41 – Dua Perkembangan yang Menuju Satu Titik Pertemuan

Jager 31-A 41-L
Pegunungan Bintang, dilihat dari Kawagit

INTRO

Pendeta Drost dan pendeta Klamer sudah menemukan sebuah bukit tinggi yang indah di hulu kali Digul, yang akan menjadi lokasi baru untuk kampung Arup (Lihat posting-39). Klamer ingin segera menetap di sana, tetapi tiap kali lagi ada hambatan yang menyebabkan rencananya harus ditunda lagi.
Di belahan dunia lain, perjalanan penyelidikan ilmiah terbesar yang pernah diadakan oleh orang Belanda sedang disiapkan. Ekspedisi itu juga akan mempengaruhi awal pekerjaan Klamer di Kawagit.

 

1.
Zending

Arup

Pada kunjungan bulan Agustus ke kampung Arup, waktu Drost siap pulang ke Tanah Merah, dia suruh mandur Baleo untuk mulai buka tempat di bukit tinggi yang mereka temukan hari sebelumnya. Jadi orang Arup mulai bikin jalan rintis dari kampung Arup ke lokasi baru. Jarak jauhnya sekitar lima kilometer. Waktu jalan rintis itu sudah selesai mereka tunggu kapal Ichthus dengan misionaris itu datang lagi. Tetapi di kali Digul tetap sepi. Tidak ada yang datang naik sungai. Di mana ya misionaris itu…

Rietkerk Foto 054-L
Orang Arup / Kawagit; Petua yang berdiri di depan: Baleo / Balekho

Hampir tiga bulan sudah berlalu ketika mereka dengar bunyi motor kapal itu dari jauh. Itu adalah Drost dan Meijer yang pada akhir bulan Nopember dari Kouh datang membuat kunjungan singkat ke kampung Arup untuk melihat perkembangan. Mereka disambut dengan hangat.

“Tuan, sudah selesai!” kata Baleo segera setelah sapaan pertama, “kami sudah membuat rintis, sampai ke dermaga, bapak!”
“Bagus,” jawab Drost, “ayo naik ke kapal, kita akan pergi lihat.”

Jadi, Baleo naik ke kapal Ichthus dan bersama-sama mereka berlayar ke tempat baru itu. Tiba di sana mereka mendarat dan bikin bivak di sana, demikian cerita Lamekh pada tahun 2022. Saat itu, ia masih seorang anak dan ia tidak ingat lagi dengan pasti berapa lama waktu sudah berlangsung antara kunjungan pertama dan kedua; ia memperkirakan sekitar dua minggu, tetapi sebenarnya tiga bulan. Ketika ia melihat kembali ke masa lampau itu, peristiwa-peristiwa dan kunjungan-kunjungan seolah menyatu dan tampaknya berturut-turut dalam waktu yang singkat. Kemungkinan besar, bivak itu baru dibuat pada kesempatan berikutnya, karena Drost dan Meijer tidak tinggal bermalan tetapi langsung kembali ke Kouh pada hari yang sama.

Klamer

Tujuan yang diubah

Jaap Klamer (1925-2011) menyelesaikan studi teologinya pada tahun 1957. Dia terima panggilan untuk menjadi misionaris di Kalimantan sebagai pengganti pendeta Agema yang pada tahun itu pulang ke Belanda. Pada saat yang sama, pendeta Van Benthem juga bersiap-siap untuk berangkat ke Indonesia; dia rencana menggantikan pendeta Algra di pulau yang sama. Waktu dia sudah naik kapal dan siap berangkat, pada saat-saat terakhir keberangkatan kapal itu dibatalkan karena situasi politik yang memburuk antara Belanda dan Indonesia.

Agema En Algra 1956-L
Kiri pdt Agema, kanan pdt Algra, di Kalimantan 1956

Sudah selama beberapa waktu, Indonesia kesal karena perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia mempertahankan ketidaksetaraan ekonomi. Selain itu, presiden Sukarno tidak suka bahwa Nieuw-Guinea (Papua) masih di bawah pemerintahan Belanda. Akhir tahun 1957, frustrasi ini mencapai puncaknya. Slogan seperti “Serahkan Irian Barat” dan “Usir anjing Belanda dari R.I.” membesarkan kebencian terhadap orang Belanda. Pada tanggal 5 Desember, semua orang Belanda (sekitar 50.000 orang) diumumkan harus segera meninggalkan negara. Surat-surat kabar Belanda dilarang, KLM tidak boleh mendarat lagi di Indonesia, dan sekitar 500 perusahaan Belanda ditempatkan di bawah pengawasan negara dan setahun kemudian dinasionalisasi.

Dalam situasi ini, tidak ada harapan lagi Klamer dan Van Benthem akan dapat visa untuk Indonesia. Oleh karena itu, gereja-gereja yang mau mengutus mereka ke Kalimantan (Groningen-Noord dan Bunschoten-Spakenburg) ambil keputusan untuk kirim kedua pendeta itu ke Nieuw-Guinea: untuk ke sana mereka tidak memerlukan visa, dan dari laporan Drost sudah menjadi jelas bahwa ada cukup kerja untuk lebih banyak misionaris.

Cobaan

Pada tanggal 15 Juli 1958, Klamer berangkat dari Belanda, dan dua minggu kemudian ia tiba di Tanah Merah. Tidak lama setelah itu, ia pergi bersama Drost ke Arup. Perjalanan itu akan diingatnya lama karena beberapa alasan.
Mereka baru saja memulai perjalanan ketika hampir terjadi sesuatu yang sangat serius. Dengarlah cerita dari pdt Klamer:

“Ketika kita dekat dengan Kouh, Coby (istrinya) berjalan di tepi kapal menuju dek depan untuk bisa melihat kampung itu dengan baik. Dia memegang sebatang kayu dari atap kapal sebagai pegangan. Sebatang kayu itu patah dan Coby terjatuh ke dalam air. Kali di sana sangat dalam. Tetapi untungnya dia bisa berenang dan dengan pelampung penyelamat, dia segera bisa diangkat kembali ke atas kapal.”

Pada perjalanan pulang, mereka tinggal beberapa hari di Kouh, sementara kapal Ichthus berlayar terus ke Tanah Merah. Ketika beberapa hari kemudian kapal itu kembali menjelang senja, ada telegram untuk Klamer dengan berita sedih bahwa mertuanya sudah meninggal beberapa hari sebelumnya.

“Ketika kami berdiri di tepi kali Digul pada hari Sabtu malam itu, dengan kali di depan kami dan hutan rimba di sekeliling kami, itu membuat hati kami sedih. Kami menyadari bahwa istri punya ayah sudah dimakamkan. Meskipun dia sudah lama sakit, berita ini datang begitu tiba-tiba. Kesadaran bahwa dia hidup oleh iman, dan begitu juga pergi, dan bahwa kita bersatu dengan keluarga di Belanda dalam iman yang sama, itu menjadi penghiburan bagi kami. Tetapi jarak yang jauh antara Nieuw-Guinea dan Belanda sangat dirasakan dalam hari-hari itu.”

Drost juga pernah mengalami hal semacam itu waktu dia masih di Hollandia. Ketika dia pulang dari rumah sakit di mana dia dirawat karena sakit kuning, beberapa hari kemudian dia mendapat berita bahwa ayahnya sudah meninggal. Kedua misionaris ini mendapatkan kekuatan dari Tuhan sehingga mereka tidak putus asa karena berita-berita kematian yang mereka terima dan mengatasi cobaan-cobaan itu.

IMG-20160414-WA0033-L
Pdt Klamer

Terikat pada Kouh dan Tanah Merah

Belum genap sebulan kemudian, Henny Meijer tenggelam (lihat posting-36). Sejenak, seluruh kegiatan Zending goyah. Drost pergi menjemput guru Meijer dari Kouh, dan sementara itu Klamer memimpin pemakaman Henny di Tanah Merah. Mereka semua terpukul oleh peristiwa yang mengerikan ini.
Namun, setelah itu, pembangunan perluasan penginapan di kompleks Zending di Tanah Merah segera dilanjutkan. Dalam waktu dekat, dinantikan pendeta Van Benthem dan keluarganya akan tiba; fasilitas untuk mereka harus siap sebelumnya.

Sekarang juga harus diambil langkah-langkah untuk mencegah agar pekerjaan di Kouh tidak kandas atau diambil alih oleh misi Katolik. Oleh karena itu, awal bulan Oktober, Klamer dengan istrinya berangkat ke kampung itu dengan maksud untuk tinggal beberapa minggu di sana. Mereka hanya sampai ke Mariang: di sana mereka mendengar desas-desus bahwa ada kelompok pemenggal kepala yang mau menyerang kampung itu, dan bahwa mereka mungkin juga mau menyergap kampung Kouh. Hal itu harus dilaporkan kepada Bestir, jadi mereka terpaksa langsung kembali ke Tanah Merah.

