadi suatu kesatuan kolonial. Tetapi dengan demikian Belanda juga menciptakan syarat mutlak yang memungkinkan lahirnya gagasan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Dalam hal itu, gerakan nasionalisme sebenarnya berhutang pada penjajah.

Gagalnya politik etis

Pada tahun 1926 terjadi pemberontakan di berbagai bagian di Hindia Belanda. Sebenarnya kejadian itu berarti gagalnya politik kolonial etis. Persemaian pemberontakan itu adalah perasaan rendah diri para penduduk, dan kebencian rakyat terhadap pemerintah Belanda yang memandang rendah mereka. Perasaan semacam itu tidak dapat diatasi dengan program kesejahteraan atau dengan kebijakan etis apa pun.

Pemberontakan itu ditekan dengan tindakan militer. Salah satu akibat langsung dari peristiwa itu adalah pembangunan kamp pengasingan di Boven Digul. Orang komunis dan orang lain yang memendam gagasan nasionalis dibuang ke sana karena dianggap membahayakan keamanan di Hindia Belanda.

Tindakan keras itu juga disebabkan oleh perubahan dalam susunan parlemen Belanda. Suasana internasional pada tahun ketiga puluhan juga kurang bersahabat, akibat krisis ekonomi sedunia dan meningkatnya ancaman pecahnya perang.

1960
Tanah Merah, sekitar 1960. “Bangku pak Hatta” dekat kali Digul. Di sini Hatta sering beristirahat setelah berjalan-jalan.
Sutan Sjahrir
Sutan Sjahrir (1909-1966) adalah salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Bersama dengan Hatta, pada tahun 1934 dia dibuang ke Boven-Digoel, kemudian ke Banda-Neira sampai 1940. Ia perdana menteri pertama Indonesia (1945-1947).

Pasifikasi di Nederlands Nieuw-Guinea (Papua)

Kegiatan-kegiatan Belanda di daerah aliran kali Digul yang tertera di awal tulisan ini, memperlihatkan unsur politik kolonial etis. Dalam penjelajahan militer pada tahun 1909, pemetaan pendalaman Papua merupakan tujuan utama. Butuh waktu lama sebelum pemerintah Belanda di sini bisa mulai ‘mengangkat masyarakat’, tujuan politik etis itu. Hellwig, kontrolir kedua Merauke dan pemimpin eksplorasi tahun 1909, menarik beberapa kesimpulan yang tidak berbohong:

“Kami sungguh-sungguh perlu memperhitungkan sikap bermusuhan yang tampak di masyarakat. (…) Walaupun demikian, kami akan dengan kuat  melanjutkan usaha kami untuk menembus ke pegunungan. Dan hanya jikalau keamanan dan berlangsungnya pekerjaan menuntutnya, kami akan beralih ke tindakan keras terhadap orang-orang jahat itu. (…) Jikalau kami sekarang mundur, hal itu akan berdampak paling merugikan pada penduduk wilayah ini.”

Artinya, tindakan keras itu dibenarkan karena mereka yakin bahwa pada akhirnya kekerasan itu akan menguntungkan penduduk wilayah itu.

Pada tahun 1940, pernyataan Houbolt, HPB (kepala pemerintah setempat) di Tanah Merah, tidak lagi mencerminkan tujuan luhur itu. Dalam laporan akhirnya dia tulis:

“Ketika perusahaan sedang menjelajahi daerah itu untuk mencari emas, tentu tidak mungkin untuk selalu memperhitungkan perasaan orang Papua. (…) Syarat-syarat yang perlu dikaitkan pada kerja itu tidak selalu mengizinkan kami mengindahkan orang-orang itu sebagai mestinya. Oleh karena itu bisa terjadi bahwa dalam pekerjaannya perusahaan itu  begitu terhalang oleh agresi suku-suku di wilayah hulu kali Digul sehingga perkerjaan itu mengalami stagnasi serius.” Selanjutnya dia mengatakan bahwa penghuni daerah itu dicirikan “kecerobohan besar ditambah dengan sikap pencuri”; bahwa mereka “tidak dapat diandalkan dan perilaku mereka tidak dapat diduga”; dan bahwa mereka adalah dalam “keadaan terbelakang yang tidak gampang dapat diubah.”

