25 – Pastor Thieman

Het Vliegveld Tanah Marah (2)-L
Orang tahanan membawa tangga ke pesawat Kroonduif di Tanah Merah. Sekitar 1960.
MKD-d-006-L
Kesibukan keliling pesawat Kroonduif di Tanah Merah.

INTRO

Pria berhati emas

Pesawat Kroonduif (burung Mambruk) berbelok tajam, lalu turun dengan curam dan mendarat keras di lapangan terbang di Tanah Merah. Beberapa tahanan Papua mendorong tangga ke pintu, dan satu per satu penumpang keluar. Akhirnya, seorang pastor muda tersandung turun dari tangga, sakit lemah dan mual karena terbang dan malaria. Tanggalnya hari Selasa, 19 April 1955.

Banyak orang sibuk di sekitar pesawat. Ada petugas bandara, petugas pos, pejabat pemerintah, polisi, suster, dan tahanan Papua yang sedang membongkar kargo. Dan banyak penonton.

Pastor yang sakit itu tidak melihat siapa pun, hanya sakit dia. Tampaknya pucat dan dia berdiri limbung di atas kakinya. Perlahan dia berjalan menuju gedung dengan atap daun besi bergelombang berkarat. Kakinya tidak mau, pikirannya bingung. Dia lebih suka duduk di atas rumput saja. Tanah-Merah berpacu di kepalanya dengan warna-warna cerah. Saat dia jatuh, lengan yang kuat menangkapnya. Dia mendongak untuk melihat seorang pastor berjanggut dengan mata khawatir. Pastor muda itu mencoba mengatakan sesuatu. Tubuhnya tersentak dan dia meludah di pinggir lapangan. Sangat tidak bahagia dia meraih tangan yang terulur, malu, tapi harus muntah lagi.

“Semuanya akan baik-baik saja.” Pastor dengan suara lembut itu tersenyum untuk menghiburnya. Pastor Tanah Merah ini mempunyai hati yang besar dan pengalaman bertahun-tahun. Dengan cegas dia menghantar pastor yang sakit itu ke rumahnya dan memastikan bahwa tamunya dapat tidur, menelan obat malaria, dan minum beberapa teko teh.

Pasien itu meracau karena demam, dan dalam mimpinya dia mengigau dan berbicara tentang Orang Samaria yang murah hati. Yang ini tiap kali bawa kain dingin dan ulangi bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ketika demam mereda, pastor muda berbaring menatap jendela tanpa gorden dan merasa bahagia. Dia tahu kenapa. Di Tanah Merah dia menemukan keramahan yang dia rindukan di Merauke.

Apa yang pasien itu tidak tahu, karena dia tidur dengan nyenyak pada saat itu, adalah bahwa di pagi hari, orang Samaria yang murah hati ini pergi berbicara sama anak-anak kapal dan pergi ke rumah HPB (Hoofd Plaatselijk Bestuur, Kepala Pemerintah Daerah). Dia berhasil membujuk mereka setuju bahwa kapal pemerintah yang siap berangkat akan menunggu beberapa hari supaya pastor mudah yang sakit itu dapat pulih dari kesakitannya di rumah pastor yang berjanggut dan berhati emas.

Selama tiga hari penuh bahagia pastor tua dan pastor muda itu tinggal bersama. Yang muda itu belajar banyak. Dan seperti seharusnya dalam komunitas yang baik, yang satu bisa gembira karena yang lain berada di situ.[1]

Setelah hari-hari itu, pasien sudah pulih secara fisik dan mental sehingga bisa melanjutkan perjalanannya. Pastor van der Velden naik kapal pemerintah Japen yang akan membawanya ke Kepi. Di pinggir kali Digul, Pastor Thieman menyapa pastor muda itu dengan lambaian tangan, lalu berjalan kembali ke pastoran.

Thieman Ca. 1937 Msc-L
Pastor W. Thieman, sekitar 1937.