Sebagai tanggapan atas laporan ini, Bestir segera kirim suatu patroli polisi ke kampung-kampung yang diancam bahaya, dan pendeta Drost pergi bersama mereka. Klamer mengalami masalah dengan bisul dan harus tinggal di rumah. Baru sepuluh hari kemudian dia dan istrinya bisa berangkat ke Kouh lagi. Sementara mereka tinggal di sana, keluarga Van Benthem tiba di Tanah Merah.

Setelah kembali dari Kouh, Klamer sekali lagi mengalami masalah dengan bisul-bisul sehingga dia hampir tidak bisa kerja banyak. Meskipun begitu, di Tanah Merah dia memimpin ibadah di sana. Tetapi perpindahannya ke Arup sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

IMG 3060-L
Pegunungan Juliana (kini Puncak Mandala) dilihat dari Sibil

2.
Ekspedisi

Rencana

Pada tahun yang sama ketika Enschede-Noord memutuskan untuk mengakhiri keterlibatannya dengan Zending di Sumba dan mencari wilayah yang lain untuk memberitakan Injil, mulailah kisah Ekspedisi ke Pegunungan Bintang. Pada bulan Mei 1953, dua organisasi di Belanda untuk geografi dan penelitian ilmu alam memutuskan untuk mengadakan ekspedisi ke Pegunungan Bintang di Papua. Daerah itu belum mereka kenal dan harapan mereka bahwa sejumlah ilmuwan dari berbagai disiplin dapat mengisi bagian putih terakhir ini di peta mereka. Untuk proyek itu, mereka mendirikan Yayasan Ekspedisi Nederlands-Nieuw-Guinea.

Dua tahun kemudian – tahun di mana pendeta Drost dipanggil untuk Zending di Nieuw-Guinea – yayasan ini menunjuk zoolog Dr. L.D. Brongersma sebagai pemimpin umum dan ilmiah ekspedisi yang akan datang, dan Kapten Letnan Udara Angkatan Laut G.F. Venema sebagai pemimpin teknis.

Pegunungan Bintang

Ketika pada tahun 1909 dan 1913 kelompok penjelajah Militer Belanda naik kali Digul, dari jauh mereka melihat pegunungan yang membentang dari timur ke barat di pedalaman Papua. Ketika mendekat, mereka menamakan bagian pegunungan ini sebagai Pegunungan Bintang, dengan memberi nama-nama bintang dan zodiak kepada berbagai puncak dan punggung pegunungan, seperti Antares dan Orion. Itulah wilayah yang ekspedisi ingin kunjungi.
Daerah itu sebenarnya tidak sepenuhnya tidak dikenal mereka. Insinyur pertambangan dari eksplorasi Goldmine tahun 1937 dan 1938 telah mencapai lembah kali Sibil di kaki Pegunungan itu, dan bahkan lebih jauh lagi ke arah gunung Antares. Dan pada waktu yang belum lama, beberapa geolog dari NNGPM (Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij: Perusahaan Minyak Belanda di NIeuw-Guinea) mengeksplorasi kali Digul-Barat (kini Tsaw) dan telah masuk ke lembah kali Sibil juga. Oleh karena itu, agak berlebihan untuk menyebut ini sebagai suatu bagian putih di peta mereka.

Pengintaian udara tunjuk bahwa dukungan pesawat sangat diperlukan untuk suatu ekspedisi di pegunungan ini. Oleh karena itu, perlu lapangan terbang dibangun di daerah itu. Pada waktu Goldmine di sana, mereka telah melakukan pengedropan makanan di lembah Sibil dan menurut mereka bisa dibuat lapangan terbang di sana. Sekarang harus diperiksa dulu apakah itu betul bisa atau tidak.

IMG 3023-L
HPB Pim Schoorl dengan seorang ibu Papua di Mindiptana

Pemeriksaan lapangan

Rute

Pada pertengahan bulan Juni 1955, HPB (Hoofd Plaatselijk Bestuur: Kepala Mindiptana Pim Schoorl dipanggil ke Tanah Merah. Gubernur Van Baal ingin berbicara dengan dia tentang persiapan ekspedisi ke Pegunungan Bintang. Kunjungan ini ke Tanah Merah makan waktu sepuluh hari, pergi jalan kaki dan kembali dengan kapal.

Dalam pembicaraan ini, Residen Boendermaker juga hadir. Van Baal menjelaskan bahwa dia menerima surat dari Profesor Lam atas nama yayasan yang mengatur ekspedisi mendatang. Lam minta untuk mengeksplorasi rute dari Mindiptana ke lembah Sibil dan menilai apakah jalan ini dapat digunakan oleh ekspedisi untuk pengiriman makanan dan semua kebutuhan lain dari para ilmuwan. Mindiptana adalah sebuah desa kecil di kali Kao, dan pos Bestir yang terdekat dari Lembah Sibil yang sekitar 150 kilometer lebih ke utara. Schoorl diberi tugas untuk melakukan eksplorasi itu.

IMG 3024-L
Kampung di antara Mindiptana dan Katem di kali Diguleind 1955

Tidak aman

Untuk sementara waktu dia harus tunda penjelajahan itu, karena rute tersebut melintasi daerah yang belum berada di bawah pengaruh pemerintah Belanda dan yang pada saat itu sangat tidak aman. Sebuah kelompok 300 hingga 400 orang dari daerah tersebut baru-baru itu melakukan serangan terhadap sebuah kampung yang sudah berada dalam lingkup pengaruh Bestir di Mindiptana; pada kesempaan itu mereka membunuh lima orang dan memakan dua korban tersebut. Selain itu, tiga orang terluka dan beberapa perempuan dan anak dicuri. Kata orang, para pelaku juga mau menyerang kampung-kampung lain dan bahkan pada akhirnya mau mengincar desa Mindiptana. Sebelum Schoorl dapat pergi melintasi daerah itu ke Sibil, perkara ini harus diatasi dulu. Jadi, pada akhir bulan Juli, dia membuat patroli untuk mencari para pelaku serangan tersebut dan mencari tahu apa sebabnya sikap permusuhan mereka. Untung dia berhasil dan dapat menjalin hubungan damai dengan penduduk daerah itu.

IMG 2987-L
Beberapa dari 16 agen polisi Papua yang ikut pada perjalanan pertama dari Mindiptana ke Sibil akhir tahun 1955. Di depan sebalah kiri itu agen Roempaidoes.
IMG 3019-L
Mindiptana, dilihat dari utara, sekitar 1956.
IMG 3021-L
Mindiptana dilihat dari selatan, 1956

Ke lembah Sibil

Pendamaian itu membuka jalan untuk Schoorl bisa pergi melintasi daerah itu menuju ke lembah Sibil. Pada tanggal 14 November 1955, dia serta pejabat pemerintah Hermans berangkat dari Mindiptana dengan 60 orang pikul barang dan 16 polisi Papua. Pastor Putman juga ikut (dia bekerja di Waropko dari tahun 1949-1958). Saat mereka berangkat, ibu-ibu dan anak-anak dari orang pikul barang sangat gelisah: mereka akan melewati daerah yang belum mereka kenal; menurut kata orang, orang di sana adalah orang berekor… Aduh, mereka takut sekali, karena pasti sangat berbahaya!

(Hal yang sama diungkapkan pada tahun ’70 dan ’80 oleh orang Kombai mengenai orang Korowai. Sepertinya itu adalah ketakutan umum yang mencegah orang masuk ke daerah tersebut.)

IMG 3014-L
Hermans dengan beberapa orang Muyu yang pikul barang dan seorang tenaga polisi Papoa, pada perjalanan pertama, 1955
IMG 3018-L
Orang berangkat dari Mindiptana menuju ke Sibil 1955

Perjalanan itu panjang dan berat. Hampir setiap malam hujan deras, dan setiap hari lagi mereka diancam lintah berdarah. Minggu demi minggu, rombongan besar itu melalui hutan yang sunyi dan gelap, tempat tinggal orang yang tidak dikenal, dengan pakai jalan tikus dan kasuari.

Hutan Papua - Frans Middelkamp-L
Rimba raya yang gelap

DSC 0887-L

IMG 3035-L

Di tengah jalan…

IMG 3036-L
Kiri Hermans, kanan Schoorl.
IMG 3003-L
Menyeberang kali kali Iwur, akhir 1955
IMG 3054-L
Jembatan gantung menyeberang kali Digul, buatan tali rotan, akhir 1955
IMG 3007-L
IMG 2991-L

Ketika setelah enam minggu dan sekitar 120 kilometer berjalan mereka akhirnya tiba di lembah kali Sibil, mereka semua merasa senang dan lega.