Ketika Perang Dunia Kedua selesai, dan setelah Belanda harus melepaskan Hindia Belanda, barulah Belanda mulai mengarahkan perhatian lebih terhadap pulau Papua dan mengindahkan para penduduknya. Saat itu dibuat program kerja yang bertujuan kemerdekaan Papua dalam waktu yang dekat. Tetapi perkembangan internasional memberhentikan kebijakan itu sebelum waktunya.

Kapal uap Fomalhaut
Kapal uap Fomalhaut (‘kapal putih’) berlabu di Tanah Merah

4. Alasan berlawanan

Tidak diterima

Ketakutan penghuni wilayah di sepanjang hulu kali Digul dapat dimengerti. Kelompok-kelompok orang asing yang sebelumnya naik kali itu selalu adalah orang-orang dari suku-suku di selatan yang datang untuk memenggal kepala mereka.

Setelah beberapa saat, menjadi jelas bahwa para pendatang yang baru ini bukanlah pemburu kepala. Namun ketakutan itu tetap ada. Apa tujuan mereka datang ke sini? Orang kulit putih sering dianggap sebagai orang yang berkaitan dengan dunia orang mati.

Ketakutan itu segera berubah menjadi amarah, ketika orang-orang asing yang baru itu menetap di tanah mereka dan tampaknya tidak berniat pergi, seperti di Tanah Merah. Tuan-tuan tanah merasa dirampok dengan penjajahan tanah mereka.

Selain dengan melepaskan anak-anak panah, dengan cara-cara lain juga  suku-suku di wilayah Boven Digul menyatakan bahwa mereka tidak mau terima orang-orang asing itu di daerah mereka. Jalan-jalan di hutan berulang kali ditutup secara simbolis. Pada kesempatan lain, mereka meninggalkan busur yang dipatahkan di jalan sebagai pernyataan perang. Dan mereka juga mencoba mengusir penyusup melalui sihir.

Sihir

Ketika pada tahun 1936 rombongan kapten Becking sampai di kali Ndeiram-kabur (yang mereka sebut kali Becking), orang Korowai di daerah itu menyembelih babi di bekas bivak ekspedisi yang telah ditinggalkan.  Saat mereka menyembelih babi, mereka bernyanyi:

Keturunan bekh [spesies katak],
Keturunan seakh [spesies katak lainnya],
Getah lajal [pohon sagu biasa],
Darah khakhun [raksasa yang berkaitan dengan asal usul alam semesta]

Dunia ini akan segera berakhir.
Mereka akan mengubah tanah kami menjadi pohon kering yang tandus.
Dari celah tempat pemali,
Dari celah pagar [pagar yang memisahkan orang hidup dari dunia orang mati],
Dari bulatan yang dalam di kali,
Orang dari tempat pemali akan datang untuk menghancurkan dunia kami.9

Mereka masak dan makan babi itu. Kemudian mereka mengambil lemak dari babi dan mengoleskannya pada akar bibit sagu, dan tanam bibit itu dekat tempat di mana tadi rombongan ekspedisi tinggal. Mereka juga menaruh lemak babi di jalan, di batang-batang pohon, dan dimana-mana. Mereka mengira bahwa manusia yang tidak kelihatan telah menjadi terlihat karena mereka mungkin harap mendapatkan lemak babi. Oleh sebab itu mereka taruh lemak babi itu, supaya jikalau orang yang tidak kelihatan itu nanti kembali, mereka akan berpikir: “Orang yang kelihatan sudah  menaruhnya di sana untuk kita.” Orang Korowai sadar bahwa sebelumnya mereka telah melalaikan memberikan lemak babi, sehingga orang yang tidak kelihatan datang memintanya. Jadi mereka menaruh lemak babi di mana-mana, dan kemudian orang yang tidak kelihatan itu berhenti datang.

