28 – Dua dunia terbentur

Tanah Merah 006-Lb

Pertemuan Drost dan Thieman:
Dua dunia terbentur

Pembagian

  1. Setelah kunjungan Drost ke Tanah Merah
  2. Pertemuan pertama
  3. Pertemuan kedua
  4. Uskup Tillemans
  5. Permulaan kegiatan zending
  6. Pertemuan ketiga
  7. Cerita yang diteruskan secara lisan
  8. Misi, zending, dan Bestuur
  9. Uskup di Kerux
    Not kaki
    Sumber

 

1. Setelah kunjungan Drost ke Tanah Merah.

 

Tanah Tinggi

Tak perlu dikatakan bahwa setelah kunjungan orientasinya di Tanah Merah, pdt. Drost hanya memiliki pengetahuan global tentang wilayah itu. Kunjungannya adalah perkenalan pertama pdt Drost dengan pedalaman Papua, dan dia bepergian naik pesawat terbang. Ia memang mengerti bahwa dia akan membutuhkan suatu kapal kalau dia mau bekerja di kawasan kali Kasuari. Tapi dia belum sadar akan akibat-akibat air kering atau air banjir. Hal-hal seperti itu dia baru akan belajar ketika dia sendiri naik kali Digul dengan kapal Ichthus.

Dia hampir tidak tahu juga apa yang akan dia temukan di sepanjang kali Digul. Dia tahu tentang Tanah Tinggi, dan pernah dengar mengenai kampung Mariam. Tetapi lebih dari itu dia belum tahu. Dia sudah dengar bahwa perjalanan dari Tanah Merah ke kali Kasuari makan waktu dua hari dengan motor. Informasi itu merupakan salah satu alasan pdt Drost mempertimbangkan apakah mungkin lebih baik dia menetap di Tanah Tinggi daripada di Tanah Merah. Di sana dia berada 30 kilo lebih dekat ke daerah yang ingin dia kerjakan. Dan di Tanah Merah dia tidak ada urusan apa-apa.

IPhone-IMG 0434-L
Tanah Tinggi pada tahun 2017. Tidak ada kampung, hanya gedung peringatan akan tempat pembuangan tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia.

Digul TM-Casuaris-k

Boendermaker

Dalam perjalanannya kembali ke Hollandia (kini Jayapura), pendeta Drost bermalam di Merauke. Di bandara ia bertemu dengan residen Boendermaker, yang pada malam hari itu menerimanya dengan ramah di rumah pribadinya.

Drost meminta pendapatnya tentang ide untuk menetap di Tanah Tinggi. Menurut Boendermaker itu ide yang kurang baik, dan dengan berbagai argumen dia menjelaskan alasannya. Menurut dia, jauh lebih baik menggunakan Tanah Merah sebagai pangkalan. Di sana ada koneksi reguler dengan Merauke dengan kapal sungai, dan tiap dua minggu ada hubungan pesawat udara ke Merauke dan Hollandia. Ada toko yang memasarkan kebutuhan dasar. Hampir selalu ada persediaan bahan bakar yang cukup. Ada dokter dan rumah sakit. Semua fasilitas itu tidak ada di Tanah Tinggi. Mendirikan rumah juga akan jauh lebih mudah di Tanah Merah dari pada di Tanah Tinggi. Selain itu, di Tanah Merah pendeta Drost juga bisa berarti bagi orang Protestan yang ada di situ. Mendengar semuanya itu, Drost membiarkan dirinya yakin bahwa Tanah Tinggi bukanlah pilihan yang baik.

Mungkin ada hal lain yang berperan di latar belakang saran Boendermaker. Tanah Tinggi adalah tempat asal Pengkor dan mungkin juga dari beberapa anggota gengnya yang telah membuat takut penduduk wilayah itu. Mereka memang sudah ditangkap dan menjalani hukuman, tetapi bagaimana mentalitas orang-orang di sana? Tempat itu memiliki reputasi buruk. Selama 30 tahun sejak Tanah Tinggi didirikan sebagai pengasingan bagi orang-orang buangan yang di Tanah Merah ternyata nonkooperatif[1], Bestuur (pemerintah Belanda) dengan sengaja mengabaikan orang Papua yang hidup di hutan di sekeliling tempat itu. Tidak mengherankan bahwa orang-orang di situ tampaknya tidak terlalu suka kepada Bestuur. Tanah Tinggi tentu bukan tempat yang bagus untuk menetap bersama dengan istri dan anak-anak kecil.

NA maart 1960 Hollandia_Nieuw_Guinea._2e_Conferentie_van_de_vertegenwoordigers_van_de_beide_de,_Bestanddeelnr_911-0853 - Fotocollectie Algemeen Nederlands Fotopersbureau (ANEFO)-L
A. Boendermaker, Residen Zuid Nieuw-Guinea (bagian selatan Papua) 1956-1959.

Tanah Merah

Kembali ke Hollandia, Drost mengusulkan kepada gereja di Enschede untuk memilih Tanah Merah sebagai pangkalan. Setelah Enschede setuju, ia segera mulai mengatur perumahan dan perpindahan keluarganya. Di Belanda, gereja melancarkan kampanye untuk pembelian kapal yang akan dibutuhkan Drost.

Karena dia jatuh sakit dan istrinya melahirkan anak, semuanya makan waktu lebih lama dari yang dia harapkan. Tetapi pada akhir bulan Maret 1958 pdt Drost sendiri sudah berangkat ke Tanah Merah; keluarganya akan mengikuti ketika rumah di Tanah Merah selesai.

IMG 7291-L-2
Pastor Thieman.

Thieman

Sementara itu pastor Thieman juga tidak berpangku kaki. Dia tidak dapat dukungan dari uskupnya, tetapi itu tidak berarti bahwa dia menyerah. Bagi dia sekarang menjadi prioritas utama untuk menempatkan pelopor di Tanah Tinggi dan di Mariam.

Pertama, dia pergi ke Magbo untuk berbicara dengan pelopor yang bekerja di situ. Dia bertanya kepadanya apakah dia bersedia untuk pindah ke Tanah Tinggi. Pada awalnya dia tidak mau, tetapi akhirnya dia setuju untuk pergi bekerja di sana “untuk sementara waktu”.

Kemudian Thieman membuat kunjungan ke Mariam dan ke Ranugut. Paling bagus kalau dua kampung kecil itu menyatu dengan Tanah Tinggi menjadi satu desa. Tapi kalau tidak bisa, setidaknya Mariam dan Ranugut harus bergabung. Tapi tujuannya itu gagal: orang di kedua kampung itu tidak mau. Lagi pula, saat itu dia juga belum dapat seorang pelopor yang siap untuk pergi menetap di salah satu dari kedua tempat itu.

IMG 7106-L
Jalanan dari lapangan terbang menuju ke kota Tanah Merah; rumah-rumah di kejauhan adalah kompleks misi. Ini juga jalanan dari kompleks zending ke rumah-rumah Misi.

2. Pertemuan pertama

 

Thieman

Pada hari kedua setelah dia tiba di Tanah Merah, Drost mengunjungi pastor Thieman. Ternyata adalah penting bagi dia untuk segera berkenalan dengan teman sekerja Katolik itu. Dia sangat menghargai hubungan yang baik dengan Thieman, dan dari awalnya dia ingin menghindari kesalahpahaman bahwa dia bermaksud untuk bekerja di Tanah Merah.

Dengan demikian kedua tokoh itu bertemu pada hari Kamis tanggal 4 April 1957. Yang satu sudah berpengalaman 25 tahun lebih di Papua, yang lain seorang baru dari Belanda. Mereka juga sangat berbeda usia: pendeta Drost 20 tahun lebih muda dari pastor Thieman. Keduanya adalah pribadi yang mempunyai sifat yang menyenangkan. Mengenai Thieman hal itu sudah menjadi jelas dalam cerita sebelumnya. Drost adalah seorang yang murah senyum, menyenangkan, penuh kasih sayang dan tulus. Sebagai misionaris, mereka masing-masing kuat merasa terpanggil oleh Tuhan.

Pasti mereka menganggap pertemuan ini menegangkan. Apa niat pendeta itu? Seberapa tangguh pastor itu? Setelah pembicaraan, kedua belah pihak harus mengakui bahwa sama sekali tidak ada masalah. Mereka dua menganggap teman bicara itu lumayan. Malam itu pastor Thieman menulis dalam buku hariannya:

“Pendeta telah berkunjung kepada saya: berkenalan dan menjelaskan maksudnya. Drost adalah seorang yang menyenangkan. Ia ditugaskan untuk bekerja di daerah yang belum dibuka. Dia pikir daerah kali Kasuari cocok untuk dia, serta daerah yang lebih ke atas lagi. Dia belum tahu bahwa saya sudah pernah ke situ. Dia tidak merencanakan Mappi. Dia minta untuk menggambar garis pemisah agar kami berdua bisa bekerja dengan tenang.