Sterrenbergexpeditie-op-nieuw-guinea-ok-sibil-wordt-38a6ca (1)-L
Orang menyeberang kali Sibil

Mengukur lintasan untuk bikin lapangan terbang

Tempat di mana lapangan terbang menurut insinyur dari Goldmine bisa dibangun, terletak di sepanjang kali Sibil dan ditumbuhi oleh semak tinggi. Schoorl dan Hermans mulai bikin jalan rintis melalui semak. Beberapa kali mereka menemui lubang yang dalam, atau suatu tikungan kali, atau bagian tanah yang sangat berawa; maka mereka harus sedikit bergeser rintis yang mereka buat itu untuk menghindari rintangan tersebut. Setelah banyak putaran dan pengukuran, mereka berhasil bikin jalur lurus sepanjang 1100 meter. Selanjutnya, mereka harus memastikan apakah jalur tersebut cukup lebar. Akhirnya, mereka melaporkan bahwa menurut mereka tempat ini bisa untuk bikin lapangan terbang, tetapi mungkin baik untuk seorang ahli lapangan terbang periksa juga karena kondisi tanah merupakan faktor yang tidak pasti.

IMG 3009-L
Bikin rintis di lembah Sibil lewat rumput berbatang tinggi seperti tebu dan lain-lain, akhir tahun 1955.

Ahli lapangan dari Hollandia

Untuk waktu yang lama, tidak ada yang terjadi. Pada bulan Juli 1956, Brongersma dan Venema memutuskan untuk pergi ke Papua untuk coba melancarkan kembali pemeriksaan lapangan di lembah Sibil. Upaya mereka berhasil dan pada bulan Oktober seorang pejabat teknis dari pemerintah di Hollandia (kini Jayapura) tiba di Mindiptana. Awal tahun itu dia telah menyelesaikan pelatihan di Port Moresby untuk membangun lapangan terbang di kawasan hutan. Ahli ini harus mengambil keputusan apakah tanah di Sibil cocok untuk bikin lapangan terbang atau tidak. Pria tersebut terus datang dengan usulan baru dan ternyata tidak tahu apa saja yang terlibat dalam mengadakan perjalanan dari Mindiptana ke lembah Sibil. Bagi dia, semuanya itu sangat mudah, seperti yang ia katakan kepada HPB di Mindiptana: “Bestir adalah kereta api dan kami hanya perlu naik saja!” Seolah-olah Bestir itu semacam biro travel wisata!

Akhirnya, pada tanggal 4 November 1956, Hermans dan ahli dari Holandia itu berangkat dari Mindiptana, dengan rombongan 200 orang yang pikul makanan dan barang.

IMG 3026-L
Beberapa agen Polisi Papua dengan beberapa orang Muyu. Pada kali kedua Hermans dari Mindiptana ke Sibil (akhir 1956) ada 200 orang yang pikul barang.

Hermans dan ahli lapangan itu tidak saling cocok, dan juga peserta lain dalam perjalanan ini tidak begitu suka padanya. Ternyata dia sangat terpaku pada kolonialisme. Contoh berikut mencerminkan sikapnya. Karena mereka tidak membawa cukup kain tenda, Hermans membuat tempat tidur di tempat bivak lebih tinggi dari tanah daripada biasanya, supaya para pembawa bisa tidur di bawahnya; tiap malam hujan deras sehingga tidak mungkin membiarkan mereka tidur di di luar saja! Tapi ahli dari Hollandia itu protes, dia menganggap mereka bau; tetapi ketika Hermans mengatakan bahwa dia sendiri juga bau, dia diam. Dia betul tidak tahu bagaimana seharusnya memperlakukan orang yang disewa untuk pikul barang itu. Hermans sangat kesal tentang hal ini, tetapi tetap tahan diri.

Tiba di Sibil, ternyata jalan-jalan rintis yang mereka buka setahun sebelumnya sudah ditumbuhi kembali. Jadi, mereka harus membuat jalan-jalan rintis baru. Prosesnya berulang dengan hasil yang hampir sama seperti kali sebelumnya. Akhirnya ahli lapangan menolak lahan itu karena menurut dia tanahnya terlalu berawa. Tetapi Hermans tetap berpikir bahwa mungkin toh bisa. Dengan demikian, persiapan ekspedisi kembali mencapai titik buntu.

Pada perjalanan pulang, ahli dari Hollandia itu tidak suka melalui Mindiptana, tapi mau langsung ke Tanah Merah. Dia merasa kesal bahwa dalam perjalanan pergi, dia tidak dapat perawatan yang baik di Mindiptana. Di Hollandia, dia biasa mendapatkan perlakuan yang lebih baik! Di kampung di cabang jalan menuju Tanah Merah, delapan orang mengaku bersedia mengantarkan dia ke sana. Namun, malam itu, orang Muyu yang sudah berminggu-minggu pikul barang dalam perjalanan itu, ceritakan kepada mereka pengalaman mereka dengan ahli lapangan itu. Akibatnya, pagi hari tidak ada satu dari kedelapan orang itu yang muncul, sehingga ahli itu terpaksa harus ikut ke Mindiptana.

Sementara itu, pendeta Drost datang ke Tanah Merah untuk mau lihat apakah dia dapat memulai pekerjaan Zending di wilayah Digul-atas (lihat posting-20).

IMG 3041-L
Heli dengan pilot Perancis yang bernama Ferouge; dia nanti akan terbang dari MIndiptana ke Sibil.

Ekspedisi persiapan

Tanpa lapangan terbang di pegunungan, tidak ada harapan untuk mengadakan ekspedisi ke sana. Tetapi apakah pendapat Van Lottum menentukan? Dari Hermans, dari HPB di Mindiptana, dan dari residen di Merauke, panitia Ekspedisi di Belanda sudah mendengar cerita-cerita aneh tentang orang itu, yang membuat mereka ragu-ragu akan kemampuannya.

Untuk keluar dari kebuntuan, panitia itu ambil keputusan untuk sendiri kirim seorang ahli dar Belanda ke Papua, yaitu insinyur T.K. Huizinga. Dia adalah pria yang sangat baik, menurut Hermans. Karena usianya (dia lahir pada tahun 1895), dia harus diantar ke Sibil dengan helikopter, tetapi itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Waktu itu, pesawat terbang sudah digunakan di pedalaman Papua selama 20 tahun, tetapi helikopter masih cukup baru. Aturannya waktu itu mensyaratkan bahwa setiap 3 hingga 5 kilometer harus ada area terbuka di mana helikopter bisa mendarat kalau motor tiba-tiba mati. (Yaitu setiap beberapa meter seiring dengan jumlah kaki yang dia terbangkan: jadi jika dia terbang pada ketinggian 2000 kaki, harus ada pembukaan setiap 2 kilometer). Di sepanjang sungai itu tidak merupakan masalah, karena helikopter itu bisa mendarat di atas air. Tetapi di rimba raya antara Mindiptana dan Katem sama sekali tidak terdapat tempat terbuka. Oleh sebab itu mereka harus bikin banyak tempat-tempat turun untuk helikopter sebelum Huizinga bisa diterbangkan ke Sibil. Untuk tugas ini, pegawai administratif Dragt datang ke Mindiptana, dan bersama dengan pasukan polisi di bawah pimpinan kepala agen Raaff dan dengan lebih dari 200 orang Muyu dia mulai pekerjaan itu pada tanggal 1 Juli 1957. Tiap tempat turun helikopter yang mereka bikin itu terdiri dari sejumlah batang pohon yang diikat di atas beberapa palang melintang, sekitar setengah meter di atas tanah.

Hermans yang bertanggung jawab atas semuanya ini. Sebenarnya, seharusnya Venema, tetapi dia belum pernah menghadapi sesuatu seperti ini dan bingung.Dari Mindiptana, Hermans bersama pilot Prancis, Cecile, sering melakukan penjelajahan sepanjang rute. Cecile merasa bahwa medannya sangat sulit, dan terkadang, ketika tidak ada tempat terlihat di mana mereka bisa mendarat dalam keadaan darurat, dia sangat khawatir.

Dalam waktu 14 hari, Dragt dan Raaff dengan orang Muyu itu membuat tidak kurang dari 22 tempat pendaratan darurat. Untungnya, tanah antara Katem dan lembah Sibil cukup terbuka sehingga tidak perlu dibuat tempat-tempat pendaratan tambahan di sana.