Barang

Pada saat yang sama, mereka tertarik oleh semua kekayaan yang dibawa oleh orang-orang asing itu. Pada umumnya tidak butuh waktu lama sebelum mereka mulai tukar-menukar. Tetapi di sini juga sudah ada awalnya kelahiran gerakan-gerakan kargo, seperti terjadi di mana-mana di Melanesia. Mereka merasakan bahwa orang asing itu membagikan hanya sedikit saja dari kekayaan yang dibawa. Jadi mereka menemukan cara-cara lain untuk mendapatkannya. Barang itu diterima, tetapi orang yang membawanya tidak. Tiga peristiwa berikutnya menggambarkan hal itu.

Gerissen

Pada tahun 1933, seorang sersan yang bernama Gerissen dengan 17 tentara KNIL dan 16 pekerja paksa berangkat dari Tanah Merah untuk berpatroli ke daerah hulu kali Kao dan kali Muyu. Mereka naik kali Digul sampai di atas Tanah Tinggi, baru masuk hutan. Hari demi hari hujan lebat, dan di banyak tempat kali-kali membanjiri hutan, sehingga sering mereka harus memutar. Lebih buruk lagi, Gerissen kehilangan peta area itu. Akhirnya mereka kesasar dan tidak tahu jalan lagi. Apalagi persediaan makanan mulai habis. Beberapa peserta patroli jatuh sakit, dan yang lain semakin kurang tenaganya. Pada akhirnya mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan dan tinggal di suatu bivak di pinggir kali. Mereka tidak bisa lagi melakukan apa-apa selain menunggu bantuan muncul.

Ada kelompok orang Mandobo atau Muyu yang lewat dengan perahu. Sersan Gerissen meminta bantuan mereka, tetapi apa saja yang dijanjikannya kepada mereka, mereka tidak peduli. Dengan keras kepala mereka menolak untuk memberikan makanan atau mengirim seseorang dengan surat ke Tanah Merah. Alasannya jelas: mereka sudah lihat bahwa tidak ada lagi apa-apa yang mereka dapat memperoleh dari sersan Gerissen dan orang-orangnya yang hampir mau mati itu; jadi apa gunanya membantu mereka?10

Dokter Schoonheyt
Dokter L.J.A. Schoonheyt (lahir 1903).
Gerissen dengan Schollen dan Schoonheyt di Formalhaut
Sersan Gerissen dengan patroli yang diselamatkan oleh dokter Schoonheyt, bersama dengan HPB Schollen di kapal Formalhout. Di tengah itu HPB Schollen, di sebelah kiri adalah sersan Gerissen, di sebelah kanan dokter Schoonheyt.
Gerissen kembali di Tanah Merah
Sersan Gerissen dengan patroli yang diselamatkan oleh dokter Schoonheyt, ketika kembali di Tanah Merah dengan kapal Fomalhout. Di ujung papan titian, dari kiri ke kanan: dokter Schoonheyt, HPB Schollen, sersan Gerissen.

Pencurian perahu

Pada ekspedisi perusahaan penambangan emas tahun 1938, waktu malam sebuah perahu besar yang penuh dengan barang dicuri oleh penduduk di daerah hulu kali Digul. Meskipun malam itu bulan terang, penjaga yang berdiri sekitar 10 meter dari perahu itu tidak melihat apa-apa. Hari berikut perahu itu ditemukan kembali agak jauh ke hilir. Isinya sebagian telah hancur, sedangkan semua parang, kapak, pisau, dan cermin telah lenyap.

