14 – Masuk Pesta Ulat Sagu (1958)

Rumah di kebun orang Kombai, awal 1948
Rumah di kebun orang Kombai, pada patroli awal 1958

Menyeberang kali Manggono

Dari bivak di sebelah barat kali Manggono, selama tiga jam patroli menuju ke utara. Lima orang Tumariop masih ikut, tetapi sangat ketakutan, dan tiga orang dari mereka segera melarikan diri. Pada suatu saat, di salah satu kebun, patroli bertemu dengan seorang bapak dan mama. Mereka bilang, bahwa di daerah itu tidak ada orang, tetapi bahwa ada banyak orang di sebelah kali Manggono. Entah benar atau tidak, pemimpin patroli, bapak Peters, mengambil keputusan untuk menyeberang kali Manggono. Di sana mereka melalui rawa sagu besar, baru sampai ke suatu kebun. Di pinggir kebun ada rumah besar dengan beberapa orang. Orang itu tidak melarikan diri, karena di patroli ada beberapa orang Kombai. Di tempat itu mereka buat bivak untuk bermalam. Sore ada orang lain lagi yang keluar dari hutan. Mereka tidak takut, tetapi rupanya kurang senang dengan orang Tumariop.

Maju dengan awas dan waspada

Besok pagi patroli terus ke utara, mengingat tujuan mereka untuk tembus di kali Becking (Ndeiram Kabur). Hanya, para pemandu terus memimpin mereka ke arah timur, sehingga akhirnya pemimpin patroli mengambil keputusan untuk potong jalan rintis lurus ke utara. Para pemandu tidak mau ikut lagi dan tiba-tiba hilang, kembali ke dusun mereka.
Patroli maju dengan pelan-pelan saja, tetapi untungnya, tidak lama baru mereka kena suatu jalan Kombai yang bisa dilewati. Orang yang pikul barang menjadi takut, dan coba meyakinkan bapak Peters untuk kembali. Dengan diam dan waspada mereka berlanjut. Pada satu saat, mereka dengar suara-suara orang, jauh ke timur. Tetapi mereka tidak bertemu orang, dan suara-suara itu menghilang.
Beberapa saat kemudian mereka mendengar kegaduhan dari jauh. Teriakan orang-orang yang main, bunyi pukulan perisai. Rupanya ada rombongan besar di depan. Apa maksud mereka, apa yang mereka mau lakukan? Apakah mereka bersiap untuk menyerang mereka? Patroli jalan terus dengan tegang, di kolone tertutup.

Rombongan orang Kombai

Tiba-tiba mereka bertemu dengan tiga mama dan satu bapak, yang segera melarikan diri. Dengan hati-hati mereka jalan terus. Tetapi lima belas menit kemudian mereka tidak bisa jalan terus lagi. Suatu rombongan besar orang Kombai dengan busur dan anak panah dan tombak menghalangi jalan. Mereka sangat tegang dan memukul perisai mereka. Wajah gelap mereka bukan pertanda baik, dan ada lebih banyak suara yang menggebu-gebu di depan.
Pemimpin patroli, bapak Peters, tetap tenang, dan suruh juru bahasa untuk menjelaskan bahwa patroli ini datang dengan niat damai. Dengan gemetar ketakutan, juru bahasa itu memenuhi tugas itu, dan terus-menerus ia menunjukkan senjata polisi. Ternyata ia coba meyakinkan orang Kombai itu bahwa senjata-senjata polisi jauh lebih kuat daripada busur dan anak panah mereka. Sementara itu, orang yang pikul barang sangat takut: “Ah tuan, orang-orang Kombai jahat betul!”, kata mereka kepada pendeta Drost.

Menjadi jelas rombongan orang Kombai itu menuju suatu pesta ulat sagu. Pada akhirnya, mereka sepakat untuk berkompromi: patroli tidak akan melanjutkan perjalanannya ke utara, tetapi akan ikut rombongan orang Kombai ke tempat pesta itu. Orang yang pikul barang menyingkir sejauh mungkin ke samping di jalan yang sempit itu untuk membiarkan rombongan Kombai lewat. Ada yang berkata satu sama yang lain, “orang-orang ini makan manusia!”

 

Kepala pesta ulat sagu
Kepala di bivak tamu pesta ulat sagu, awal 1958.