Raaff-02-L
Raaff dengan istri dan anaknya
IMG 3097-L
Dengan helikopter dari Mindiptana ke Sibil, Juli 1957

Dengan demikian, jalan terbuka untuk helikopter bisa terbang ke Sibil, dan pada tanggal 29 Juli, insinyur Huizinga tiba di sana bersama dengan Letnan Venema. Keesokan harinya, mereka mulai bikin jalan-jalan rintis lagi, karena semuanya sudah ditutupi kembali dengan rumput dan semak.
Beberapa hari kemudian, Huizinga dapat menyatakan bahwa dia menganggap tanah tersebut bisa untuk membangun lapangan terbang. Ketika Venema dan Huizinga berangkat lagi, orang Muyu sudah sibuk membersihkan seluruh lapangan itu.

IMG 3058-L
Orang Muyu dan Sibil sedang membersihkan tempat di mana lapangan terbang akan dibuat, Juli 1957
IMG 3059-L
Lapangan Sibil masih sedang dibangun, Juli 1957. Di belakang: peguungan Mandala (dulu: Juliana).
IMG 3063-L
Orang Sibil taruh batu-batu dari kali di lapangan, sekitar 1957. Di belakang itu gunung Juliana (kini puncak Mandala).

Lapangan terbang

Pada 12 Oktober, pilot Dave Steiger dari MAF melakukan pendaratan uji. Orang Muyu bersorak-sorai, tetapi penduduk asli di lembah Sibil diam dan tinggal berdiri jauh-jauh. Baru setelah pesawat pergi, mereka merasa aman: mereka berseru dan berteriak, dan dengan gerakan liar, mereka menceritakan kepada orang yang datang terlambat apa yang terjadi. Jejak roda pesawat dijadikan bukti, karena tidak semua orang langsung percaya pada cerita mereka.

IMG 3103-L
Pesawat MAF (JZ-PTE) di lapangan Sibil, 1957. Kemungkinan ini pendaratan pertama yang terjadi pada tanggal 12 oktober.
IMG 3104-L
Tetapi seminggu kemudian, ketika inspektur lapangan terbang datang untuk menilai apakah lapangan terbang itu dapat diberi izin untuk dipakai, mereka tidak begitu antusias lagi. Inspektur itu tidak puas dan suruh supaya lapisan humus digali dan kemudian diisi dengan batu. Lagi pula lapangan terbang itu harus diperlebar, dan diperpanjang sejauh 40 meter. Untuk melaksanakan semuanya itu mereka berbulan-bulan sibuk lagi.
IMG 3061-L
Orang Sibil ambil batu-batu dari kali untuk lapangan, sekitar 1957
IMG 3065-L
Orang Sibil ambil batu-batu dari kali untuk lapangan, sekitar 1957
IMG 3100-L
Orang menggilas lapangan dengan batang kayu besar
IMG 3101-L
Lapangan Sibil awal bulan September 1957.

Penduduk Sibil sebenarnya tidak setuju: di kali, air mengalir di atas batu, itu selalu terjadi begitu, dan karena itu akan selalu ada air yang mengalir di atas batu. Jika sekarang mereka pindahkan batu, menurut mereka air kali pasti akan ikut!
Mereka tidak sepenuhnya salah. Kali Sibil berkelok-kelok dan sering meluap saat banjir, dan karena struktur tanah yang lemah, kali dengan mudah mengubah alurnya. Beberapa kali mereka coba untuk mengubah alur sungai dengan memotong salah satu dari tikungannya tetapi beberapa waktu kemudian kali membentuk suatu meander baru lagi. Namun, mereka tetap coba lagi, untuk mencegah air kali akan membanjiri lapangan terbang.

IMG 3110-L
Hermans dengan orang Sibil, 1958.
IMG 3094-L
Lapangan Sibil dari udara, Juli 1957
IMG 3073-L
Lapangan Sibil dari udara, sekitar Juli 1957. Bivak lama ada di tanda x (di pinggir kali di sebelah kanan). Kemudian bivak dipindahkan ke tempat lain yang lebih tinggi supaya tidak kena banjir
Screenshot - 22 Apr 4 44 P M -L
Lapangan terbang Sibil dilihat dari udara, 1959, dengan bivak baru di sebelah kanan.
Oksibil-b
Oksibil sekarang ini, dilihat dari atas, tahun 2023 (Google Earth)

Jalan buntu terobos

Seleksi

Sekarang, rencana konkret akhirnya bisa dibuat. Dari jumlah besar orang yang ingin ikut dengan ekspedisi ini, dipilihlah tim yang terdiri dari berbagai keahlian; ada geolog, antropolog, zoolog, ahli botani, kartografer, dan seorang linguistik. Jumlah orang yang dipilih adalah 15 ilmuwan. Untuk perawatan medis, ada dua dokter, seorang perawat, dan seorang mantri yang akan ikut. Hanya Bär, seorang geolog, memiliki pengalaman luas dalam eksplorasi di Papua. Dia pernah bekerja untuk NNGPM di daerah Digul-Barat (Tsaw) dari September 1956 hingga Juni 1957.

Sementara itu, Zending sudah menetap di Tanah Merah. Drost bersama HPB Peters dan orang lain melakukan suatu patroli yang berminggu-minggu melintasi daerah suku Kombai. Di Kouh, sebuah pos Zending dibuka.

Helikopter

Ternyata ada beda pendapat tentang penggunaan helikopter dalam ekspedisi ini. Geolog Bär tidak terlalu yakin akan manfaat helikopter. Selama dia bekerja di daerah Tsaw, dia telah dapat banyak pengalaman dengan alat angkutan itu. Helikopter itu mahal, dan berbeda dari manusia tidak selalu bisa dipakai: orang Muyu dapat bekerja walaupun ada hujan atau kabut tutup, tetapi helikopter tidak bisa terbang dengan cuaca buruk.
Namun, Letnan Venema, seorang pilot, yakin bahwa ekspedisi persiapan telah membuktikan manfaat menggunakan helikopter dan pesawat. Untuk mengangkut semua bahan dan persediaan para ilmuwan dari Mindiptana ke lembah Sibil dengan pakai tenaga manusia, diperlukan sekitar 1000 orang: memang itu mustahil dan terlalu mahal.
Akhirnya, pimpinan ekspedisi memutuskan untuk menyewa dua helikopter tipe Bell, meskipun kapasitas dan jangkauan aksi helikopter ini tidak sebesar yang mereka sebenarnya inginkan. Tapi tipe yang lebih besar tidak dapat mereka biayai karena mereka menghadapi kekurangan keuangan – dan selama ekspedisi berlangsung itu tidak akan berubah. Bär tetap meragukan kebijaksanaan keputusan itu: bagaimana jika salah satu dari dua helikopter itu nanti akan celaka dan jatuh? Apakah itu tidak akan berarti ekspedisi terpaksa harus bubar karena peraturan keselamatan yang berlaku?
Venema memang mengerti bahwa ekspedisi tidak sepenuhnya dapat dilakukan tanpa orang pikul barang, jadi sekitar 30 orang dari Muyu akan ikut.

Rencana Diubah

Setelah dipertimbangkan lebih lanjut, rute melalui Mindiptana sepertinya tidak begitu cocok. Mindiptana tidak dapat dijangkau oleh kapal-kapal pantai yang akan membawa barang ekspedisi ke pedalaman, dan juga tidak memiliki bandara. Sebaliknya, Tanah Merah dapat diakses baik melalui sungai maupun melalui udara. Oleh karena itu, pimpinan memilih rute melalui kali Digul. Mereka sewa dua kapal dari NNGPM untuk membawa barang dari Tanah Merah sejauh mungkin ke hulu sungai; dari sana, transportasi ke lembah Sibil akan dilakukan dengan menggunakan helikopter.

Namun, untuk keadaan darurat, beberapa depot makanan dibangun sepanjang rute yang telah diikuti dari Mindiptana. Komisaris Oosterman memimpin pembangunan ini.

Sterrengebergte 2 Routes InPixio PSAI IND

Oosterman-1 - Joan Beltgens-L
Merauke. Dari kiri ke kanan: komisaris Oosterman, komisaris G.P.J. Beltgens, inspektur Von Ende.

 

3.
Kawagit

Komisaris Oosterman

Riwayat hidup

Felix Maria August (Flip) Oosterman lahir di Kota Radja (Banda Aceh) pada tanggal 11 Oktober 1899 sebagai anak seorang tentara KNIL. Ia mulai karirnya di kepolisian pada tahun 1920 dan bertugas di berbagai lokasi di Jawa dan Sumatera. Ia naik pangkat menjadi komisaris kelas 2. Selama Perang Dunia II, ia dikurung di kamp interniran Jepang Si Rengo-Rengo di Sumatera. Setelah perang, tempat tugas terakhirnya adalah Tandjung Pinang, ibu kota Kepulauan Riau di selat Singapura. Pada tahun 1950, ia kembali ke Belanda.