Saya sudah janji untuk membahas hal itu dengan Mgr [sebutan kehormatan untuk seorang uskup, dalam hal ini uskup Tillemans di Merauke]. Dia tidak berniat melibatkan Tanah Merah dan sekitarnya dalam pekerjaannya. Hanya membutuhkan pangkalan untuk bekerja di kali Kasuari dan sekitarnya. Akan datang seorang guru, tetapi dia datang untuk kali Kasuari. Dalam jangka waktu lama dia ada rencana untuk sekolah asrama, tetapi anak-anak dari daerah kali Kasuari.”

 

Drost

Drost sama sekali tidak menyebut pertemuan ini dalam suratnya kepada Enschede. Rupanya hal itu tidak menjadi beban pikirannya. Dia hanya peduli tentang hubungan yang baik. Dan dalam hal itu dia sudah ditenangkan, seperti nyata dalam tulisannya akhir bulan itu:

“Saya pasti tidak akan dapat masalah dengan pastor di sini, yang bekerja di utara.[2] Dia hanya menginginkan hubungan yang baik. Misi saat ini memiliki terlalu sedikit kapal dan sarana transportasi untuk memperlengkapi semua pos di selatan.”

Walaupun begitu dia jelas rasa curiga terhadap kaum Katolik Roma pada umumnya, karena dia melanjutkan:

“Namun demikian, saya ingat pepatah yang berbunyi: ‘Ketika rubah[3] mengabarkan damai – petani, awasi ayammu’.”

Pepatah Belanda ini berarti bahwa, jikalau seorang penjahat berpura-pura saleh, kita sebaiknya berhati-hati! Jangan terbuai tidur dengan pembicaraannya yang manis selama masih ada bahaya.

Dalam hal itu dia ternyata belum mengenal Thieman, karena andaikata dia mengenalnya, dia akan tahu bahwa dengan orang ini dia tidak perlu takut ada agenda rahasia atau lelucon licik.

Ketidakpercayaan itu timbal balik. Selama bertahun-tahun, Thieman telah mengalami begitu banyak dengan dorongan misionaris Protestan sehingga dia belum sepenuhnya diyakinkan.

Digul Mappi IND

3. Pertemuan kedua

 

Batas arus air kali Kasuari?

Bulan berikut uskup Tillemans selama satu minggu menginap di rumah pastor Thieman di Tanah Merah (14-21 Mei). Dia biasa mengunjungi setiap pos Misi sekurang-kurangnya setahun sekali. Sepertinya ini adalah kunjungan rutin seperti itu. Dia tidak datang khusus untuk menangani situasi yang muncul karena kedatangan zending.

Pada hari pertama Tillemans dan Thieman sudah mengadakan rapat kerja. Setelah itu, Thieman mencatat dalam buku hariannya pokok-pokok mana yang mereka telah bicarakan. Uskup sudah menyampaikan kepadanya bahwa akan ada pastor kedua untuk wilayah ini, terutama untuk daerah Mandobo utara. Mereka membicarakan sekolah di Tanah Merah yang mungkin akan diberi status lebih tinggi. Selanjutnya, uskup janji bahwa Thieman akan mendapatkan tiga orang pelopor untuk ditempatkan di wilayahnya. Lagipula mereka berbicara tentang tanah kompleks Misi di Tanah Merah, tentang rumah baru untuk para biarawati, tentang perluasan gedung gereja, dan tentang produksi batu-batu semen. Hanya di bagian paling akhir Thieman mencatat:

“Zending: mereka garis pemisah sementara. Batas arus air kali Kasuari di sebelah sini dan kali Digul Timur.”

Rupanya dia tidak menantikan masalah besar dengan zending mengenai hal ini, karena pendeta Drost sendiri yang telah meminta garis pemisah. Ini menjadi proposalnya.

Kami tidak dengar apakah Drost pernah bertemu dengan uskup dalam minggu itu. Mungkin saja tidak: Drost sibuk membangun rumahnya, dan kompleks zending berada di luar kompleks perumahan Tanah Merah dan terletak di sebuah jalan buntu. Selama minggu itu, uskup pasti hampir terus berada di kompleks Misi.

 

Batas danau Mappi?

Seminggu setelah uskup pergi, kita membaca dalam buku harian pastor Thieman:

“Pendeta berharap garis pemisah danau Mappi.”

Apakah dia telah bertemu dengan Drost di tengah jalan ? Apakah Thieman sudah mengunjungi dia? Catatan itu terlalu singkat, dan tidak ada keterangan tambahan.

Baru sebulan kemudian, pada hari Kamis tanggal 4 Juli, kita membaca tentang suatu percakapan di buku hariannya:

“Sudah berkunjung kepada pendeta. Seiring waktu, ia ingin menempatkan 2 pendeta: satu di antara kali Kasuari dan kali Digul, dan satu lagi antara danau Mappi dan kali Kasuari. Wilayah yang terakhir ini saya ingin mempertahankan untuk diriku sendiri. Saya akan segera pergi ke sana untuk memeriksanya.”

 

Tidak tercapai kesepakatan

Jadi sepertinya tidak mudah untuk mencapai kesepakatan. Tetapi kali ini juga, Drost tidak tulis satu kata pun tentang hal itu dalam laporannya. Rupanya tidak ada yang disepakati secara definitif, karena jika demikian, dia pasti akan melaporkannya ke Enschede. Selain itu, dia tidak menganggapnya terlalu serius. Dia telah mengerti dari kenalannya di lingkaran Bestuur bahwa Misi tidak mampu bergerak di daerah itu.

Beberapa hari kemudian pastor Thieman berangkat untuk berpatroli ke daerah kali Manggono. Selain sebagai penjelajahan, tampaknya patroli ini juga dimaksudkan untuk dengan jelas menegaskan klaim Misi atas daerah tersebut. Dalam percakapan pertama dengan Drost, dia juga menggunakan patroli sebelumnya ke kali Kasuari pada tahun 1953 sebagai argumen bahwa daerah itu sebenarnya sudah milik Misi.

Patroli ke kali Mappi dan Manggono itu berlangsung selama tiga minggu. Para hari Rabu tanggal 31 Juli Thieman kembali di Tanah Merah.

IMG 7331-L
Uskup Herman Tillemans.

4. Tillemans

 

Kritik

Sementara itu, Uskup Tillemans telah berangkat ke Belanda. Dalam pidatonya di kota Nijmegen pada tanggal 30 Juli, dia mengecam pemerintah Belanda di Papua. Dia menandakan suatu bahaya serius, yang bisa menghancurkan pekerjaan Misi yang sudah berlangsung selama 50 tahun. Surat kabar mengutip dari ceritanya:

“Meskipun kami mempunyai idealisme yang diperlukan dan niat baik yang cukup, kami tidak dapat memenangkan pantai selatan Papua untuk agama Katolik Roma karena jumlah imam tidak cukup di sini. Tempat-tampat kosong di pantai selatan akan ditempati oleh orang-orang non-Katolik. Pemerintah Amerika akan segera jauh lebih maju dibandingkan dengan Misi kami, karena orang di Amerika ada banyak perhatian terhadap suku-suku Papua. Perusahaan-perusahaan besar dari Amerika menyumbang uang banyak kepada zending. Situasi Misi kami itu menjadi gawat. Dibutuhkan bantuan dalam waktu yang singkat.”

Kritik uskup terutama berfokus pada kebijakan pendidikan. Dia menyebutnya picik bahwa pemerintah terus mengekang pendidikan untuk orang Papua:

“Sementara masyarakat sedang bangkit dan banyak perspektif terbuka, pendidikan untuk anak-anak Papua tidak dapat berkembang dengan memadai.”

Reaksi Drost cukup keras:

“Rentetan kata tajam dari Monsinyur dari Merauke, yang dia luncurkan di Belanda terhadap Bestuur di sini, tidak benar, apalagi kejam. Seluruh kesalahan di pihak gereja Katolik adalah bahwa mereka memasukkan terlalu sedikit uang ke dalamnya dan ingin melakukan segalanya dengan biaya pemerintah.”