 

Pembagian:

  1. Kimaam
  2. Tanah Merah
  3. Misionaris untuk Boven Digoel
    1. 1950: Diangkat
    2. 1951: Penjajakan
    3. 1952: Mencari pelopor
    4. Pelopor
    5. Pekerjaan dimulai
    6. 1953: Kali Kasuari
    7. 1954: Pengembangan dan perluasan
    8. 1955: Keadaan yang resah
    9. 1956: Zending masuk
  4. Catatan
  5. Sumber

 

1. KIMAAM

Pulau Kolemon

Wamal

Wilhelm Thieman lahir pada tahun 1904 sebagai anak seorang penjual keliling di kota Amsterdam. Sejak usia dini jelas baginya bahwa dia mau menjadi misionaris. Pada tahun 1931, ketika dia berusia 27 tahun, dia berangkat ke Papua sebagai Misionaris Hati Kudus Yesus (Kongregasi Missionari Sacratissimii Cordis Iesu – MSC).

Lapangan kerja pertamanya adalah Pulau Kolemon yang pada saat itu hampir belum dijajaki.

Pada awalnya ia menetap di Wamal, tak jauh dari Selat Marianne yang memisahkan daratan Papua dari Pulau Kolemon.[2] Dari sana dia mengawasi pekerjaan di delapan kampung kecil di sepanjang pantai pulau Kolemon yang sudah mempunyai ‘pelopor’: seorang perintis Gereja Katolik Roma. (lihat di bawah ini untuk keterangan lebih mengenai fungsi pelopor.) Thieman mulai menjelajahi pulau besar itu, yang berbentuk rawa besar yang penuh dengan nyamuk. Tetapi pastor Thieman memiliki rasa humor, dan dalam laporannya berbicara mengenai Venezia yang baru![3] Masyarakat di sana waktu itu sering agak kasar dan bersikap bermusuhan.

VLuttum - FHEiland - SPE-L
Daerah pantai pulau Kolemon. Foto Van Lottum 1960.

Kimaam

Pada bulan Januari 1936 dia pindah ke kampung Kimaan, yang terletak di pulau itu.

Akhir tahun itu, Jan van Baal menjadi kepala pemerintah bagian selatan Papua.[4] Pulau Kolemon termasuk wilayah pemerintahannya, dan dia segera harus pergi ke sana karena para penduduk pulau itu memberontak. Pastor Thieman ikut serta, karena Van Baal sangat membutuhkan bantuannya untuk mengurus semuanya dengan baik. Perjalanan mereka itu sangat mengasyikkan dan terjadi konfrontasi berbahaya dengan para penduduk pulau itu. Van Baal, yang adalah anggota Gereja Reformasi, kemudian menulis:

“Thieman itu tetap tenang dalam segala situasi. Itu adalah kekuatannya. Sebagai seorang sederhana dari kota Amsterdam, yang menderita asma sedikit, dan yang juga seorang gagap yang dengan tersendat-sendat mengemukakan pendapatnya, dia sama sekali tidak memberi kesan sebagai seorang yang siap mengurus perkara. Menurut saya, itulah sebabnya dia memberikan kesan yang begitu baik kepada orang-orang yang tidak yakin dengan diri mereka sendiri. Jika seseorang mencari bukti untuk pernyataan bahwa justru dalam kelemahan kuasa Tuhan menjadi sempurna (2 Kor. 12:9), mari dia lihat pada kehidupan dan pekerjaan yang tidak mencolok dari Pastor Thieman, yang seumur hidupnya tinggal seorang pastor kelas dua, seorang pengikut biasa Yesus.”

Pastor Thieman tetap tenang. “Saya tidak takut ketika kamu begitu marah dan liar, karena jangan lupa bahwa ‘saya punya Bos Besar’ selalu membelakangi saya.” Dan kemudian dia mulai menjelaskan siapa Bos Besar itu. Imannya yang sederhana tak tersentuh; prinsip dasarnya adalah hubungannya dan keterikatannya dengan Bos Besar. Dia adalah seorang pria doa, tetapi bukan sebagai latihan yang ditentukan. Dalam hatinya yang hangat dan sensitif, Thieman membutuhkan ‘seseorang’. ‘Seseorang’ itu memang ada untuk dia, Thieman dapat berbicara dengan ‘Dia’ begitu saja. Demikian bunyinya pemerian yang diberikan oleh pastor Sneekes, seorang teman misionaris.