Perahu-perahu orang Dayak di kali Digul
Perahu-perahu orang Dayak di pinggir kali Digul pada ekspedisi MMNNG 1938

Penyergapan kapal uap

Perampokan pasti juga sasaran penyergapan yang terjadi pada eksplorasi militer pada tahun 1913. Sebuah kapal uap kecil membuang jangkar di kali Digul, dekat Bivak Anna, beberapa tanjung di bawah muara kali Murup. Di sana mereka menunggu sekoci dari kelompok eksplorasi yang sedang bekerja lebih jauh di hulu kali Digul. Selain juragan dan juru mesin, ada lima anak buah kapal yang berasal dari Madura, dan lima tentara KNIL. Kapal itu berada di tengah sungai. Sesekali ada semacam pulau kecil yang terdiri dari batang-batang pohon dan pisang yang melayang lewat.

Malam kedua adalah bulan gelap. Di tengah malam, sejumlah laki-laki dari penghuni daerah itu dengan diam-diam dengan pulau semacam itu hanyut ke kapal itu. Penjaga tidak menyadarinya sampai laki-laki pertama sudah ada di atas kapal. Dia berteriak dan melepaskan tembakan peringatan. Sementara itu, lebih banyak lagi orang yang bersenjata gada naik kapal. Bahu kanan seorang tentara hancur karena pukulan. Teman-temannya dengan cepat menyeretnya ke tempat senapan disimpan, dan mempertahankan diri dengan pedang. Sementara itu semua orang sudah berada di geladak. Terjadi perkelahian singkat tapi berdarah. Dalam beberapa menit, orang Papua terakhir telah terjun dari kapal untuk menyelamatkan diri. Ada 14 orang Papua yang tewas. Setelah musyawarah singkat diputuskan untuk membuang mayat-mayat itu ke dalam kali.

Hari berikut, ketika letnan yang datang untuk mengambil pos mendengar apa yang telah terjadi, dia berkata, “Kamu sudah bertahan dengan teguh, tetapi saya dan bapak juragan yakin bahwa semua penyerang itu masih hidup waktu mereka terjun ke dalam kali ketika mendengar penjaga melepaskan tembakan dan mengancam mereka dengan pedangnya. Kita tidak ada urusan dengan orang-orang itu, jadi kita tidak bisa membunuh mereka, bukan?” Saat dia mengatakan itu, dia mengedipkan mata. Setelah itu, kasus tersebut tidak lagi disebutkan, juga tidak muncul dalam laporan resmi.11

Kapal uap Anna
Kapal Anna dengan perahu orang Digul, sekitar 1907-1910

Pasifikasi

Pada eksplorasi militer tahun 1909, pada perjalanan kedua dengan sekoci ke hulu kali Digul, ekspedisi bertemu dengan sekelompok penghuni daerah yang tampaknya tidak ada niat bermusuhan. Ada juga wanita dan anak-anak, dan mereka berani datang sangat dekat untuk tukar-menukar. Dalam laporannya pemimpin perjalanan itu tulis: “Dari bahasa isyarat mereka kami mengerti bahwa pada perjalanan pertama kami mereka pernah melepaskan anak-anak panah kepada kami, baru terjadi balasan tembakan oleh kami. Tetapi sekarang mereka telah memahami lebih baik maksud kami.”

Tentu saja, kesimpulan yang terakhir itu tidak masuk akal. Sebabnya orang-orang itu tidak menghadang sekoci ekspedisi lagi dengan anak-anak panah bukan karena mereka sudah mengerti tujuan ekspedisi, tetapi karena mereka takut kekuatan senapan, dan tertarik pada barang mereka. Dalam hati mereka pasti belum senang dengan para pendatang itu. Mereka tidak pernah mengundang para penyusup itu. Tapi mereka boleh buat apa!

Perasaan kurang enak itu hanya bisa hilang jika mereka akan diperlakukan dengan cara yang sama sekali berbeda. Bukan dengan sikap ramah seorang ayah yang jauh lebih bijaksana dan kuat dan kaya terhadap anaknya, tetapi yang sekaligus merendahkannya. Melainkan dengan pendekatan yang berciri penghargaan dan rasa hormat yang sejati.12

Itu masih tetap berlaku sampai sekarang ini.