 

Aksi pengumpulan dana

Pada tanggal 17 Oktober, Tillemans meluncurkan kampanye untuk mengumpulkan dana dengan tujuan supaya Misi dapat menempatkan lebih banyak pelopor di pedalaman Papua. Katanya, orang Katolik di Belanda harus membantu sesama manusia di Papua. Misi memiliki sekitar 200 pelopor, yang ditempatkan di kampung-kampung yang baru dibuka. Mereka itu hanya membawa seikat pakaian dan memperoleh upah bulanan yang sangat sederhana. Jumlah itu sangat perlu ditingkatkan, paparTillemans, karena ada bahaya dari badan-badan pekabaran Injil dari Amerika, yang ingin membawa segala jenis agama Kristen ke Papua:

“Sungguh menyedihkan bahwa sebidang tanah, yang memiliki populasi padat menurut standar Papua dan juga mudah diakses, sampai sekarang masih mengikuti hukum adatnya sendiri di bidang pembunuhan manusia dan kanibalisme. Misi telah mulai bekerja di sana, meskipun sebenarnya tidak memiliki tenaga cukup untuk itu, apalagi modal yang diperlukan untuk membiayai pekerjaan Misi itu. Misi memang tidak ada pilihan lain, karena daerah ini harus dilindungi dari invasi misionaris Amerika.

Amerika cenderung selalu lemah lembut terhadap Papua untuk menyebarkan segala macam bentuk Kekristenan di sana. Kenyataan bahwa di Papua terus menerus suku-suku baru ditemukan telah begitu menggerakkan orang Amerika sehingga mereka berupaya sedapat-dapatnya untuk menembus ke mana-mana. Mereka melakukan hal itu dengan cara khas Amerika. Mereka menembus ke pedalaman Papua dengan perahu motor atau pesawat, dilengkapi dengan rumah-rumah prefab, gramofon dan lemari es, dan dikalungkan dengan kamera foto dan peralatan film. (…) Kita harus menepati janji kita dan memastikan bahwa orang Papua akan dididik dengan cara Katolik.”

Rencana adopsi pertama (1.500 gulden per tahun untuk sebuah kampung) mencakup 200 kampung, tetapi jika kampanye itu berhasil, Tillemans mau kumpul dana untuk 500 kampung.

 

Invasi misionaris protestan

Memang benar bahwa sekitar tahun-tahun itu ada beberapa badan misi dari Amerika dan Australia yang mulai bekerja di Papua.

  • Sekelompok dari CAMA[4] turun dengan pesawat air di kali Baliem pada tanggal 20 April 1954; di antara mereka adalah ahli bahasa Myron Bromley. Dipimpin oleh Lloyd Van Stone mereka buka pos zending di Hetegima.[5]
  • UFM[6] dari Australia, yang sudah aktif di Papua sejak 1950, pada tahun 1956 membuka pos zending di Bokondini. Setahun kemudian UFM dari Amerika melakukan hal yang sama di Wolo.
  • ABMS[7] mulai di Tiom pada tahun 1956 dan juga membuka pos di Magi.
  • Setahun kemudian, RBMU[8] mulai pos zending di Karubaga di Lembah Swart (yang menjadi salah satu pilihan bagi pendeta Drost ketika pada tahun 1956 dia sedang mencari lokasi untuk zending).
  • Semua hal itu dimungkinkan berkat pelayanan MAF[9], yang mulai dari tahun 1954 terbang di Papua untuk badan-badan zending.

Semua tempat yang disebut di atas ini terletak di pegunungan Papua. Kegiatan-kegiatan itu tidak terlalu mengganggu Tillemans, karena wilayah-wilayah itu tidak termasuk keuskupannya.

Tetapi ketika TEAM[9b], yang sebelumnya sudah bekerja di wilayah Kepala Burung, pada bulan Maret 1955 memperluas kegiatannya ke pantai selatan Papua, Tillemans sendiri pun harus menghadapi masalah itu. Pada tahun itu, Harold Lovestrand dan Charles Preston melakukan survei di daerah Asmat, dan bulan Pebruari tahun berikut mereka membuka pos zending di Ayam (Calvin Roesler) dan di Agats (Charles Preston dan Bob Frazier).

1958 Dakota-L
1958, pendeta Drost tiba di Tanah Merah.

Zending dari Belanda

Jadi, juga di wilayah keuskupan Tillemans baru-baru sudah masuk suatu badan zending Amerika. Tetapi bukan hanya orang Amerika saja yang datang bekerja di daerah ‘kosong’. Apa sebabnya Tillemans tidak berbicara mengenai kedatangan suatu badan zending dari Belanda di wilayahnya sendiri? Apakah dia tidak menyebutkannya karena alasan taktis? Aksi pengumpulan dana yang dilakukannya tidak dapat dilihat secara terpisah dari teriakan minta tolong dari Thieman. Aksinya itu juga merupakan upaya untuk memberi keleluasan kepada pastor Tanah Merah supaya dia dapat menempatkan pelopor di lebih banyak tempat dan dengan demikian semakin mempersempit wilayah di mana zending bisa bekerja. Wajarlah kalau Drost waspada terhadap tindakan lebih lanjut dari pihak Misi untuk merintangi rencananya.

Apperloo 00-043-L
1958. Kapal Ichthus berlabu di Kouh, Drost sedang mandi di kali Digul.

5. Permulaan kegiatan zending

 

Perjalanan-perjalanan pertama dengan kapal Ichthus.

 

Perjalanan pertama

Sementara itu kapal zending Ichthus telah tiba di Tanah Merah. Pada hari Rabu tanggal 4 September Drost untuk pertama kalinya naik kali Digul. Pada hari kedua ia tiba di kampung baru Kouwage (kini: Kouh).

“Jadi inilah kampung pertama di wilayah zending kami. Tiga kampung di bawah Kouwage – yaitu Tanah Tinggi, Mariam dan Ranugut – berada dalam batas pengaruh Misi. Itu sebabnya saya pikir saya akan memulai gegiatan zending di Kouwage.”

Sangat jelas elas bahwa dia betul-betul tidak mau bekerja di kampung-kampung di mana Misi sudah aktif. Memang itu juga akan bertentangan dengan instruksinya, karena gereja Enschede sudah menugaskan pendeta Drost untuk mencari lapangan kerja yang masih perawan.

Kampung Kouh pada saat itu baru saja pindah dari lokasi lama yang sedikit lebih jauh ke hilir. Orang masih sedang membangun rumah-rumah. Pada bulan Juli kampung itu berpenduduk 59 orang.

 

Perjalanan kedua

Sebulan kemudian, pada hari Jumat tanggal 25 Oktober, dia naik untuk kedua kalinya. Air di Digul rendah sekali sehingga makan waktu tiga malam untuk sampai ke Kouh (pertama di Mariam, dan kemudian di sebuah rumah di tikungan terakhir sebelum Kouh, tempat mereka menghabiskan hari Minggu). Air di kali terlalu kering untuk melanjutkan perjalanan ke atas.

“Tapi itu tidak apa-apa. Saya sekarang dapat kesempatan untuk memberikan perhatian lebih terhadap kampung ini – yang pertama di wilayah kami – daripada yang saya bisa buat pada kunjungan yang pertama.”

 

Kouh

Kedua kali itu Drost tanpa syarat apa pun berbicara mengenai “wilayah (zending) kami.” Rupanya bahwa menurut dia sama sekali tidak ada diskusi tentang hal itu. Dia tidak pernah sebut bahwa dia masih perlu mencapai persepakatan dengan pastor Thieman dulu mengenai pembagian wilayah. Dia masuk kampung Kouh secara terbuka, tanpa malu, dan bukan secara diam-diam. Dia sama sekali tidak sadar salah apa pun.

Meijer-A P02-1-L
Bapak guru Meijer dengan istrinya yang pertama, waktu berangkat dari Belanda ke Papua, 1958.

Guru Meijer tiba

Pada pertengahan bulan Desember guru Meijer dengan istrinya tiba di Tanah Merah. Tentu saja Drost membicarakan hasil kedua patroli dengan Ichthus itu secara panjang lebar dengan mereka. Dari percakapan ini segera menjadi jelas bahwa Kouh mungkin bisa menjadi titik awal untuk kegiatan zending. Kampung itu memang masih sangat muda dan kecil, tetapi orang-orang di sana ramah, mereka sudah tahu Bestuur, dan tergantung pada keadaan air di kali Digul, dari Tanah Merah kampung itu bisa dicapai dalam waktu satu hari. Lagi pula lokasi itu semacam titik temu empat suku, yaitu Jair, Kombai, Wanggom, dan Mandobo.

 

Kunjungan ketiga ke Kouh

Tahun1958 mulai dengan patroli Bestuur melintasi daerah suku Kombai. Pendeta Drost ikut sebagai tamu. Itu pertama kalinya dia masuk hutan. Patroli itu mulai di Kouh.