VLottum - FHEiland - SPE-L
Rumah di pulau Kolemon. Foto Van Lottum 1960.

Menghilangkan sihir

Sesudah 17 tahun bekerja di Kolemon, Thieman menceritakan anekdot berikut:

Pada suatu saat seorang Papua berbicara kepada saya tentang pekerjaan saya. “Tuan,” kata orang yang berakal sehat ini, “bapak dan Tuan ‘Bestuur’ (pemerintah Belanda) telah melakukan beberapa hal yang bagus di sini. Kamu telah membawa ‘besi’: kapak, pisau, sekop. Pekerjaan sudah menjadi mudah sekarang, lebih cepat, dan kami membuat lebih banyak kebun untuk kebutuhan hidup kami. Kamu telah menghapus ‘pengayauan’, sehingga kami tidak perlu lagi takut diserbu suku lain. Sekarang kami bisa pergi kemanapun kami mau tanpa membawa busur dan anak panah, dan tanpa membawa gada. Kamu memberi kami rumah sakit dan obat-obatan sehingga kami bisa sembuh dan tidak cepat mati. Tetapi satu hal yang belum kamu lakukan, dan itulah yang terutama, karena merusak hidup kami: menghilangkanlah sihir yang membuat kami takut siang malam.” Saya berkata, “Mulailah diri saudara sendiri. Jika saudara tidak lagi melakukan sihir, saudara punya tetangga tidak lagi perlu melakukannya terhadap saudara. Jika saudara punya kampung melepaskannya, maka kampung lain tidak lagi perlu takut lagi saudara punya kampung.” Lalu kepalanya menunduk, risiko itu terlalu besar bagi dia.”

Katolik dan Protestan

Pembagian medan kerja

Pada tahun 1912, pemerintah Belanda telah membagi medan kerja di Nieuw-Guinea. Sebuah garis ditarik dari timur ke barat melintasi pegunungan tinggi di pedalaman: bagian utara ditentukan untuk Zending Protestan, sedangkan bagian di selatan dari garis itu menjadi wilayah kegiatan Misi Katolik.

Akibatnya, Misi Katolik tidak memiliki akses lagi ke wilayah ‘kepala burung’, dan juga kota Fakfak terletak di sebelah utara dari garis pemisah itu.

Sudah sejak akhir abad ke-19 ada komunitas Katolik di Fakfak. Misi diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi karena Fakfak terletak di wilayah yang ditentukan menjadi lapangan kerja Zending Protestan, Misi tidak dapat izin untuk menjalankan kegiatan lebih lanjut di situ. Misi terus menentang aturan ini. Ketika pada tahun 1927 komunitas Katolik di Fakfak mengajukan permohonan kepada uskup di pulau Kei untuk menerima seorang pastor, uskup itu membahas masalah ini lagi dengan pemerintah di Batavia (kini Jakarta). Pada tahun 1928 diadakan konperensi di Ambon antara pemerintah Belanda, Zending Protestan dan Misi Katolik. Hasilnya, bahwa penentuan pembagian medan kerja diperlemah sedemikian rupa sehingga dalam praktiknya pemisahan tersebut dicabut. Keputusan itu merupakan sukses bagi Misi Katolik, dan mereka tidak menyia-nyiakan waktu dan segera mengangkat seorang pastor di Fakfak.

Hessing

Dua tahun kemudian, pada tanggal 15 Mei 1930, pesta peringatan 25 tahun Misi Katolik di wilayah selatan Nieuw-Guinea dirayakan di Merauke dengan upacara-upacara besar. Para pastor dan guru semua datang ke Merauke untuk ikut pesta itu. Dua hari kemudian muncullah seorang pendeta pembantu dari Maluku di Merauke. Namanya Hessing. Dia membawa delapan orang guru Protestan dari Ambon. Selama satu bulan dia berkeliling di seluruh daerah itu. Karena semua karyawan Misi sementara keluar ke Merauke, dia dapat jalan dari kampung ke kampung dengan tidak dihalang-halangi. Hessing memanfaatkan kesempatan itu dan menempatkan empat guru di kampung-kampung di pesisir. Dari empat guru yang tersisa, dia menempatkan dua di wilayah kali Bian, satu di sebuah kampung di kali Kumbe, dan satu di sebuah kampung di kali Maro.