Urn-gvn-MUSE01-TPC-IC-I-D-119-large-L
Kamp Jepan di Si Rengo-Rengo di Sumatra, digambar oleh Derk Jan Dragt yang sebagai anak pernak dipenjarakan di situ. Kemudian dialah yang kemudian tolong bikin tempat-tempat turun darurat untuk helikopter di antara Mindiptana dan Sibil (lihat die atas).

Di sana, ia merasa tidak nyaman sama sekali, merindukan iklim tropis, dan pada tahun 1951, ia ke Papua. Tempat tugasnya di sana menjadi Merauke. Seringkali, ia mendampingi pejabat, ilmuwan, dokter, dan lainnya dalam patroli ke daerah Asmat yang pada saat itu belum sepenuhnya di bawah penguasaan Belanda. Bersama dengan pastor Duivenvoorde (1928-2011; menjadi uskup di Merauke 1972-2004) ia mengunjungi bagian hulu kali Eilanden dan menjelajahi sungai itu dengan cabang-cabangnya sejauh yang dapat dilayari (1960). Di Tiau dan sekitarnya pada tahun 2022 masih ada orang yang ingat namanya.
Tidak jauh sebelum penyerahan Papua kepada Republik Indonesia, ia kembali ke Belanda. Ia meninggal di Málaga (Spanyol) pada tanggal 14 November 1982.

Pengelola Gudang Ekspedisi

Sudah pada bulan Agustus 1956 sudah diputuskan bahwa Komisaris Oosterman akan menjadi kepala pangkalan utama dari ekspedisi dan mengelola stok persediaan. Sekarang, setelah ekspedisi memilih rute Digul, Oosterman dapat perintah dari residen Boendermaker untuk dulu mencari lokasi yang cocok untuk pangkalan yang diperlukan di hulu sungai Digul di dekat kampung Arup. HPB Tanah Merah, bapak Peters, minta dia untuk dalam musyawarah dengan Zending sekaligus menentukan suatu lokasi baru untuk kampung Arup, di mana nanti dapat dibangun pos Zending dan pos pemerintah.

Izin diberikan

Pada hari Senin, 1 Desember 1958, kapal Ichthus berlayar dari Tanah Merah naik kali Digul. Di atas kapal adalah, selain juragan dan anak kapal, komisaris Oosterman, pendeta Klamer, pendeta Van Benthem, dan seorang polisi. Pendeta Drost bersama guru Meijer minggu sebelumnya sudah berangkat ke Kouh; dari sana Drost bergabung dengan rombongan itu sedangkan Meijer tinggal di Kouh. Mereka bermalam di Yawo, sebuah kampung kecil sekitar di tengah-tengah antara Kouh dan Arup. Hari berikut sekitar jam 2 siang mereka tiba di bukit tinggi yang telah ditemukan oleh Drost dan Klamer pada bulan Agustus. Pada waktu itu, mereka belum tahu bahwa ekspedisi juga akan pakai tempat ini. Kali ini mereka sekali lagi mengamati bahwa bukit ini adalah satu-satunya tempat dalam jangkauan luas yang tetap kering.

1978 05 DJZ 20-018-L
Labirin kali dan sungai dekat Kawagit

Ketika mereka turun dari kapal dan memeriksa lokasi, ternyata bukit itu membentang lebih luas dari yang mereka perkirakan. Sebenarnya, tempat itu merupakan kompleks yang terdiri dari beberapa bukit. Oosterman menyimpulkan bahwa lokasi ini sangat cocok untuk membangun pangkalan helikopter dan gudang untuk ekspedisi. Itulah prioritas pertama bagi Oosterman. Tetapi untunglah, ternyata tempat itu cukup luas untuk jufa bisa menampung suatu kampung besar dengan bangunan pemerintah dan kompleks Zending. Oleh karena itu, ia memberi izin untuk kampung Arup pindah ke Kawagit.
Mereka tidak bermalam di tempat itu tetapi langsung pulang ke Tanah Merah. Di sana, disepakati dengan Bestir bahwa pada bulan Januari polisi bersama dengan masyarakat kampung Arup akan mulai tebang pohon-pohon di lokasi Kawagit itu. Oosterman dan Peters harap Zending pada saat itu juga langsung akan mulai menetap di sana. Klamer setuju sekali, ia tak sabar untuk akhirnya dapat mulai bekerja di sana. Dan kalau dia langsung ada di tempat ketika mereka akan mulai menebang kayu, ia bisa turut menentukan tempat di mana ia akan mendirikan rumahnya dan di mana rumah-rumah kampung nanti akan dibangun.

Rapat ZGK

Perubahan Rencana

Pada tanggal 15 Desember diadakan rapat ZGK pertama di Tanah Merah. Selama beberapa bulan terakhir, telah banyak dilakukan perbincangan, dan sekarang, dengan kehadiran Van Benthem, saatnya untuk merinci semuanya dan untuk mengambil beberapa keputusan. Terlebih lagi, karena sekarang ada rencana ekspedisi ke Pegunungan Bintang akan membangun pangkalan di Kawagit, dan Bestir juga mau membuka pos di sana.

Sampai sekarang, mereka pikir bahwa Arup harus menjadi pos pusat Zending. Dari sana, demikian pikiran mereka, pekerjaan Zending akan berkembang dan menyebar ke utara, dan melalui kali Kawo juga ke arah daerah orang Kombai. Klamer, Van Benthem dan misionaris berikutnya akan menetap di Kawagit setidaknya pada awalnya.
Namun, sekarang, mereka meninggalkan ide itu karena beberapa alasan. Pertama, ternyata kali Kawo tidak begitu cocok untuk digunakan sebagai pintu masuk daerah orang Kombai. Kedua, orang Kombai rupanya lebih mengarah ke Kouh daripada ke Arup. Dan ketiga, kalau Arup pindah ke Kawagit, letaknya masih lebih jauh lagi dari daerah Kombai. Oleh karena itu, rencana untuk membuka satu pos pusat untuk keseluruhan wilayah ini ditinggalkan. Sekarang ada rencana baru, sebagai berikut: Klamer akan ke Kawagit yang menjadi pos Zending untuk pekabaran Injil di daerah orang Wanggom, sedangkan Van Benthem akan membangun rumahnya di Kouh untuk dari sana akan bekerja di daerah Kombai.
Oleh karena itu, sekarang sangat mendesak gereja di Belanda segera kirim seorang guru untuk menemani pendeta Klamer di Kawagit.

Gewijzigd Beleid 1948-2

Pendidikan

Dalam Rencana Bersama untuk Pembangunan Kerja Zending di Wilayah Digul Bagian Atas yang disusun pada pertemuan itu, ditekankan bahwa penting gereja Belanda selain pendeta-pendeta mengutus guru-guru sekolah juga:

“Kami menganggap perlu bahwa di daerah-daerah di mana Injil diwartakan, pendidikan segera dimulai, dalam bahasa Belanda. Alasannya, agar penduduk daerah ini belajar membaca Firman Allah sendiri, dan juga memahami banyak konsep Alkitab yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa daerah.
Untuk mencapai hal ini, sangat penting bahwa segera pada waktu seorang misionaris mulai bekerja di suatu pos, seorang guru hadir, sehingga dengan memberikan “pendidikan peradaban,” dia dapat berkontribusi pada pembangunan pos Zending. Dia akan membangun gedung sekolah, menjajaki daerah, belajar bahasa, dan bergaul dengan penduduk yang masih takut-takut, sehingga setelah persiapan itu selesai, masyarakat dapat dengan percaya diri akan kirim anak-anak mereka ke sana. Dengan demikian itu sekaligus menjadi masa perkenalan untuk guru itu, sehingga habis itu dia bisa mulai dengan tugasnya.”

Pendidikan guru dan penginjil

Selain guru Belanda, diperlukan juga guru sekolah dan penginjil Papua. Oleh karena itu, rapat mengusulkan:

“Mulai bulan September 1959, memulai pelatihan 3 pemuda Papua dari Papua utara untuk fungsi ganda sebagai guru-agama (penginjil) dan guru-sekolah (guru sekolah dasar di kampung). Kami bermaksud untuk cari pemuda-pemuda ini dari utara, dari keluarga Kristen yang baik, dengan syarat bahwa mereka telah menyelesaikan pendidikan V.V.S. (enam tahun pendidikan dasar, termasuk Bahasa Belanda), telah menunjukkan keinginan untuk bekerja dalam pelayanan Zending, dan memiliki laporan dan kesaksian yang baik. Kami bermaksud untuk, setelah mendapatkan izin, menghubungi orang-orang Kristen positif dari Hollandia, termasuk Dr. F.C. Kamma, yang juga memberi saran ini kepada kami.”