“Kouhwage adalah kampung yang agak baru, yang baru masuk daerah yang dikuasai oleh Bestuur sejak awal 1957. Kami bertempat tinggal di pasangrahan yang baru dibangun. (…) Kampung Kouh sekarang terdiri dari 14 rumah (pada Mei 1957 hanya ada 6 rumah).”

Drost bahkan berbicara tentang “ikatan persahabatan lama” yang diperkuat pada kunjungan itu. Karena di Kouh mereka tidak berhasil mendapatkan cukup orang untuk pikul barang, kapal Ichthus harus kembali ke Mariam dan Tanah Tinggi dulu untuk cari orang di sana. Oleh karena itu mereka tungguh dua malam di Kouh.

Kouh 027-L
Mokwarob, kepala lama kampung Kouh, ayah dari bpk Kor (Kakum).

Kunjungan balasan

Orang dari Kouh datang melakukan kunjungan balasan kepada pendeta Drost di Tanah Merah. Salah satu dari mereka adalah Yohofo Weremba. Dia adalah tuan tanah di Kouh, dan diangkat oleh Bestuur menjadi kepala kampung. Itulah sebabnya dia pergi ke Tanah Merah, dan atas nama masyarakat Kouh dia minta seorang guru dari pendeta Drost.

Drost dan Meijer menjelaskan kepadanya apa rencana mereka. Dengan demikian mereka sudah menjalin hubungan dengan orang Kouh, dan membangkitkan harapan. Jadi tibalah saat untuk langkah selanjutnya. Pada tanggal 18 April mereka kirim proposal ke Belanda. Mereka mengusulkan

“untuk pada pertengahan tahun ini melakukan persiapan pertama untuk penginjilan dan pendidikan di kampung Kouw.”

Meijer-A P33-2-L
Pendeta Drost dan guru Meijer, duduk santai di belakang rumah Drost di Tanah Merah.

Sekolah di Kouh

Mereka rencana membangun tempat penginapan dan gedung sekolah di Kouh dalam bulan Mei dan Juni. Mulai dari bulan Juli, guru Meijer mau mulai mengajar. Secara berkala dia mau datang dari Tanah Merah untuk beberapa minggu menetap di Kouh.

Sebelumnya mereka sudah membahas rencana itu dengan Bestuur di Tanah Merah. HPB Peters kuat mendukung tujuan mereka, demikianlah laporan dari guru Meijer:

“Dia percaya bahwa sekarang adalah waktu untuk mulai sesuatu di sana. Dia berpendapat bahwa orang Kouh sekarang masih berada dalam tahap awal dan menatap kami dengan penuh harapan. Jika sekarang kami tunggu terlalu lama, orang di Kouh  tidak hanya akan kecewa, tetapi hal itu juga akan mengakibatkan kerugian bagi kerja zending.”

Peters telah janji untuk kerja sama dengan mereka, dan kalau mereka membutuhkan bantuannya, mereka boleh memintanya.

Meijer-A P30-4-L
Gubernur Van Baal mengunjungi Tanah Merah, 12 Agustus 1958. Kiri HPB Peters, kanan Van Baal.

Bestuur

Pada awalnya HPB Peters memang bertanya-tanya apa yang Drost ingin lakukan di kawasan kali Kasuari. Menurut dia, wilayah itu bukan lapangan zending yang cocok, karena sejauh mereka tahu jumlah orang di sana hanya sedikit saja. Apa lagi, daerah itu dua hari dengan kapal dari Tanah Merah dan sebenarnya belum dikuasai oleh Bestuur.

Tetapi suatu penerbangan pengintaian ekstensif dengan pesawat Catalina dari perusahaan minyak mengungkapkan konsentrasi populasi yang jauh lebih besar daripada yang diduga sebelumnya. Pada bulan Juni, Peters sendiri melakukan patroli naik Digul-Barat, dan dia pulang melalui kali Dawi dan Kasuari. Dalam perjalanan itu, dia tidak bertemu dengan banyak orang, namun dia sudah yakin bahwa ada lebih banyak orang yang tinggal di wilayah itu daripada yang dia pikir sebelumnya.

Apperloo-01 Drost - 09-L
Rumah Deda di Tanah Merah. Yakob Deda berdiri di sebelah kiri.

Perluasan tim

Sementara itu di Tanah Merah zending masih terus sibuk membangun kompleks zending. Rumah untuk keluarga bapak Deda (kapten kapal Ichthus) belum siap.

Pada bulan April ada berita bahwa pendeta Klamer juga akan diutus ke Papua, dan pada bulan Mei mereka menerima kabar yang sama mengenai pendeta Van Benthem. Kedua pendeta itu pada awalnya rencana pergi ke Kalimantan, tetapi karena tegangnya hubungan antara Belanda dan Indonesia mereka tidak berhasil mendapatkan visa. Kedatangan kedua keluarga itu membutuhkan rencana bangunan baru lagi.

Soal lain adalah di mana semua misionaris itu nanti bisa ditempatkan. Masih ada gereja lain di Belanda yang mau kirim seorang misionaris ke Papua, dan gereja-gereja di Kanada (Toronto) sama demikian. Kalau semua rencana itu jadi, sebentar lagi mereka akan berjumlah enam orang utusan (5 pendata tambah 1 guru)! Jelas bahwa tidak semua mereka bisa pergi kerja di daerah kali Kasuari dan kali Dawi. Beberapa dari mereka nanti harus lebih ke utara lagi, ke arah pegunungan. Tetapi itu hanya bisa kalau kegiatan Bestuur di daerah itu akan diintensifkan, dan kalau sudah ada pos-pos zending di Arup dan di mulut kali Dawi.

Kouh 021-L
Kouh 1959. Kiri: pasanggrahan di pinggir kali Digul.

Kouh sebagai pangkalan?

Dalam laporannya, pendeta Drost menjelaskan hal itu kepada gereja-gereja di Belanda. Tetapi masih ada opsi lain, katanya:

“Kemungkinan lain adalah untuk sementara waktu menetap di kampung Kouh, dari mana seorang misionaris bisa bekerja ke arah kali Manggono dan daerah yang di sebelah utara kali itu.”

Drost belum mau putus apa-apa:

“Jauh lebih baik jika para misionaris itu dulu sendiri akan menjajaki seluruh daerah, dan berpatroli secara intensif, segera setelah pos-pos zending di Arup dan mungkin di Kouh didirikan. Dan satu dari mereka harus menetap di Tanah Merah untuk mengatur semuanya.”

Bulan-bulan itu pendeta Drost tinggal di Tanah Merah. Istrinya mau melahirkan anak keenam mereka. Pada pertengahan bulan Mei guru Meijer pergi berpatroli selama dua minggu. Pada perjalanannya itu dia memberikan perhatian banyak kepada kampung Kouh. Jumlah penduduk kampung itu sudah naik menjadi 100 orang lebih. Di Kouh, Meijer juga sudah mulai membersihkan tempat untuk rumah-rumah zending nanti. Dari sana ia mengunjungi Arup dan dua kampung kecil yang sedang dibuka di sepanjang kali Digul antara Kouh dan Arup (Tivi dan Jawo). Dia juga membuat patroli ke Werarop.

Apperloo-01 Drost - 24-L
Orang Kouh duduk dekat api di dalam suatu rumah di Kouh yang belum selesai.

6. Pertemuan ketiga

 

Alasannya

Hampir satu tahun telah berlalu sejak pertemuan terakhir dari pendeta Drost dengan pastor. Setelah percakapan awal bulan Juli 1957, Thieman sementara keluar. Pertama dia melakukan patroli ke daerah kali Manggono. Kemudian ia retret di Merauke. Ketika akhir bulan Agustus dia kembali di Tanah Merah, dia mendengar bahwa dalam waktu dekat pendeta Drost akan menerima bantuan dari seorang guru dari Belanda. Dia bertanya-tanya mengapa; di Misi Katolik, para missionaris bekerja tersendiri dan tidak biasa ada guru yang menemani mereka.

Thieman mengikuti perkembangan zending, dan dia makin bercemas. Ketika dia melihat Drost untuk pertama kalinya naik kali Digul dengan Ichthus untuk pergi ke kali Kasuari, dia mencatat hal itu dalam buku hariannya. Dia menuliskannya, ketika dia mengetahui bahwa Kailola, seorang Protestan yang sipir penjara, berulang kali mengusulkan seorang guru sekolah yang dijatuhi hukuman tiga tahun, untuk bergabung dengan zending ketika hukumannya selesai: “Akan mendapatkan upah tinggi dan bantuan lainnya, Misi tidak melakukan apa pun untuk dia.”