Tentu saja Misi Katolik memprotes keras penyusupan Zending Protestan ke daerah pelayanan mereka. Tapi sekaligus Misi bergegas menempatkan seorang guru Katolik di sebanyak mungkin kampung di pedalaman. Dengan demikian terjadi semacam perlombaan antara Misi Katolik dan Zending Protestan.[5]

Kolemon Dari Angkasa Met Namen
Pulau Kolemon dilihat dari angkasa

Kolemon

Zending Protestan mengancam untuk memasuki wilayah yang ditugaskan kepada pastor Thieman. Dari Okaba, mereka berhasil menempatkan guru-guru Injil di beberapa kampung yang terletak ke arah kali Digul, yaitu di Nakias, Kiwalan dan Imahui. Untuk mencegah Zending melintasi pintu masuk utara Selat Marianne dan juga menempatkan guru Protestan di Pulau Kolemon, sudah pada perjalanannya yang pertama pastor Thieman menempatkan seorang pelopor di Ilwajab. Dengan demikian dia sepertinya sudah mengamankan pulau itu untuk Misi Katolik.

Lebelauw - Indisch Historisch Museum-L
I.A. Lebelauw (lahir 1893 di Ambon)

Saat itu ada seorang Bestuurs Ambtenaar (Pejabat Pemerintah Belanda, singkatan B.A.) yang bernama Lebelauw, seorang anggota gereja Protestan. Dia mencoba membujuk orang supaya mereka akan mengundang Zending Protestan ke pulau Kolemon. Pada kunjungannya bersama penguasa Merauke, Lebelauw menyita sebuah gedung sekolah di Kimaam yang baru saja dibangun oleh Misi Katolik. Dia ingin mengubahnya menjadi rumah sakit. Pastor Verhoeven di Merauke berhasil mencegah usahanya itu. Tetapi kejadian ini membuat Misi Katolik sadar bahwa secepat mungkin perlu seorang guru Katolik ditempatkan di Kimaam. Itulah sebabnya pastor Thieman memindahkan guru dari kampung Teri (yang adalah kampung kecil) ke Kimaam (yang kemudian menjadi kampung utama pulau itu).

Meski begitu, bahayanya belum sepenuhnya berlalu. Ada banyak pedagang Protestan dan pengasuh Ambon di daerah itu. Mereka hampir sepenuhnya bergantung pada hubungan kapal Misi Katolik untuk persediaan makanan dan pengiriman surat mereka. Ketika mereka terus menghasut orang untuk mengundang guru dari Zending Protestan, pastor Thieman mengancam bahwa dia tidak akan lagi membantu mereka dengan kapalnya. Baru sesudah itu mereka mundur.

Bagi Thieman, tindakannya itu luar biasa keras, dan sama sekali tidak sesuai dengan sikapnya. Tidak pernah ada kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya menentang para pedagang dan para orang Protestan itu. Sambil tersenyum, dia selalu berhasil mempertahankan suasana hatinya yang riang terhadap semua orang.

Selesai perang dengan Jepang, pastor Thieman akhirnya bisa pergi cuti ke Belanda, 16 tahun setelah ia berangkat dari tanah airnya. Ibunya yang pada saat itu sudah berusia 81 tahun dengan sabar menunggu kedatangan anak kesayangannya. Tidak lama sesudah Thieman tiba, ibunya meninggal. Ayahnya sudah meninggal sebelum dia berangkat ke Nieuw-Guinea untuk pertama kalinya.

 

2. Tanah Merah

Pastor Vertenten

Kunjungan pertama Misi Katolik ke daerah Muyu adalah perjalanan pastor Vertenten pada bulan Oktober 1923.[6] Perjalanan itu dibuatnya bersama dengan asisten residen Van Haastert dan dokter Thierfelder. Melalui Bupul dan Muting mereka menembus ke Asiki. Di sana mereka naik kapal pemerintah Anna, dan naik kali Kao. Pada hari ketiga mereka lewat muara kali Muyu. Selama dua hari lagi mereka berlayar terus, sampai air kali menjadi terlalu dangkal dan pohon-pohon tumbang menghalangi kapal berlayar lebih ke atas lagi. Mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, sampai di Ogemkapa.