Kesehatan

Dalam Rencana Sementara Pembangunan yang Drost dan Klamer susun pada 13 Agustus, masih mereka pikirkan pembangunan suatu rumah sakit sederhana dan pengutusan seorang dokter Zending. Karena dari pembahasan dengan dokter pemerintah (Bijkerk) dan Dinas Kesehatan di Hollandia sudah menjadi jelas bahwa mereka memang mendukung ide itu, tetapi menganggapnya terlalu dini, sekarang hal-hal itu tidak disebut lagi, tetapi kerja kesehatan masih dianggap penting sekali dalam rencana kerja mereka:

“Karena di antara penduduk wilayah Zending terdapat banyak penyakit, seperti frambusia, malaria, dan berbagai jenis infeksi, bantuan medis kepada orang yang kami sampaikan Injil perlu mendapat perhatian penuh, terlebih lagi karena dokter pemerintah di Tanah Merah tidak dapat secara teratur mengunjungi wilayah Zending kami karena luasnya wilayah kerjanya.”

Di Kawagit, Coby Klamer akan mengambil tanggung jawab atas aspek medis Zending, tetapi dia membutuhkan bantuan:

“Untuk melakukan patroli di daerah ini dan merawat pos-pos secara teratur, suatu saat nanti akan diperlukan seorang mantri. Untuk fungsi itu kami mau melibatkan seorang mantri Papua yang berhak.”

Mereka rasa kurang baik untuk Belanda mengutus perawat perempuan:

“Sementara ini, menurut pendapat kami, kurang baik Belanda mengutus perawat perempuan untuk pekerjaan medis di wilayah Zending, karena pada tahap awal ini di polik tidak akan ada cukup kerja untuk seorang perawat, sedangkan melakukan perjalanan di wilayah ini akan menjadi tugas yang terlalu berat bagi mereka.”

31459-L
Gereja Katolik di Tanah Merah
IMG 7287-L
Pastor Thieman dengan pastor Hendriks di depan pastori di Tanah Merah

Misi Rom Katolik

Penjelasan

Pastor Thieman pergi cuti ke Belanda pada bulan September dan digantikan oleh Pastor Hendriks. Hendriks telah bekerja di utara Mandobo sejak tahun 1957. (Lihat catatan no 1)

Sehari setelah pertemuan ZGK, Drost pergi mengunjungi dia. Thieman dan Drost tidak pernah membuat kesepakatan resmi tentang siapa yang akan bekerja di mana (lihat posting-28). Namun, Drost telah meyakinkannya bahwa dia sama sekali tidak berniat untuk bekerja di daerah Mandobo. Dia janji bahwa Zending akan tetap membatas kegiatannya pada sisi barat dan utara Digul. Tetapi sekarang mereka siap membuka pos Zending di tepi tenggara sungai itu, jadi di sisi tempat orang Mandobo tinggal. Drost insaf bahwa dia perlu menjelaskan kepada pastor apa sebabnya keputusan itu.

Hendriks sudah tahu sedikit tentang rencana Zending mau buka pos di Kawagit. HPB Peters sudah datang memberitahukan hal itu kepadanya, dan dia juga mengingatkannya tentang perjanjian lisan antara Drost dan Thieman bahwa Zending tidak akan menyeberang kali Digul.
HPB Peters berada dalam posisi sulit. Dia tahu bahwa hubungan antara misi Katolik dan Zending peka. Dia juga tahu bahwa Drost telah berjanji untuk tidak bekerja di sisi ini dari Digul, tetapi bahwa persetujuan itu tidak tertulis hitam di atas putih. Oleh karena itu dia melihat celah untuk memberi izin kepada Zending untuk memindahkan kampung Arup ke Kawagit. Tetapi sekaligus dia memberi tahu pastor tentang niat Zending ini. Dengan demikian, dia berusaha menjaga netralitas Bestir; biarkan Zending dan misi memecahkan masalah ini bersama-sama.

Drost menjelaskan kepada Hendriks bahwa rencana Zending untuk membuka pos di Kawagit sama sekali tidak berarti bahwa dia tidak akan mematuhi kesepakatan diam-diam untuk tidak menyeberangi kali Digul. Dia sama sekali tidak bermaksud untuk mulai bekerja di wilayah misi. Mereka hanya mau buka pos di Kawagit karena lokasi kampung Arup di muara Casuaris sering dibanjiri dan tidak ada tempat lain yang kering di sekitar.

IMG 7328-L-2
Pastor Hendriks MSC

Marah dan tersinggung

Pastor Hendriks tidak begitu yakin akan maksud baik pendeta Drost. Beberapa hari kemudian, dia menulis surat kepada uskup di Merauke:

“Untuk ekspedisi perlu dicari lokasi tempat turun darurat helikopter, dan Oosterman memilih Kawagit, dan pendeta itu cepat sekali ikut dia untuk pergi menetap di sana. Di tempat itu tidak ada kampung atau semacamnya, tetapi dia mau bahwa orang-orang dari seberang sungai pindah ke sini.”

Rupanya dia tidak tahu jalan peristiwa itu. Yaitu bahwa Drost sudah menemukan tempat ini pada bulan Agustus dan bahwa dia pada saat itu sudah ambil keputusan bahwa orang-orang Arup harus pindah ke sana, jauh sebelum ekspedisi ada rencana untuk bikin pangkalan di tempat itu. Berarti, bukan Drost yang mengikuti Oosterman, tetapi Oosterman yang mengikuti Drost! Komisarislah yang dengan terima kasih mempergunakan bukit yang ditemukan oleh Drost.

Hendriks merasa tersinggung dan marah:

“Sekarang pendeta datang tanya apakah saya ada keberatan: menurut saya itu pertanyaan yang cukup aneh! Dia janji sekali lagi bahwa sama sekali bukan maksudnya untuk masuk ke daerah Mandobo. Dia mula-mula berpikir untuk menempatkan seorang pendeta di pertemuan Tsaw dan Digul, tetapi menurut dia itu terlalu jauh untuk pengangkutan barang dan makanan ke sana. Baik sekali jika dia berpikir begitu, karena saya ingin segera pergi ke sana! Kali terakhir saya sudah cukup dekat. Saya ingin segera menduduki kampung-kampung yang menghadap ke Digul: sepertinya ada orang yang masih tinggal di rumah-rumah tinggi.”

Untuk itu, dia dengan cepat akan membutuhkan lebih banyak katekis. Dia baru saja terima dua orang yang akan dia tempatkan di Mitop dan Mainak, tetapi dia masih bisa menggunakan sekitar empat orang lagi.

Mitop terletak di kali Anggarap, Mainak terletak sedikit lebih ke selatan. Kedua tempat tersebut terletak sedikit lebih utara dibandingkan dengan Kouh, tetapi masih jauh dari Kawagit, apalagi dekat dengan pertemuan Digul dan Tsaw.

Tampaknya Drost juga memberi tahu dia tentang rencana lebih lanjut dari Zending:

“Zending sepertinya rencana mengembangkan kegiatannya secara besar-besaran: akan ada seorang pendeta keempat, seorang dokter, perawat, dan seorang guru Belanda lagi, kapal kedua akan datang dalam beberapa minggu, begitu juga dengan rumah-rumah prefab.”

Informasi itu sebagian sudah tidak cocok lagi setelah pertemuan zgk pada hari sebelumnya. Tampaknya Drost atau salah satu pekerja zending lainnya telah mengungkapkan sesuatu tentang rencana itu pada pertemuan sebelumnya.

Apa yang dia dengar membuat dia khawatir. Jika semuanya berjalan sesuai rencana itu, dia takut jangan sampai Mandobo nanti tertinggal dalam perkembangan, terjepit antara Muyu Katolik dan Kombai Protestan.