Pada tanggal 9 Juni 1958, ia mencatat:

“Mendengar: Pendeta Drost mendapat bantuan: seorang pendeta dari Belanda, alat pemancar radio, 1 gudang besi + 2 rumah aluminium di kali Kasuari. Seorang yang bernama Watimena (mantan tahanan) akan kerja dengan mereka sebagai penggergaji.”

Bulan itu ada pesta besar di kali Win (sebelumnya disebut Mahenggo dan Magbo). Untuk pertama kalinya ada orang yang dibaptis di tempat itu, tidak kurang dari 36 orang. Untuk pesta komuni kudus, tiga ekor babi disembelih. HPB Peters dan dokter Bijkerk juga mampir untuk melihat-lihat.

IMG 4794-L
Pastor Thieman di Tanah Merah.

Pembicaraan

 

Pembukaan

Pada hari Sabtu Thieman kembali dari pesta baptisan itu. Hari Senin pagi itu – tanggal 16 Juni – dia jalan ke kompleks zending untuk membahas beberapa hal dengan pendeta Drost. Pertama dia meminta penjelasan mengapa Drost di rumah sakit itu telah menegur seorang perawat Katolik ketika dia membaptis seorang anak yang mau meninggal. Hal itu memang biasa bagi orang Katolik, tetapi bukan bagi orang Protestan.

Drost membela diri dengan mengatakan bahwa dia mengira orang-orang itu datang dari daerah kali Kasuari. Ketika Thieman menjelaskan kepadanya bahwa orang tua dari anak itu sebenarnya berasal dari sebuah kampung yang dekat Tanah Merah, Drost berjanji bahwa kali berikut dia akan mencari keterangan lebih baik sebelum bertindak seperti itu lagi.

Tanah Merah 040-Lb
Rumah pendeta Drost di Tanah Merah.

Perselisihan

Pokok berikutnya lebih sensitif. Thieman telah mengetahui bahwa zending sudah mulai bekerja di Kouh,

“meskipun saya mengklaimnya sebagai saya punya lapangan kerja. Letaknya terlalu jauh dari kali Kasuari (dengan perahu 2 hari, dengan kapal 1 hari). Dan sebelunya telah disepakati: dia di daerah kali Kasuari.”

Drost menceritakan bahwa betul mereka sedang mendirikan gedung sekolah di sana. Dia menyebut beberapa alasan untuk hal itu:

“1) letaknya sangat menguntungkan bagi dia (dengan kapal 1 hari, hari ke-2 ke kali Kasuari),
2) itu tempat orang Wangom seperti di daerah kali Kasuari,
3) tidak ada orang lain yang tinggal lebih jauh ke pedalaman,
4) dia yang mendirikannya.[10]

Menurut Thieman itu tidak adil. Dia mengemukakan sejumlah argumen mengapa dia berpendapat bahwa Drost salah:

“Telah disepakati kali Kasuari sampai ke batas arus air (kampung Kouh jauh lewat batas itu);
Letaknya untuk rencana saya pun sangat menguntungkan;
Saya telah mengunjungi tempat itu lebih awal dari Drost, dan begitu pula kali Kasuari;
Dan bahwa saya tetap mengklaimnya. Kalau dia tidak menepati kesepakatan, saya juga tidak perlu menepatinya.”

Digul TM-Casuaris-k

Evaluasi

Pendeta masih akan memikirkannya, tulis Thieman sebagai kesimpulan dalam buku hariannya. Tetapi perkiraannya itu tidak tepat. Mungkin saja Drost mengatakan sesuatu seperti itu untuk mengakhiri percakapan. Tetapi dia benar-benar tidak mempertimbangkan untuk menghentikan kegiatan zending di Kouh atas tuntutan pastor Thieman. Hal itu nyata dari apa yang dia laporkan mengenai percakapan ini kepada gereja di Enschede, satu minggu sesudah pertemuannya dengan Thieman:

“Satu hal baru yang meminta perhatian kita. Seperti yang kamu tahu, kami ada rencana untuk mulai di kampung Kouh. Minggu lalu pastor datang berbicara dengan saya. Dia bilang bahwa dia sudah dengar bahwa kami mau mulai di sana, dan bahwa dia pikir kami hanya akan bekerja di daerah kali Kasuari – orang licik itu. Saya berkata: “Rencana kami untuk Kouh sudah siap”, baru dia bilang: Saya mau kerja di kampung Kouh. Saya menjawab, rencana kami tetap berjalan. Dia balas: “Jika demikian kita akan bertengkar”, baru saya katakan: “Apa boleh buat…”

Saya rasa gusar terhadap dia dan hampir mengusir dia keluar dari rumah, tetapi saya menahan diri, walaupun dengan susah. Tetapi kalau dia muncul lagi saya akan menyuruh dia pergi. Orang-orang Katolik itu bajingan nakal. Sementara ini kegiatan mereka tidak banyak: mereka sama sekali tidak berkuasa di daerah di sebelah utara dari Tanah Merah, dan dengan kapal Ichthus kami lebih maju dibandingkan dengan mereka. Sdr. Meijer dan saya sudah membahas masalah ini, dan kami sudah putus bahwa sdr. Meijer hari ini akan berangkat ke Kouh untuk mulai melaksanakan rencananya yang sudah disetujui oleh kamu. Saya sementara akan bertahan di sini.”

 

Kemarahan Drost

Drost menjadi sangat marah terutama karena tuduhan melanggar janji. Dia memiliki karakter yang terbuka dan jujur, sehingga tuduhan bahwa dia tidak bertindak tulus tidak dapat diterimanya. Karena sebenarnya mereka belum disepakati apa-apa! Pada pertemuan yang dulu-dulu, pastor Thieman dan pendeta Drost sudah berbicara tentang pembagian lapangan kerja, tetapi saat itu mereka telah putus tanpa mencapai kesepakatan.

Drost menulis laporan ini satu minggu sesudah pertemuan dengan Thieman. Kemarahannya telah mereda – dia tidak pernah bisa marah lama-lama. Meijer hanya mendengar sesudahnya tentang percakapan ini. Dia ingat bahwa Drost ceritera bahwa ketika Thieman mengatakan kepadanya bahwa dia sudah mempunyai rencana untuk bekerja di Kouh, bahwa Drost menjawab: baiklah, maka kita dua akan berkerja di sana. Jadi dia seperti mengangkat bahunya tentang itu.

Namun, konfrontasi ini mempercepat pelaksanaan rencana di Kouh. Drost tulis:

“Dalam hal ini, kedatangan kedua misionaris lainnya[11] sangat bagus. Jika sekarang kita bekerja keras dan kuat membangun di Kouh dan di Arup, kita akan memiliki posisi kunci untuk lapangan kerja yang direncanakan.”

T8-2 R001-015 TVIII2-L
Kapal Ichthus siap berangkat, di kali Digul. Dari kiri ke kanan: Kakum (Kor Khuanemba), bapak guru Meijer, pendeta Drost

Reaksi Thieman

Tidak berlebihan mereka mempercepat rencana. Setelah percakapan yang gagal dengan pendeta Drost, pastor Thieman menulis lagi dalam buku hariannya:

“HPB pernah bertanya kepada saya tentang Kouwage. Saat itu saya mengatakan kepadanya bahwa lama-kelamaan saya ingin bekerja di sana. (Pasti dia mencari tahu hal itu untuk pendeta, itulah yang saya rasakan saat itu.)
Kemudian Van Lint[12] membawa berita kepada saya bahwa pendeta punya rencana untuk ke situ. Dan saya sudah mengatakan kepadanya, jika sempat memberi tahu kepada pendeta bahwa saya mengklaimnya.
Jadi: dia sadar bahwa dia bertindak di luar wewenangannya, tetapi kesempatan itu terlalu bagus untuk mencoba menduduki kampung itu.
Bagi saya saat ini masih terlalu jauh untuk menempatkan seorang penolong di situ. Tapi untuk nanti.”

Dugaan Thieman bahwa HPB datang mencari tahu hal itu untuk Drost, tidak didukung oleh laporan-laporan dari Peters maupun dari Drost. Sebenarnya hal itu sama sekali tidak cocok dengan sikap Drost. Apalagi Drost tidak insaf akan sesuatu yang salah. Dan Peters benar-benar tidak akan membiarkan dirinya diperalat oleh Drost. Kemungkinan besar Peters datang menanyakan Thieman karena dia sendiri ingin tahu apa rencananya. Sebagai kepala Bestuur, dia bertanggung jawab untuk memastikan semuanya berjalan lancar dan untuk menghindari tabrakan.
Kesimpulan yang ditarik oleh Thieman bahwa Drost sadar bahwa dia bertindak di luar wewenangannya, sama sekali tidak benar. Thieman pikir begitu karena dia (secara keliru) berasumsi bahwa dia sudah mencapai persepakatan dengan Drost mengenai pembagian lapangan kerja.