Vertenten Msc Ca 1920-L
Pastor Petrus Vertenten msc (1884-1946).

Pastor Verhoeven

Pada akhir bulan Januari 1927, sekelompok tentara yang dipimpin oleh Kapten Becking mulai membersihkan tempat di tepi kali Digul untuk membangun kamp pengasingan. Itulah awal dari Tanah Merah.[7]

Sudah pada bulan April tahun itu, pastor Verhoeven pergi ke Tanah Merah untuk mencari tahu keadaan di situ. Waktu dia tiba, ternyata Kapten Becking sementara keluar untuk melakukan penjajakan. Selama empat hari Kapten Becking naik kali Digul dangen perahu motor, baru melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki selama dua hari lagi. Pada perjalanannya itu, Kapten Becking hampir tidak ketemu orang.

Ketika dia kembali di Tanah Merah, kebetulan mau Paskah. Hari-hari itu pastor Verhoeven berunding dengan Kapten Becking untuk melakukan perjalanan ke kali Kao dan kali Muyu. Pada hari Kamis setelah Paskah, pastor Verhoeven berangkat bersama dengan Letnan Drejer, lima orang tentara, dan enam orang yang pikul barang. Mereka berlayar naik kali Kao sampai lewat muara kali Muyu. Di sana mereka memasuki wilayah yang lebih berpenghuni, dengan banyak rumah tinggi dan banyak kebun. Mereka jalan terus sampai ke Ogemkapa.

Kembali di Tanah Merah, pastor Verhoeven naik ‘kapal putih’ yang melalui Tual (di kepulauan Kei) ke Merauke – rute kapal yang biasa pada saat itu. Karena waktu itu Tual adalah ibu kota keuskupan, dia dapat kesempatan untuk langsung melaporkan perjalanannya ke Uskup Aerts.[8] Hasil pembicaraan mereka itu adalah proyek Misi Katolik yang baru, yaitu wilayah Muyu.

Verhoeven Met Marind - Vertenten 1924-L
Pastor N. Verhoeven dengan seorang Marind, 1927. Foto diambil oleh pastor Vertenten.

Pastor Neijens

Kapten Becking dengan penuh semangat mulai membersihkan tempat di Ogemkapa untuk mendirikan gedung-gedung Misi. Namun, ketika dia mengundurkan diri dari jabatannya dan kembali ke Batavia, pemerintahan militer di Tanah Merah digantikan oleh pemerintahan sipil. Pembukaan Ogemkapa tidak diteruskan, sehingga saat itu pos Misi Katolik di Muyu tidak jadi. Kekurangan tenaga juga menyebabkan bahwa Misi belum bisa menempatkan seorang pastor di Tanah Merah. Oleh sebab itu, mereka mengatur bahwa dua kali setahun pastor Neijens dari pulau Kei akan datang mengunjungi umat Katolik di Tanah Merah.

Konperensi para pastor di Merauke 1931 memutuskan untuk memprioritaskan kerja di wilayah kali Bian (daerah Muting) daripada kerja di wilayah Boven-Digoel.

Pastor Hoeboer 

Pastor Hoeboer sudah bekerja di Muting sejak tahun 1930. Dia harus berusaha mencegah Zending Gereja Protestan Maluku akan menduduki lebih banyak kampung lagi di daerah itu.

Ketika orang dari Marind tidak lagi datang berburu kepala manusia di wilayah Digul atas, orang-orang dari atas sudah turun dan menetap di daerah hulu kali Bian. Pada bulan Agustus 1932, pastor Hoeboer ikut pendatang yang berasal dari Digul atas itu dan pergi lihat tanah asal mereka di aliran kali Kao dan kali Muyu. Mereka jalan kaki sampai ke tempat di mana di kemudian hari letaknya kampung Mindiptana. Dari sana mereka potong ke Tanah Merah.