Misi dan Bestir

Misi menyampaikan keberatannya kepada Bestir, tetapi tidak dapat berbuat banyak.
Bestir pada saat itu memiliki masalah yang lebih besar: semua perhatian mereka tertuju pada ekspedisi yang akan datang.
Dan mungkin ada alasan lain lagi sehingga tidak terjadi apa-apa: dalam beberapa minggu terakhir bulan Desember terjadi pergantian kepemimpinan yang tidak terduga, ketika tepat sebelum Natal Peters dipindahkan ke Manokwari, dan diganti oleh seorang yang baru, Antonie Fanoy. (Lihat catatan-2)

 

4
Malam tahun baru

Expedisi

Belanda

Tanggal awal ekspedisi telah beberapa kali diundur. Akhir Desember, keputusan akhir diambil bahwa para ilmuwan akan mulai kerja di lembah Sibil pada April 1959. Lima tahun setelah keputusan untuk mengadakan ekspedisi itu, sekarang mereka berdiri di ambang mewujudkan rencana itu. Mulailah waktu yang sibuk dan yang juga sedikit menegangkan karena mereka sudah memilih rute yang baru yang belum dicoba.

Op Het Podium, In Het Midden Resident Boendermaker-L
Di tengah: residen Boendermaker, di paking kanan: Oosterman.

Merauke

Pada tanggal 30 Desember, residen Boendermaker di Merauke menulis surat kepada Gubernur Platteel. Dalam surat itu, dia bicarakan rencana ekspedisi yang diubah:

“Dari informasi yang saya terima dari Letnan Venema, kekurangan dana dalam anggaran ekspedisi Pegunungan Bintang telah menyebabkan perubahan cukup signifikan dalam cara mereka mau kirim barang ekspedisi ke Sibil. Tarif pesawat Twin-pioneer ternyata sangat tinggi sehingga jika mereka mau pakai pesawat itu, Yayasan masih harus mencari setidaknya seratus ribu gulden tambahan.” 

“Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk mendirikan depot utama di Arup, di hulu sungai Digul, sekitar di mana kali Casuaris bertemu dengan Digul. Di tempat itu, ada pos Zending (…) sehingga pengawasan permanen hadir. (…) Pengangkutan dari Tanah Merah ke Arup akan dilakukan dengan dua kapal Mappi yang dipinjam dari NNGPM.” 

Pada saat itu, belum ada pos Zending di Arup, tetapi kemungkinan besar dia akan menganggap bahwa pos itu akan direalisasikan bersamaan dengan awal aktivitas ekspedisi.

Tanah Merah

Antonie Fanoy (1926-2003) baru saja diangkat menjadi HPB di wilayah Boven-Digul. Waktu berangkat, HPB lama Peters taruh beberapa dosir yang sedang berjalan di mejanya.
Pertama, pembukaan bukit Kawagit di mana ekspedisi akan membangun suatu pangkalan. Hal itu harus diatur langsung pada bulan Januari.
Kemudian, ekspedisi itu sendiri. Kapal-kapal pantai akan membawa semua barang dan persediaan makanan ke Tanah Merah, dan dari sini semuanya harus diangkut dengan kapal-kapal Mappi ke Kawagit dengan tujuan ke Sibil. Komisaris Oosterman akan mengurus semuanya itu dan menangani penyortiran barang, tetapi sebagai HPB, Fanoy memiliki tanggung jawab besar terhadap kelancaran segala sesuatu.
Dosir berikut adalah pembukaan pos Bestir baru di Kawagit. Untuk itu, mungkin baik jika dalam waktu dekat dia pergi ke sana untuk melihat keadaan di daerah itu dengan mata sendiri. Mungkin ide bagus untuk melakukannya bersama dengan pendeta Zending dengan menggunakan kapalnya, kalau begitu dia bisa sekaligus berbicara dengan dia mengenai hubungan yang tegang antara misi dan Zending.
Banyak hal untuk dipikirkan, tetapi dia hampir tidak bisa berbicara dengan siapa pun mengenai semuanya itu: dia belum menikah.

Scan0029 - Fanoy - Tony Fanoy-L
Antonie Fanoy

Zending

Pandangan balik

Pada malam tahun baru 1958, Drost dan rekan-rekannya merenungkan tahun yang hampir berlalu dan yang penuh peristiwa. Hari suram meninggalnya Henny Meijer tertulis abadi dalam ingatan mereka semua. Bagi Jan Meijer sendiri, ini adalah waktu yang sulit: antara Natal dan pergantian tahun dia merayakan hari ulang tahunnya, dan tanpa Henny ini adalah hari yang berat sekali.
Tahun ini juga adalah tahun yang menegangkan dengan patroli ke daerah Kombai, mulainya pekabaran Injil di Kouh, dan kedatangan dua misionaris baru. Setahun yang lalu, mereka dua itu (Klamer dan Van Benthem) tidak pernah membayangkan bahwa mereka sekarang akan berada di Tanah Merah.

Meijer-A P22-2-L
Henny Meijer (1935-1958)

Klamer

Mereka berdiri di ambang ekspedisi. Kegiatannya tidak akan lewat mereka dengan diam-diam saja. Sampai baru-baru ini, semuanya masih jauh dari pemikiran mereka, tetapi sekarang semuanya tiba-tiba menjadi sangat dekat. Meskipun masih banyak hal yang belum jelas, Klamer sadar bahwa ekspedisi ini akan cukup berdampak pada awal pekerjaannya di Kawagit:

“Karena terdapat ketidaksepakatan antara ‘Kroonduif’ dan pimpinan ekspedisi ke Pegunungan Bintang, menurut HPB, ada kemungkinan bahwa semuanya akan diangkut dengan kapal ke Arup (yaitu Kawagit), dan dari sana diangkut dengan helikopter ke Oksibil di pegunungan. Karena itu, Arup mungkin akan mengalami perkembangan yang sangat cepat. Menurut HPB, ada kemungkinan besar bahwa tahun ini akan ada pos Bestir baru di Arup dengan satu atau lebih bangunan prefab aluminium dari pemerintah.”

Klamer sungguh-sungguh harap bahwa dia dapat menetap di sana secepat mungkin. Juga karena dia mau mencegah agar misi tidak secara tidak terduga mendahuluinya di sana.

Meijer-A P33-1-L
Pdt Drost dengan istrinya, sekitar 1958

Drost

Drost sangat membutuhkan waktu istirahat. Sudah hampir dua tahun dia berada di Tanah Merah, dan sejak dia berangkat dari Belanda pada 6 September 1956, dia sibuk terus menerus. Apalagi, dalam satu setengah tahun pertama, dia hampir harus memikirkan dan memutuskan segala sesuatu seorang diri. Beban itu sudah menjadi lebih ringan ketika akhir tahun 1957 Jan dan Henny Meijer tiba. Malam ini Drost sangat senang bahwa sekarang sudah ada sekelompok rekan sehingga mereka bisa berdiskusi dan memutuskan segala sesuatunya bersama-sama.
Dia lelah. Selama ini dia belum pernah berlibur, dan dampaknya jelas-jelas terasa. Pada bulan November, dia kena sakit stres:

“Beberapa waktu setelah kedatangan keluarga Van Benthem, saya sendiri benar-benar dalam keadaan bergalau: ketegangan, dan peristiwa-peristiwa, dengan semua tanggung jawab selama tahun lalu pasti memainkan peran di dalamnya. Pada suatu saat, saya tidak melihat jalan keluarnya lagi, dan saya merasa murung dan gundah gulana, dan sebagainya.”

Bersama dengan guru Meijer dia pergi patroli ke Kouh, dan itu sangat menolong. Sekarang pada malam tahun baru dia sudah merasa jauh lebih baik lagi. Tetapi dia sadar bahwa dia harus memperhatikan batasnya dengan baik:

“Salah satu kebutuhan yang paling mendesak dalam situasi saat ini tentu saja pengutusan seorang guru untuk Arup. Untuk guru dan istrinya itu – saya mengasumsikan bahwa guru itu sudah menikah – juga harus ada tempat tinggal. Nanti ketika rumah untuk pendeta Van Benthem di Kouh sudah siap dan mereka sudah pindah ke sana, akan ada ruang lagi di sini. Bagaimana kita bisa menampung guru itu, dan perawat-perawat? Dan bagaimana jika juga masih seorang misionaris lagi datang dari Belanda atau dari Kanada? Semuanya tidak bisa terjadi bersamaan. Dan kami semua berpendapat bahwa tidak baik untuk tambah bangunan baru lagi di Tanah Merah, karena kalau demikian kami akan terlalu banyak dialihkan dari pekerjaan utama kami. Kami ingin bekerja keras, tetapi kami juga harus dapat mengikuti tempo perkembangan.”

Jam menunjukkan pukul 12 malam. Tahun 1959 dimulai.