 

Rasa curiga

Pada pertemuan ketiga ini juga tidak ada kesepakatan yang dicapai. Thieman sekali lagi mengajukan sekuat mungkin klaimnya atas daerah yang ditentang, tetapi Drost dengan tenang mengesampingkan klaim itu dan bertahan dengan pendiriannya.

Keduanya menunjukkan kecurigaan yang mengakar. Kecurigaan itu tidak mengenai pribadi orang, tetapi mengenai kelompok yang diwakilinya. Sejak kedatangannya di Papua, Thieman telah menghadapi upaya infiltrasi dari aliran Protestan, yang sering mendapat dukungan dari pejabat Bestuur.

Rasa curiga Drost terlihat dalam kualifikasi Thieman sebagai orang licik dan kaum Katolik pada umumnya sebagai bajingan nakal. Itu tidak mungkin disebabkan oleh pengalamannya sendiri, tetapi pasti bertalian dengan cerita-cerita yang telah dia dengar kiri kanan, dan dengan peringatan yang telah diberikan kepadanya. Residen Boendermaker pernah mengingatkan Drost

“bahwa jika kami akan menetap di Tanah Merah, hal itu dapat mengakibatkan kegiatan Misi yang ditingkatkan. Reaksi Misi itu kami tidak boleh meremehkan, tetapi kami tidak boleh menilainya terlalu berlebihan juga. ‘Kamu tidak perlu menghindari dari tindakan-tindakan bapak-bapak itu’, katanya.”

Drost telah mendengar tentang pelbagai upaya Misi untuk menghalang-halangi zending Protestan:

“Aktivitas Misi Katolik ini tidak mengherankan. Baru-baru dua pastor dari Hollandia ditempatkan di lembah Baliem untuk menghambat kerja CAMA. Di Asmat pun mereka mencoba menghalang-halangi orang Amerika. Lembah Oksibil telah diduduki oleh CAMA dengan menjengkelkan Roma, dan mereka berencana untuk bekerja dengan suatu kelompok besar di daerah antara Oksibil dan lembah Baliem, tepat di sebelah utara dari wilayah yang kami rencanakan. Di Papua utara juga sering ada keluhan tentang kegiatan misi Katolik – seperti misalnya di Biak.”

Thieman dan Drost hampir belum saling mengenal. Dalam situasi seperti itu, orang segera cenderung untuk memberikan interpretasi sendiri terhadap apa yang orang lain itu maksudkan. Dan interpretasi itu akan berdasarkan pengalaman sebelumnya, atau berdasarkan apa yang mereka sudah dengar tentang orang lain itu, atau juga berdasarkan apa yang mereka takuti. Pada pertemuan ini, Thieman dan Drost memiliki dugaan masing-masing. Dan dugaan itu turut didasarkan pada tafsirannya masing-masing mengenai hasil percakapan-percakapan sebelumnya.

IMG 7287-L
Pastor Hendriks dan pastor Thieman, die depan pastori di Tanah Merah.

7. Cerita yang diteruskan secara lisan

 

Fakta dan interpretasinya

Tidak mungkin lagi untuk mengetahui apa yang diceritakan oleh pendeta Drost kepada orang di Kouh mengenai pertemuan ini, dan apakah pastor Thieman membicarakannya dengan orang lain. Kami juga tidak tahu apa yang dikatakan orang Mariam dan Kouh satu sama lain tentang hal ini. Pasti ada banyak hal yang pada saat itu tidak jelas bagi mereka. Mereka telah meneruskan cerita itu seperti yang mereka pahami, atau seperti yang mereka pikir bahwa sudah terjadi. Mereka telah menafsirkan apa yang mereka dengar menurut pola berpikir mereka. Apa yang tidak jelas dan apa yang tidak dapat mereka pahami, mereka telah melengkapi berdasarkan adat istiadat mereka sendiri. Dan jika sekitar 35 tahun kemudian seseorang mulai menuliskan sejarah itu berdasarkan cerita turun-temurun yang lisan, pengetahuannya dan pengalamannya sendiri juga akan berpengaruh.

Kouh 031-L
Nerop, salah satu dari penduduk pertama kampung Kouh.

Cerita

Dengan demikian terjadilah suatu cerita yang sama sekali berbeda:

Bapak pastor bertanya kepada pdt. Drost: “datang untuk apa?” Bapak pdt. Drost katakan bahwa “Saya datang dengan nama Tuhan untuk memberitakan Injil di daerah Digul dan sungai Mapi”. Pastor marah sekali kepada pdt. Drost bahwa daerah-daerah ini adalah daerah pI dari Katolik.
Tetapi pdt. Drost juga marah kepada pastor, bahwa batas Tanah Merah ke bawah di aliran sungai Digul; batas desa Ikisi ke bawah di aliran sungai Mapi adalah Pastor punya pemerintahan pekabaran Injilnya. Pastor punya wilayah pI cukup besar dan lebar menjadi milik daerah pI Katolik. Sedangkan pdt. Drost punya pI-nya dari Kouh ke atas sampai di hulu sungai Digul; batas kampung Sarbu ke atas sampai di hulu sungai Mapi dan kali Mangguno menjadi wilayah daerah pekabaran Injil Reformasi oleh pendeta-pendeta dari Negeri Belanda.

Dan Pdt. Drost ambil buku Alkitab dari sak celana lalu pukul bapak pastor. Tetapi pastor juga ambil buku Alkitab lalu pukul pdt. Drost. Pendeta Drost ambil senjata pistol dari sak celana dan hampir tembak pastor. Pdt. Drost ambil senjata pistol lalu tembak di atas kepala Pastor dan peluruh itu kenah cabang kayu kasuari. Pdt. Drost marah dan hanya kasih komentar saja dengan tembakan senjata pistol saja kepada pastor.

Pdt Drost pukul pastor dengan buku Alkitab adalah menjadi “Taruh batasan daerah pI Reformasi dengan pI Katolik dengan batasan wilayah pekabaran Injil masing-masing”. Pdt. Drost kasih komentar dengan tembakan senjata pistol menjadi Tanda Peringatan akan wilayah kekuasaan atau wilayah pemerintahan pekabaran Injil masing-masing.[13]

Cerita ini dicatat oleh bapak Yusuf Kingo. Pada tahun 1980-an ia belajar teologi di Sekolah Teologi Menengah di Boma. Pamannya adalah Yafukayop, salah satu penduduk pertama Kouh. Dari pamannya itu Yusuf telah mendengar banyak cerita tentang asal usul Kouh dan permulaan zending di kampung halamannya.

Yusuf Kingo 1992-L
Yusuf Kingo (1992)
Yafukayop-Lk
Yafukayop Kingo, bapak tua dari Yusuf Kingo.

Watak kedua tokoh itu

Cerita turun-temurun tidak memperhitungkan watak kedua lawan. Para penduduk kampung Kouh saat itu hanya memiliki pengetahuan yang dangkal mengenai mereka. Kita perlu menyadari hal itu agar kita dapat menilai secara wajar peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Pastor Thieman dan pendeta Drost kedua-duanya adalah pribadi yang ramah, yang dengan mudah berteman dan berhasil memenangkan hati orang. Dalam cerita sebelumnya kami sudah menunjukkan bahwa baik teman maupun musuh memberikan kesaksian yang positif mengenai Thieman. Dan hal yang sama berlaku mengenai Drost. Perhatikanlah bahwa Thieman, yang pasti memandang Drost dengan kecurigaan, setelah pertemuan pertama segera mencatat dalam buku hariannya bahwa pendeta adalah “orang yang menyenangkan”. Sama pula Drost (walaupun dengan curiga) bicara positif tentang Thieman: “Dia hanya menginginkan hubungan yang baik.”.

IMG 7319-L-2
Pastor Thieman berpisah dari para biarawati di Tanah Merah ketika dia berangkat untuk cuti ke Belanda.

Perkelahian?

Tidak terjadi perkelahian (“Saya telah menahan diri”, tulis Drost), dan tidak ada tembakan yang dilepaskan. Thieman maupun Drost jelas bukan tukang pukul. Apalagi, Drost tidak pernah punya pistol. Dia memang sudah memesan senapan, tetapi pada saat dia bertemu dengan Thieman dia belum menerimanya. Setahu kami Thieman juga tidak memiliki senjata api, dan jika dia memilikinya dia tidak punya alasan untuk membawanya waktu dia pergi berbicara dengan Drost.