Setelah perjalanan itu diambil keputusan bahwa pastor Hoeboer akan mengambil alih kunjungan rutin dari pastor Neijens. Setiap triwulan dia akan mengunjungi Tanah Merah.

Tahun berikut pastor Hoeboer ditunjuk untuk menjadi pastor di daerah Muyu. Pada bulan November, didirikan gedung gereja kecil di Tanah Merah, dengan dua ruangan untuk penginapan pastor yang berkunjung, serta suatu rumah untuk guru dan suatu gedung sekolah. Bangunan-bangunan itu disiapkan sebelumnya di pulau Kei. Guru Katolik pertama yang menetap di Tanah Merah adalah guru Palit. Zending Gereja Protestan Maluku juga membuka suatu sekolah di Tanah Merah. Pastor Hoeboer pindah ke Ninati dan menjadi perintis pekerjaan di Muyu. Di sana ia memperoleh nama Kambarim Taarep, ‘kepala agung’. Pada akhir tahun 1937, pastor Hoeboer pindah dari Ninati ke Mindiptana.

Hoeboer Vlak Voor Vertrek Naar Muting - Foto Verhoeven Msc 2-L
Pastor P. Hoeboer siap berangkat ke Muting (foto N. Verhoeven msc)

Pastor Meuwese

Pastor Meuwese tiba di Tanah Merah pada tanggal 18 Juni 1937. Dia diangkat menjadi pastor untuk daerah kali Mappi bawah, dan menetap di Tanah Merah. Dari sana ia mulai berpatroli di daerah Mappi bawah. Dia juga bekerja di dua kampung kecil di daerah Mandobo: Guam dan Kitina. Dua kampung itu terletak di hilir kali Mandobo. Sayanglah tidak lama baru kedua kampung itu ditinggalkan lagi oleh masyarakat.

Pastor Meuwese mendukung kebijakan yang kuat, dan sangat tidak puas dengan cara pemerintah Belanda bekerja di daerah itu. Pada bulan Desember 1939 ia menulis kepada Uskup Aerts:

“Sangat gelisah di sekitar Tanah Merah. Secara keseluruhan, urusan militer di sini adalah gerakan yang sangat lemah. Kapten di sini [Kapten Wiarda]  tidak berani bertindak karena takut kehilangan pekerjaannya (…). Dia takut bahwa pemerintah di Ambon dan di Jawa tidak memahami hal-hal di sini. Hal itu akan menyebabkan pembantaian yang serius dalam waktu yang tidak lama lagi.”

Pemerintah menempatkan seorang Bestuurs Ambtenaar (B.A.) di Tanah Merah. Pada prinsipnya pastor Meuwese sangat senang dengan itu. Tapi dia gelisah ketika dia mengetahui siapa yang diangkat:

“Saya rasa kecewa mendengar bahwa B.A. itu adalah pk Lebelauw, karena tampaknya dia telah sangat kacau di Merauke. Oleh karena itu, saya berharap setidaknya kapten [Wiarda] itu segera akan berangkat dari sini, karena dia pertama-tama orang Ambon, dan di mana dia bisa dia akan melindungi orang Ambon lainnya.” 

Diangkat seorang kapten baru, kapten Houbolt. Tapi menurut Meuwese, dia pun bertindak terlalu lunak. Dia khawatir bahwa jika itu terus berlanjut, tidak lama lagi akan terjadi pengayauan yang hebat. Dan memang, pada tahun itu juga terjadi pengayauan besar di Mappi, di mana sekitar 100-200 jiwa menjadi korban.

Meuwese lebih senang dengan pengganti kapten Houbolt, komandan Bouwman, yang mengambil tindakan yang mantap.Setidaknya pada awalnya. Pada bulan Oktober 1942, ketika perang dengan Jepang telah pecah, pastor Meuwese menulis: “Orang-orang memperhatikan bahwa untuk sementara waktu Pemerintah telah bertindak keras, tetapi kemudian tidak muncul lagi.”

Setelah Merauke dibom oleh Jepang, ada berita angin bahwa semua orang kulit putih telah mati, bahwa Jepang sudah berada di Merauke dan mengatakan bahwa guru yang mencegah orang pergi berburu kepala manusia akan ditangkap.