–//–

IMG 2029-L
Langit berwarda saat matahari terbenam di hutan Papua, menunggu hari yang baru

 

Catatan

  1. Di Tanah Merah, pastor-pastor berikut berturut-turut bekerja: Meuwese 1937-1946, Thieman 1952-1958, Hendriks 1957-1959, Huiskamp 1959-1961, Thieman 1961-1963, Geuskens 1963-1969, Van Mensfoort 1969-1970, Geuskens 1970-1978, Vergouwen 1978-1989.
  2. Frans H. Peters (1924-2008) bekerja sebagai pegawai pemerintah di Papua dari tahun 1952 hingga Oktober 1962. Dari tahun 1964 hingga 1984, ia bekerja di Kementerian Luar Negeri di Belanda. Setelah itu, ia menjadi duta besar di Kuala Lumpur, Malaysia.

Sumber

Arsip Nasional di Den Haag

  • Rapport betreffende een verkenningsvlucht boven het Sterrengebergte op 7 april 1956 (met Boendermaker, Schoorl en Mol); met verschillende kaarten. Archief Ministerie van Defensie: Strijdkrachten in Nederlands Nieuw-Guinea (1950-1962), toegang 2-13-115, Inventarisnummer 1680:

Perpustakaan Universitas Leiden

  • Koleksi J.W. Kroon, KITLV DH 1248
    Map 1
    1. Brief Boendermaker, Merauke 27 augustus 1956, aan de Controleur I te Mindiptana en de Controleur te Tanah-Merah, en aan CvP II F.M.A. Oosterman te Merauke
    Map 4
    1. Brief Venema, Wassenaar 11 augustus 1958 aan de Resident
    2. Brief Boendermaker, 30 december 1958 aan de waarnemend Gouverneur te Hollandia
    3. Krantenknipsel: N.-Guinea-expeditie start 1 april
    Map 20
    1. Memo Boendermaker dd 10 juli 1957, berichtgeving Sterrengebergte
    2. “Drie Kroonduiven vliegen naar Nieuw-Guinea”; pg 5 uit getypt document.

Pusat Arsip dan Dokumentasi Gereja-Gereja Reformed di Belanda (ADC)

  • Benthem, J. van, laporan-laporan. Dalam Zendingsarchief, Archiefnummer 78, doos 14.
  • Drost, M.K., laporan-laporan. Dalam Archief Zending Enschede, archiefnummer 78, doos 56.
  • Klamer, J., laporan-laporan. Dalam Archief zendende Kerk Spakenburg-Zuid, archiefnummer 154, doos 10.
  • Meijer, J.W., laporan-laporan. Dalam Archief Vereniging Mesoz, archiefnummer 253, doos 5.

Erfgoedcentrum Nederlands Kloosterleven, Arsip Missionarissen van het H. Hart (Misionaris Hati Kudus)

  • Hendriks, C. (MSC), brief aan confrater, Tanah Merah 19 december 1958. Inv. 6415-B

Buku / Publikasi

  • Baal, J. van, Mensen in verandering. Ontstaan en groei van een nieuwe cultuur in ontwikkelingslanden. Amsterdam 1967.
  • Boelaars, J. Met Papoea’s samen op weg, deel 2, Kampen 1995.
  • Brongersma, L.D., Expeditie naar het Sterrengebergte. In: Nederlands Nieuw-Guinea – Tweemaandelijks orgaan van de Stichting “Het nationaal Nieuw-Guinee Comite”, 6e jaargang no. 4, juli 1958.
  • Brongersma, dr. L.D. en G.F. Venema, Het witte hart van Nieuw-Guinea. Met de Nederlandse expeditie naar het Sterrengebergte. Amsterdam 1960 (2e druk)
  • Dasselaar, Gerrit, Expeditie Sterrengebergte 1959 – De doorsteek van de Sibilvallei naar Hollandia, in: Pim Schoorl (red.), Besturen in Nederlands-Nieuw-Guinea 1945-1962 – Ontwikkelingswerk in een periode van politieke onrust, Leiden 1996, pg. 309-341.
  • Dasselaar, Gerrit, Expeditie Sterrengebergte 1959. Afscheid van een tijdperk. Soest 2022
  • Brandenburg van den Gronden, Ferry, Expeditie Sterrengebergte – herinneringen van een marinier aan ‘de groene hel’ van Nederlands Nieuw-Guinea. Zoetermeer 2015.
  • Graaf, Gerrit Roelof de, De wereld wordt omgekeerd. (Dissertatie) 2012
  • Helders, Yontie, Nol Hermans (1933) blik terug op een leven lang in buitenlandse dienst: “Het is mooi en boeiend geweest”. Website van de Nieuwe Utrechtse Krant, 24 augustus 2020 (https://denuk.nl/nol-hermans-1933-blikt-terug-op-een-leven-lang-buitenlandse-dienst-het-mooi-en-boeiend-geweest/).
  • Helders, Yontie, Bij het overlijden van Nol Hermans (1933-2020). Wesite van de Nieuwe Utrechtse Krant, 7 november 2020 (https://denuk.nl/bij-het-overlijden-van-nol-hermans-1933-2020/).
  • Hermans, Nol, De aanleg van het vliegveld in de Sibilvallei in het ‘witte hart van Nieuw-Guinea’, in: Pim Schoorl (red.), Besturen in Nederlands-Nieuw-Guinea 1945-1962 – Ontwikkelingswerk in een periode van politieke onrust, Leiden 1996, pg 287-307.
  • Hylkema, S. (o.f.m.), Mannen in het draagnet. Mens- en wereldbeeld van de Nalum (Sterrengebergte). In: Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, no. 67, ’s-Gravenhage 1974.
  • Klamer, J., In het land van de Papoea’s. Serie artikelen in het Gereformeerd Gezinsblad, …
  • Laumans, Theo, Nol Hermans – bestuursambtenaar in Nederlands Nieuw-Guinea. Website West-Papua, Utrecht, 4 november 2020 (http://www.west-papua.nl/Bezoekersbijdragen/Profielen/NolHermans.html).
  • Schoorl, J.W., Wetenschappelijke expeditie naar het Sterrengebergte. In: Nieuw Guinea Studiën, jg.2 nr. 1, januari 1958.
  • Schoorl, J.W. (Pim), De controleur BB als een agent van ontwikkeling op Nieuw-Guinea, in: Pim Schoorl (red.), Besturen in Nederlands-Nieuw-Guinea 1945-1962 – Ontwikkelingswerk in een periode van politieke onrust, Leiden 1996, pg. 7-40.
  • Schoorl, J.W. (Pim), De overval op Ihjan, de noordelijkste kampong in bestuurd Muyugebied, in: Pim Schoorl (red.), Besturen in Nederlands-Nieuw-Guinea 1945-1962 – Ontwikkelingswerk in een periode van politieke onrust, Leiden 1996, pg. 253-286.
  • Sneep, Jan, Einde van het stenen tijdperk. Bestuursambtenaar in het witte hart van Nieuw-Guinea. Amsterdam 2005.
  • Venema, G.F., Luchtvaart en Exploratie in Ned. Nieuw Guinea. In: Nederlands Nieuw-Guinea – Tweemaandelijks orgaan van de Stichting “Het nationaal Nieuw-Guinee Comite”, 6e jaargang no. 1, januari 1958.
  • Venema, G.F., Enkele technische aspecten van de wetenschappelijke expeditie 1959 naar het Sterrengebergte. In: Nederlands Nieuw-Guinea – Tweemaandelijks orgaan van de Stichting “Het nationaal Nieuw-Guinee Comite”, 8e jaargang no. 4, juli 1960.
  • Venema, G.F., Enkele technische aspecten van de wetenschappelijke expeditie 1959 naar het Sterrengebergte (II). In: Nederlands Nieuw-Guinea – Tweemaandelijks orgaan van de Stichting “Het nationaal Nieuw-Guinee Comite”, 8e jaargang no. 5, september 1960.

Internet

  • https://www.npostart.nl/sterrengebergte/28-10-2003/POMS_VPRO_215163 (Andere tijden, 28 oktober 2003)

Sumber yang tidak dipublikasikan

  • Hermans, A.A.M., Herinneringen van een bestuursambtenaar in Nieuw Guinea 1954-1958 en 1962. Utrecht 2012
  • Klamer, J., Mijn levensverhaal, 1 (voorlopige uitgave voor intern gebruik), Zwolle 2009.
  • Hermans, correspondentie 1956-1958, familiearchief Hermans

Nara sumber di Papua

  • Ferdinan Kurufe; rekaman pada tanggal 5 Nopember 2022 di Tanah Merah
  • Aram Kurufe, anak dari Yawuno Kurufe dan Wakhuno Dedemu; rekaman pada tanggal 5 Nopember 2022 di Tanah Merah

Nara sumber di Belanda

  • Beltgens, Beltgens
  • Laumans, Theo
  • Lottum, Luuk van
  • Oosterman, Inge
Kawagit 2023
Kawagit dilihat dari angkasa (Satelites.pro), 2023

–//–