Mereka berdua memiliki sebuah Alkitab, tetapi mereka terlalu menghormati buku itu untuk benar-benar memukul satu sama lain dengannya. Juga dalam arti kiasan tidak terjadi perkelahian seperti itu: mereka tidak saling memukul dengan nas-nas Akitab. Perselisihan itu bukan mengenai pokok teologis, dan teks-teks Alkitab tidak memainkan peran dalam diskusi mereka.

Oleh karena itu, cerita turun-temurun ini pasti merupakan interpretasi terhadap desas-desus yang beredar pada saat itu. Yang jelas bagi orang di Kouh waktu itu bahwa konflik antara pastor dan pendeta itu telah diselesaikan. Tetapi dengan cara bagaimana? Rupanya tidak berdasarkan nas-nas Alkitab tertentu: mereka saling memukul dengan Alkitab. (Di antara tanda kurung: pada waktu itu orang di Kouh hampir belum tahu apa itu Alkitab. Pekabaran Injil di sana belum dimulai. Kenyataan ini juga merupakan indikasi bahwa cerita turun-temurun ini adalah interpretasi retrospektif.)

 

Pembayaran?

Ketika Alkitab dan senjata terbukti tidak dapat menyelesaikan perselisihan, menurut pandangan orang Kouh tidak ada pilihan lain selain Drost harus membayar. Yusuf Kingo tulis:

Pdt. Drost bayar dengan uang kepada bapak Pastor. Belum tahu tentang jumlah uang yang dibayar kepada pastor oleh pdt. Drost. Pdt Drost bayar dengan uang sebesar berapa kepada pastor sebagai Tanda Perdamaian antara kedua belah pihak dan kedua belah pekabaran Injil di daerah Irian selatan dengan aman dan tanang. Tidak ada permusuhan antara kedua penganut pekabaran Injil ini di daerah Irian Selatan. Uang yang dibayar oleh pdt. Drost kepada pastor sebagai uang pembayaran daerah tanah masuknya Firman TUHAN di aliran hulu sungai Digul dan aliran hulu sungai Mapi.

Tetapi jelas dari semua sumber bahwa tidak pernah ada pembayaran. Thieman tidak minta uang, dan Drost sama sekali tidak pernah mempertimbangkan untuk membayar apa-apa. Lagi pula, wilayah itu bukan milik Thieman, atau milik Misi, meskipun Thieman memberikan kesan seolah-olah dia berhak atas daerah itu.

IMG 7325-L-2
Dari kiri ke kanan: pastor Thieman, pendeta Drost, pendeta Klamer. Thieman berangkat dari Tanah Merah untuk cuti ke Belanda. Pastor Hendriks (pengganti Thieman) mengomentari foto ini: “Foto ini mencirikan hubungan antara mereka sampai sekarang ini: saling bersimpati dan menghargai kerja masing-masing.”
IMG 7326-L
Pastor Thieman berangkat dari Tanah Merah untuk cuti ke Belanda.

8. Misi, zending, dan Bestuur

 

Misi dan zending

Dalam cerita turun-temurun yang dicatat oleh Yusuf Kingo, kekuasaan pastor Thieman dinilai terlalu tinggi. Hal itu pasti karena hubungan yang sebenarnya antara Misi, zending, dan Bestuur, saat itu belum begitu jelas bagi orang kampung. Mereka mengamati seorang baru (Drost) yang berhadapan dengan seorang tua (Thieman) yang mewakili Misi Katolik yang ada di mana-mana. Posisi Bestuur dalam hal ini sama sekali tidak memainkan peran.

Dilihat dari pola berpikir mereka, jelas bahwa Drost sebagai orang baru yang mewakili suatu organisasi baru harus membayar Thieman untuk dapat izin kerja di daerah yang dikuasai Misi. Jika orang bertitik-tolak dari asumsi bahwa seluruh wilayah itu sebenarnya milik Misi Katolik, maka tidak dapat dibayangkan bahwa sebuah organisasi baru yang ingin mendapatkan bagian dari wilayah itu tidak harus membayar dulu. Dalam kebudayaan orang Papua, orang yang mau dapat hak pakai atas sebidang tanah tertentu harus membayar tuan tanah. Oleh sebab itu, menurut mereka Drost pasti telah membayar kepada Thieman untuk memperoleh hak kerja sebagai misionaris di daerah ini.

Tetapi masalahnya, Misi Katolik bertindak seolah-olah dapat menuntut hak atas tiap tempat mereka telah menginjakkan kaki, tetapi pemerintah dan zending memiliki pandangan yang sangat berbeda.

Trouw 23 Dcember 1960 (21)-L
Tanah Merah. Dari kiri ke kanan: HPB Fanoy, istri dokter Janmaat, pastor Thieman.

Misi dan Bestuur

 

Imperialistik

Sebenarnya pretensi Misi masih melangkah lebih jauh. Pada prinsipnya, gereja Katolik Roma menolak batasan apa pun yang mau ditetapkan pada perluasannya. Dia melihat dirinya sebagai penjaga kebenaran, yang memiliki hak dan bahkan kewajiban untuk mewartakan kebenaran itu di mana-mana kepada semua orang.[14] Dia ingin membentuk katolisitas gereja[15] dengan membawa seluruh dunia tunduk kepada gereja Katolik Roma. Bavinck memaparkan: “Katolisitas prinsip Kristen, yang memurnikan dan menyucikan semua, telah digantikan oleh dualisme, yang selalu memisahkan yang supernatural dari yang alami, atau lebih tepat: yang supernatural melampaui yang alami.” Dengan kata lain: “Negara adalah bulan, gereja adalah matahari. Negara adalah manusiawi, gereja adalah ilahi.” Pandangan ini memberikan Roma ciri imperialistik.

Jadi menurut pandangan ini sebenarnya pemerintah harus melakukan apa yang gereja perintahkan. Tidak mengherankan, pandangan ini berulang kali membawa Misi ke dalam konflik dengan Bestuur.

Van Baal 3-L

Dr. J. van Baal (foto dari album Nerius Louter)

Konflik

Gubernur Van Baal menulis dalam buku riwayat hidupnya:

“Tujuan Misi adalah membuat orang Papua menjadi orang Katolik yang terindoktrinasi dengan baik, yang hidup dalam ketaatan pada moralitas Katolik dan pimpinan spiritual Gereja. (…)
Dalam pekerjaannya, para pastor dibantu oleh 65 kepala sekolah di kampung-kampung (hampir semua sekolah ada satu guru). Hal itu memberi Misi pegangan yang kuat pada masyarakat di wilayah ini (…). Mengenai kebijakan, Misi mengharapkan bahwa Bestuur akan mengambil sikap baik hati terhadapnya dalam segala hal, jika bukan membantunya. Dalam praktik itu berarti, bahwa diharapkan bahwa kontrolir [mis. HPB] akan melakukan apa yang dikatakan pastor.”

Di tingkat kampung, konflik ini berpusat pada pertanyaan siapa yang sebenarnya berkuasa di sana: kepala desa yang ditunjuk oleh Bestuur, atau pelopor yang ditempatkan di sana oleh Misi:

“Pada dasarna inti pokok itu adalah kekuasaan di kampung. Misi berusaha untuk menempatkannya pada guru. Tentu saja, sama seperti Misi saya juga tahu bahwa kepala kampung yang ditunjuk oleh Bestuur itu biasa kurang inisiatif, tetapi itu bukan alasan untuk melembagakan kegagalan mereka dengan membiarkan guru melakukan teror kebajikan.”

IMG 4743-L
Uskup Tillemans berjabat tangan dengan beberapa kepala kampung,

Dewan Perwakilan Rakyat

Perebutan kekuasaan ini tidak hanya terjadi antara Misi dan Bestuur di Papua, tetapi jika perlu diperjuangkan di tingkat tertinggi:

“Sekitar tahun 1937, hal yang penting adalah kenyataan bahwa sebagai pejabat Bestuur di Maluku orang harus mengambil sikap hati-hati terhadap Misi dan zending. Petugas Misi dan zending itu bukan hanya sekadar pelayan dari kabar gembira yang mereka umumkan, yang tampaknya tak berdaya. Mereka juga adalah perwakilan dari kekuatan-kekuatan politik, yang memiliki juru bicara dalam partai-partai Kristen di Dewan Perwakilan Rakyat, yang dengan kepakaran meminta perhatian menteri terhadap kegagalan seorang kontrolir di rimba raya.”