Di mana-mana orang bersiap untuk melakukan pengayauan. Sementara itu, Lebelauw telah meninggalkan Tanah Merah dan tinggal di Yodom.

Meuwese - SPE-L
Pastor Meuwese (1906-1978)

Setelah perang

Pada awalnya, di tahun 1920-an, lokasi Tanah Merah dipilih untuk mendirikan kamp interniran di situ. Tempat itu paling cocok untuk tujuan itu karena letaknya sangat terisolir di daerah yang jarang penduduknya. Orang yang diasingkan disini hampir mustahil bisa melarikan diri.

Seusai perang, Tanah Merah tampaknya telah kehilangan dasar keberadaannya itu. Kamp interniran kosong dan sepi. Nieuw-Guinea bagian selatan sementara menderita kekurangan tenaga, material, dan transportasi. Para pejabat dan orang lain mulai pindah dari Tanah Merah ke tempat-tempat lain. Misi pun berangkat dari situ. Pastor Meuwese bongkar berbagai bangunan Misi dan membawanya ke Kepi untuk dibangun kembali di sana. Pada bulan Mei 1947, dia sendiri pindah juga. Akhirnya, pada tahun 1949, sekitar 2/3 dari semua rumah di Tanah Merah sudah kosong. Perlahan tapi pasti Tanah Merah berubah menjadi kampung hantu yang suram, dikelilingi oleh hutan gelap yang tidak menyenangkan. Sangat menyedihkan bagi orang-orang yang masih tinggal di sana.

Salah satu dari mereka yang masih tahan di Tanah Merah adalah Rafaël den Haan, HPB pertama di Tanah Merah setelah perang. Menurut dia, Tanah Merah tidak bisa diperhatankan lagi sebagai pos Pemerintah. Apalagi, dari awalnya itu tidak pernah dimaksudkan juga. Menurut dia, lokasinya sama sekali tidak cocok untuk itu, karena daerah Mappi dan daerah Muyu dapat diatur jauh lebih baik dari Yodom dan dari Mindiptana. Lagi pula, Tanah Merah memiliki reputasi yang sangat buruk dari segi kesehatan. “Mempertimbangkan semuanya ini, menurut saya perlu diambil keputusan untuk dalam jangka waktu pendek meninggalkan Tanah Merah sebagai tempat pusat pemerintah wilayah Boven Digoel”.

Rekomendasinya ternyata tidak diterima. Orang mulai sadar bahwa Tanah Merah mempunyai berbagai fasilitas yang masih kurang di tempat-tempat lain, seperti bandara, pelabuhan, dan banyak bangunan yang masih bisa digunakan dengan baik. Oleh karena itu Tanah Merah dipertahankan sebagai pos pemerintah untuk seluruh wilayah Mappi dan Muyu.

Pada tahun 1953, wilayah Mappi (Kepi) dipisahkan dari Boven Digoel. Sama pula daerah Muyu (Mindiptana) pada tahun 1955.

Tanah Merah menjadi tempat penjara. Bangunan-bangunan yang tua, yang didirikan pada zaman sebelum perang dengan Jepang dan yang sudah mulai rusak, direhab. Dengan perlahan-lahan, semua ruang hidup digunakan kembali. Tidak ada lagi orang yang mengusulkan untuk membubarkan pos pemerintah di Tanah Merah.

 

3. Misionaris untuk Boven Digoel

Apperloo 00-016-L
Pastor Thieman di Tanah Merah

1950: diangkat

Tidak lama setelah pastor Thieman pulang dari cuti pada tahun 1948, uskup pertama di Merauke, Mgr Tillemans, mengangkatnya menjadi misionaris di Tanah Merah untuk daerah Digul Atas.