Catatan:

  1. Kadang-kadang mereka bahkan sampai ke muara Sungai Fly. 
  2. Lihat ceritanya di website ini: https://www.kombai.nl/1903-orang-barat-mulai-naik-kali-digul
  3. Lihat cerita mengenai bagian pertama perjalanan itu di website ini: https://www.kombai.nl/1905-pertemuan-pertama-orang-digul-dengan-orang-barat
  4. Nama Papua pada zaman Belanda. 
  5. Nama Zwaluw berarti: burung layang-layang. 
  6. Sebelum pembukaan Tanah Tinggi, orang yang nonkooperatif itu dibawa ke tempat yang sedikit ke hilir dari Tanah Merah, yaitu Gudang Arang. Tempat itu berawa dan sering dibanjiri kali Digul. Lagi pula letaknya masih terlalu dekat Tanah Merah. Itu sebabnya kamp kedua itu dipindahkan ke Tanah Tinggi. 
  7. Rupert Stasch, seorang antropolog yang selama satu setengah tahun melakukan studi lapangan di suku Korowai (antara 1995 dan 2007), sedang menulis buku tentang ekspedisi ini. Sedangkan Erik Becking, seorang cucu kapten Becking, sedang menulis buku riwayat hidup kakeknya. 
  8. Lihat ceritanya: https://www.kombai.nl/2020/04/15/kandas-di-perbatasan-kombai-dan-korowai-batu-1958/ , not kaki 3. 
  9. Menurut tanggapan orang Korowai, ada dunia orang yang kelihatan, dan ada dunia orang yang tidak kelihatan (yaitu orang yang sudah mati tetapi yang rupanya masih hidup di sebelah ‘pagar’ itu). Orang yang tidak kelihatan itu hidup di tempat-tempat pemali. Andai kata kedua dunia itu disatukan, dunia akan berakhir. Orang yang tidak kelihatan itu juga dipandang sebagai orang yang berbahaya. (Stasch 2009, hal. 97-98). 
  10. Pada akhirnya, patroli itu ditemukan oleh dokter Schoonheyt. Dia telah pergi ikut rombongan pencari, tetapi karena dia sendiri jatuh sakit dalam perjalanan sehingga dia memisahkan diri dari rombongan itu. Di atas suatu rakit dia membiarkan diri dibawa oleh arus kali Kao, bersama dengan beberapa pemandu Muyu. Pada hari yang kelima dia temukan rombongan Gerissen. Pada saat itu mereka telah selama 18 hari berkeliaran di hutan tanpa makanan, dengan mengandalkan sagu, ubi, binatang-binatang kecil, dan serangga. Kapal jemput mereka dan dengan demikian mereka kembali di Tanah Merah. Ajaibnya, mereka semua selamat. 
  11. Peristiwa ini diceritakan oleh wartawan Nielsen dalam bukunya, hal. 128-130. 
  12. Bnd. Shahrir (Sjahrazad) 1945, hal. 176. 

 

Sumber:

 