 

Bivak tamu

Sesudah 2 jam mereka tiba di suatu bivak besar, penuh dengan sekitar 300-500 orang tamu. Tempat pesta sebenarnya masih sedikit lebih jauh, tetapi mereka tidak mau patroli jalan terus ke sana. Kelompok orang Kombai yang tadi mereka ikut ternyata sudah jalan terus. Suasana di bivak itu agak tegang. Ternyata ada juga orang dari kampung Borokambia, dan dari kampung Arup; mereka itu baik kepada peserta patroli, tetapi dengan demikian mereka menimbulkan perasaan cemas pada orang lain, yang tidak senang dengan mereka, sehingga terjadi perselisihan. Pada suatu saat, ada seorang bapak tua, rupanya kepala di situ, yang mencelat dan mulai berbicara. Menurut juru bahasa, ia coba tenangkan orang dengan mengatakan bahwa patroli itu datang sebagai tamu dan tidak bermaksud jahat.
Para pengikut patroli terima sagu, pisang, dan ulat sagu, tetapi tidak dapat izin untuk masuk bivak tamu. Oleh karena itu, mereka membuat bivak sendiri dan bermalam di situ. Tetapi sepanjang malam keadaan resah. Berkali-kali terdengar bunyi seram dari orang yang pukul perisai dan tunggul pohon. Dari jauh nyanyian pesta didengar. Malam itu banyak orang tidak tidur baik.

 

Bijkerk, Peters dan Voermans
Dokter Bijkerk, HPB bapak Peters, dan kepala polisi Tanah Merah bapak Voermans, di patroli 1958.

Daging manusia

Hari berikut mereka lagi tidak diizinkan pergi ke tempat pesta. Hari itu, dokter Bijkerk mengadakan pemeriksaan orang yang bersedia untuk diperiksa. Tidak banyak yang datang: hanya 56 orang memberi diri diperiksa, 9 dari mereka ada luka-luka frambusia. Malam hari agen polisi Akoyama bercerita bahwa dia telah ditawari daging kering; menurut dia, daging itu adalah daging manusia… HPB Peters, dokter Bijkerk, dan pendeta Drost ragu-ragu apakah itu benar atau tidak. Mungkin itulah sebabnya mereka kemarin tidak boleh masuk bivak tamu?

Orang Kombai yang pergi ke pesta ulat sagu
Orang Kombai berangkat dari rumah tamu menuju ke tempat pesta ulat sagu, awal 1958.

 

Tempat pesta

Besok pagi mereka siap melanjutkan perjalanan mereka. Dulu mereka pergi ke tempat pesta.
Tempat itu hanya 10 menit jalan kaki dari bivak di mana mereka bermalam. Orang yang pikul barang itu tidak masuk di tempat pesta itu, tetapi sementara menunggu di bawah pengawasan polisi. Yang masuk ialah bapak Peters, dokter Bijkerk, dan pendeta Drost, dengan seorang juru bahasa dan beberapa agen polisi. Ternyata banyak tamu sudah pulang, di antaranya rombongan orang Kombai yang mereka temu kemarin lalu. Yang masih ada di tempat itu sekitar 300-600 orang. Mereka itu cemas dan memperhatikan mereka dengan cermat. Dokter Bijkerk masih suntik dua orang yang ada luka frambusia. Setelah kurang lebih 45 menit mereka pulang lagi, setelah mereka membagikan beberapa artikel kontak, mereka pulang lagi .
Setelah lewat bivak di mana tadi mereka tidur, mereka ikut jalan yang dua hari sebelumnya mereka datang bersama rombongan orang Kombai. Maksudnya agar orang Kombai akan mengerti bahwa mereka tidak bisa begitu saja suruh suatu patroli pemerintah pulang saja!

 

Peserta pesta ulat sagu, 1958
Beberapa tamu pesta ulat sagu, awal 1958

 

Tangan murah Allah

Semua mereka bernafas lega. Pertemuan dengan orang Kombai bisa berakhir sangat berbeda! Tetapi, seperti dikatakan pendeta Drost: “Tangan murah Allah kami itu melindungi kami. Allah kami telah mendengarkan doa kami sehingga tidak terjadi apa-apa pada kami!”

 

Catatan:

  1. Tempat pertemuan dengan rombongan orang Kombai itu sekitar kepala kali Manggono, kira-kira di mana sekarang kampung Ndema.
  2. Lokasi pesta ulat sagu sekitar 2 jam jalan kaki lebih ke selatan, mungkin tidak jauh dari kepala kali Rufu.
  3. Lihat peta dengan rute patroli.

Sumber:

  • H. Bijkerk, Verslag Toernee naar het Manggono- en Arupgebied van 10 februari t/m 6 maart 1958, No.: 338/Tm5, Tanah Merah 15 mei 1958. Rapport aan de Directeur van Gezondheidszorg te Hollandia Binnen. (Milik pribadi, salinan diterima dari pdt Drost)
  • Laporan pdt Drost dalam majalah zending Ons Zendingswerk, 1958 no. 3 (2 April), hal. 2-8.