Bestuur, terutama di tingkat daerah dan kampung, berada pada posisi yang sulit, karena Misi merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan. Ketika Van Baal masih bertugas di bagian selatan Papua, dia sendiri mengalaminya:

“… itu semua wilayah misionaris Kongregasi Hati Kudus, yang memiliki kecenderungan tak tertahankan untuk menganggap Bestuur sebagai ‘ancilla ecclesiae’ [pelayan gereja]

Van Baal 2-L
Dr. J. van Baal (foto collectie Van Kampen)

Iritasi

Oleh karena itu, hubungan dengan Misi Katolik ini sering menjadi sumber iritasi bagi Van Baal dan pejabat Bestuur lainnya. Misi berulang kali menuduh mereka tidak bertindak netral dan menguntungkan zending Protestan. Van Baal:

“Berjalannya tahun 1956 saya sudah betul-betul bosan dengan keluhan-keluhan dari uskup Cremers dan uskup Tillemans tentang diskriminasi terhadap umat Katolik dan khususnya terhadap pendidikan Katolik.”

Di sisi lain, sikap Misi bisa dimengerti juga. Para pastor menetap di Papua hampir sepanjang hidup mereka, seringkali selama beberapa dekade di tempat yang sama. Pejabat-pejabat Bestuur dipindahkan setiap dua atau tiga tahun. Pada saat mereka mulai mengerti keadaab setempat, mereka sudah harus pergi lagi.

Dengan kata lain: pastor adalah faktor konstan, dia mampu berbicara bahasa daerah, tahu seluruh wilayah, dan memiliki hubungan di tiap-tiap kampung. Tidak heran dia memandang rendah pejabat Bestuur itu, yang pada umumnya memiliki pengalaman yang jauh lebih sedikit dan yang dalam beberapa tahun akan digantikan oleh orang lain lagi. Tetapi kalau sudah saatnya mengambil keputusan, pejabat Bestuur adalah bos yang mengambil keputusan. Hal itu sering menjadi penyebab frustrasi yang mendalam bagi pastor setempat, jika kebijakan Bestuur tidak sesuai dengan pendapatnya sendiri tentang apa yang harus dibuat.

 

9. Uskup di Kerux

Sekitar satu tahun setelah peristiwa-peristiwa ini, uskup Tillemans berjalan kaki dari Ikisi di kali Mappi menuju ke Tanah Merah. Dia tebus di rawa sagu besar Wan, kira-kira satu kilo ke hulu dari Tanah Merah di seberang kali Digul. Karena kakinya terkilir, ia kirim kepala desa Ikisi ke Tanah Merah untuk carter perahu dari sana untuk menjemput dia. Kepala desa itu rasa lebih baik mencari kapal motor. Pertama dia pergi mencari HPB untuk minta bantuan dari Bestuur. Ketika dia tidak berhasil menemukan HPB, dia menghubungi pastor Tanah Merah (pastor Hendriks, pengganti Thieman), dan bersama-sama mereka jalan ke kompleks zending, dengan harapan pendeta akan bersedia membantu.

Dengan demikian hari Sabtu sore ada orang yang datang mengetuk pintu zending. Ketika pendeta Klamer mendengar apa soalnya, dia kirim kapal Kerux untuk menyelamatkan uskup.

Di penghujung sore, musuh zending itu tiba di Tanah Merah dengan kapal zending. “Mengingat rangkaian peristiwa sebelumnya, tidak sepenuhnya bebas dari sedikit ironi”, tulis HPB dalam laporan bulanannya.

IMG 7157-L
Di pinggir kali Digul di Tanah Merah.

-//-

Not kaki

[1] Bnd par. Boven Digoel 1927 dalam https://www.kombai.nl/2020/12/08/belanda-masuk-kali-digul/

[2] Maksud: daerah Mandobo-atas.

[3] Binatang jenis anjing yang biasa merampok ayam.

[4] The Cristian and Missionary Alliance.

[5] Pos pertama dari Bestuur di lembah Baliem dibuka oleh kontrolir Frits Veldkamp, yang pada bulan Desember 1956 masuk dengan kelompok 17 orang dan berkemah di tempat yang kemudian dapat nama Wamena. Misi Katolik masuk bulan Pebruari 1958 (pastor Arie Blokdijk).

[6] Unevangelized Fields Mission.

[7] Australian Baptist Mission Society.

[8] Regions Beyond Missionary Union.

[9] Mission Aviation Fellowship.

[9b] The Evangelical Alliance Mission.

[10] Kurang jelas apa yang dikatakan Drost. Catatan Thieman ini bukan kutipan harfiah dari pernyataan Drost, tetapi ringkasannya dalam ungkapan Thieman. Dari reaksi Thieman dapat disimpulkan bahwa Drost mengklaim bahwa dia telah membuka kampung itu. Namun, itu tidak mungkin apa yang dimaksud, karena kampung Kouh sudah berada ketika Drost dengan kapal Ichthus untuk pertama kalinya berlabu di sana. Mungkin sekali Drost mengacu pada rencana mereka untuk membangun sekolah di Kouh. Di Misi, saat memulai sekolah dipandang sebagai pembukaan kampung itu.

[11] Yaitu pdt Klamer dan pdt Van Benthem.

[12] Tenaga polisi.

[13] Yusuf Kingo, Buku pI secara singkat, sekitar 1994, Bab-I, par. 9. (Tulisan tangan, belum diterbitkan).

[14] Aritonang & Steenbrink (Penyunting), A History of Christianity in Indonesia, Leiden 2008, hal 140: “The Roman Catholic Church also for reasons of principle rejected any limit imposed upon its expansion. In some cases, especially in the Minahasa, it succeeded in circumventing the ban on double mission. The Protestants very much resented the encroachment of the Roman Catholic Church upon their traditionel territories. As a consequence, the relationship between the two confessions, which during the first decades after 1800 had been surprisingly good, deteriorated after 1860.” Hal. 166: “The underlying motive for penetrating Protestant mission fields was that the Catholic Church, as keeper of the full truth, was intitled, even obligated, to convey that truth to all people, including fellow-Christians of other denominations. This attitude disappeared only in the 1970s..”

[15] Arti kata Katolik adalah: am. Katolisitas gereja berarti: gereja yang am, yang tidak terbatas pada orang atau golongan tertentu. Bnd. Pengakuan Iman Rasuli: gereja yang kudus dan am. Lihat juga: Boersema & Venema & Indrasmoro (penyunting), Berteologi Abad XXI (Perkantas 2015), hal. 794-795.

 

Sumber

 

Arsip Gereja-Gereja Reformasi di Belanda (ADC) di Kampen:

  • Laporan-laporan Drost 1956, 1957, 1958
  • Laporan-laporan Meijer 1958

Arsip MSC dalam Erfgoedcentrum Nederlands Kloosterleven di St Agatha:

  • Buku-buku harian pastor Thieman di Tanah Merah

Buku:

  • F.H. Peters: Vervlogen verwachtingen – De teloorgang van Nieuw-Guinea in 1961-1962. Leiden 2010.
  • J. van Baal, Ontglipt verleden, jilid I dan II, Franeker 1986-1989
  • Sybe Bakker (red.), Op weg naar het licht – Gedenkboek van de Gereformeerde Kerken in de classis Groningen ter gelegenheid van veertig jaar zending op Irian Jaya (1956-1996), Groningen 1996.
  • Pieter Broerse, Zending en overheid – De rol van de Nederlandse overheid met betrekking tot het zendingsbeleid in Nederlands-Indië tussen 1854-1925, skripsi (Bachelor) Sejarah, Universitas Utrecht 2017 (http://dspace.library.uu.nl/handle/1874/344755)
  • Jan Sihar Aritonang & Karel Steenbrink (ed.), A History of Christianity in Indonesia, Leiden 2008.
  • Donald Louis Gregory, A study of the development of the ministry of the Evangelical Alliance Mission and the related church in Irian Jaya from 1951 to 1976, Dallas 1976 (disertasi)
  • Bavinck, De Katholiciteit van Christendom en Kerk – rede bij de overdracht van het rectoraat aan de theol. School te Kampen, op 18 Dec. 1888, Kampen 1888.

Internet:

Tidak diterbitkan:

  • Fanoy, laporan-laporan bulanan 1959-1962
  • D.J. Jongsma, Een bestuurlijk moeilijk ressort’ – De houding van bestuursambtenaren in het Boven-Digoelgebied op Nederlands-Nieuw-Guinea in conflicten tussen zending van de gereformeerde kerk (vrijgemaakt) en missie van de missionarissen van het Heilig Hart, 1956-1962. (tesis master, tidak diterbitkan)
  • Yusuf Kinggo, Buku pI secara singkat, Kouh sekitar 1994
  • Paul Rhoads, The History of the Evangelical Alliance Mission in Irian Jaya

–//–