  • Borgesius, Leonoor Zuiderveen, ‘Een zedelijke roeping’. Koloniaal ontwikkelingsdenken door liberalen en antirevolutionairen, 1848-1901. Bachelorwerkstuk geschiedenis, 2015.
  • Breman, Jan, Koelies, planters en koloniale politiek, Dordrecht / Providence 1987 (Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, land- en volkenkunde 123)
  • De Zuidwest Nieuw-Guinea-Expeditie 1904/5 van het Kon. Ned. Aardrijkskundig Genootschap, Leiden 1908
  • Fasseur, C., Roosenboom, Willem (1843-1920). Dalam: Biografisch Woordenboek van Nederland 1, Den Haag 1979
  • Grundmann, Christel, Hoe een prent tot leven komt – Bestuursambtenaren en beeldvorming over Papoea’s. Dalam: Skript Historisch Tijdschrift, tahun terbitan 12 nomor 1, hal. 32-37.
  • Hellwig, R.L.A. (assistant-resident), Memorie van Overgave van het bestuur over het gewest Zuid-Nieuw-Guinea (28 juli 1910). Met bijlage: Korte Kroniek der belangrijkste gebeurtenissen (Loopende van 12 Februari 1902 tot 30 Juni 1906). Nationaal Archief (Den Haag), Archief Ministerie van Koloniën en Opvolgers, 2.10.39, Inv.Nr. 411.
  • Houbolt, W.H.J., Vervolg memorie Onderafdeeling Boven-Digoel over het tijdvak Mei 1938 – October 1940 onder het bestuur van den fd. Controleur kapitein W.J.H. Houbolt, Nationaal Archief, Den Haag, Ministerie van Koloniën: Kantoor Bevolkingszaken Nieuw-Guinea te Hollandia : Rapportenarchief, 1950-1962, nummer toegang 2.10.25, inventarisnummer 399
  • Kampen, Anthoniy van, Een kwestie van macht, Bussum 1975
  • Laporan-laporan dalam: Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, Tweede serie, deel xxvi (1909), xxvii (1910), xxviii (1911), xxix (1912), xxx (1913), Leiden 1909-1913.
  • Locher-Scholten, E.B., Ethiek in fragmenten. Vijf studie over koloniaal denken en doen van Nederlanders in de Indonesische Archipel, 1877-1942 (disertasi Leiden 1981). Utrecht 1981
  • Locher-Scholten, E.B., P. Brooshooft, een biografische schets in koloniaal-ethisch perspectief. Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde, Deel 132, 2/3de Afl. (1976), pp. 302-349. Published by Brill. www.jstor.org/stable/27863058.
  • Malongatun, Abel: cerita sejarah lisan, direkam oleh Rupert Stasch, 2019.
  • Moll, L.O.A., Bestuursmemorie van de onderafdelingschef Boven Digoel van 8 januari 1955 tot 23 januari 1957, Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde te Leiden, collectie mr. L.O.A. Moll, KITLV inv. 144
  • Moll, L.O.A., Verslag kort tournee 7-10 Maart 1955 naar samenstroming van Casuarisrivier, Takoemrivier en Digoel. Bijlage-I bij maandverslag onderafdeling Boven Digoel Maart-April 1955. Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde te Leiden, collectie mr. L.O.A. Moll, KITLV inv. 144
  • Nielsen, Aage Krarup, In het land van Kannibalen en paradijsvogels, (diterjemahkan dari Bahasa Denmark). Amsterdam 1930
  • Salim, L.F.M., Vijftien jaar Boven-Digoel, Amsterdam 1973
  • Schoonheyt, L.J.A., Boven-Digoel, Batavia 1936
  • Schreurs, J.G., Dagrapporten van 21 Juli – 25 Aug. ’38, Nationaal Archief (Den Haag), Archief Biliton Maatschappij, toegang 2.20.51, Inv.Nr. 746
  • Schumacher, dr. C., Exploratie. Dalam: Klein (red.): Nieuw Guinea, jilid III.
  • Schutte, prof. dr. G.J., Kolonialisme, dalam: Christelijke Encyclopedie, Kok-Kampen 2005, jilid II
  • Shahrazad [nama samaran untuk Sutan Sjahrir], Indonesische Overpeinzingen. Amsterdam 1946
  • Stasch, Rupert, Society of Others. Kinship and Mourning in a West Papuan Place. Berkely (California Press) 2009.
  • Touwen, L. Jeroen, Paternalisme en protest. Ethische Politiek en nationalisme in Nederlands-Indië, 1900-1942. Dalam: Leidschrift, jg 15 nr 3, december 2000
  • Verslag van de Militaire Exploratie van Nederlandsch-Nieuw-Guinea 1907-1915. Weltevreden 1920.
  • Wilhelmina, koningin, troonrede www.troonredes.nl