Pada September 1950 Thieman sudah melakukan kunjungan orientasi ke Tanah Merah. Pada kesempatan itu dia juga membuat dua patroli singkat. Yang pertama ke hilir kali Digul sampai lewat muara kali Mandobo. Dalam perjalanan itu ia mengunjungi tiga kampung kecil, yaitu Okiba, Pulau Ikan, dan Sabkaheng. Kemudian dia naik kali Digul sampai ke Tanah Tinggi. Di sana dia tidak menemukan kampung sama sekali. Tak seorang pun di Tanah Merah, baik HPB Thenu, maupun kepala polisi Bauer, atau pejabat lainnya, tahu apa yang sebenarnya ada di hutan. Kesan umum adalah bahwa hanya sedikit orang yang tinggal di sana. Tetapi orang Papua yang dari hutan datang mengunjungi Tanah Merah berbicara tentang banyak orang dan kampung-kampung besar. Siapa yang harus dia percaya?

Tanah Merah pada saat itu sudah sunyi. Fasilitas Misi pun sudah kurang bagus, karena beberapa bangunan telah dibongkar ketika pastor Meuwese pindah ke Kepi. Di luar Tanah Merah belum ada umat Katolik, tetapi di Tanah Merah sekitar setengah dari populasi tergabung dalam kawanannya. Memang ada juga sejumlah pejabat yang berasal dari Ambon yang beragama Protestan. Berarti, dari awalnya pastor Thieman harus berwaspada: bisa saja pejabat-pejabat Protestan itu nanti mengundang gereja Maluku untuk membuka pos Zending di Tanah Merah.

Sudah jelas bahwa pastor Thieman menghadapi tugas rintisan baru di sini. Dan sekali lagi itu menyangkut wilayah yang luas sekali: seluruh daerah antara kali Muyu dan kali Mappi, dari Getentiri di selatan sampai ke pegunungan.

1951: penjajakan

Pada tanggal 18 Mei 1951, pastor Thieman berangkat dari Merauke untuk menetap di Tanah Merah. Perjalanannya dengan kapal makan waktu lima hari. Dengan keramahannya yang biasa, Thieman menjalin persehabatan dengan orang di Tanah Merah dan di kampung-kampung luar.

Kaart Werkgebied Thieman ZGK-79 V5

Patroli-1

Sesudah dia tiba di Tanah Merah, langsung pada hari berikutnya dia sudah masuk hutan untuk ikut HPB baru bpk Nieland ke Mindiptana.

Patroli-2

Pada awal bulan Juni dia mengunjungi orang-orang di kali Yer, sedikit di bawah Tanah Merah.

Patroli-3

Berikut pastor Thieman naik perahu untuk patroli ke kampung-kampung di hilir kali Digul. Dia mengunjungi Okiba yang baru dibuka. Selanjutnya ia tiba di Pulau Ikan yang pindah ke tempat baru Bana. Masih lebih jauh ke hilir lagi, melalui Kitina (4 rumah, tidak ada orang), Okke Susu (di mana keadaan yang resah karena ada lima kematian), ke Sabkaheng. Kepala kampung yang terakhir itu mengatakan bahwa semua guru itu baik kecuali yang dari pulau Kei, karena mereka gila perempuan. Mungkin ucapannya itu tentang mantan guru Kitina, tetapi Thieman curiga bahwa pernyataan itu berasal dari pejabat pemerintah Soepit yang seorang Protestan. Rupanya dia berpengaruh besar di Aridua, suatu kampung yang masih sedikit lebih jauh ke selatan lagi.

Patroli-4

Pada bulan Juli pastor Thieman pergi ke Kepi, untuk ikut merayakan pesta besar damai antara orang Jaqai dan orang Awyu. Waktu pulang dari sana, dia ikut HPB Nieland jalan kaki dari Kepi melalui Masin menyeberang kali Wildeman menebus ke Tanah Merah melalui daerah Awyu dan Jair. Perjalanan selama dua minggu menjelajahi banyak dusun. Belum ada kampung di daerah itu.

IMG 4530-L-3
Pada perayaan di Kepi, 1951. Dari kiri ke kanan, di depan: pastor Meuwese, HPB Nieland, Pastor Verschueren, uskup Tillemans, pastor De Brouwer. Garis kedua, di sebelah kanan: pastor Thieman.

Patroli-5

Seminggu kemudian dia pergi menjajaki wilayah suku Mandobo. Kadang dia tidur di hutan, kadang di dusun. Dengan teliti dia mencatat nama-nama dusun dan kali, jarak yang ditempuh, arah yang ditunjuk oleh panah kompas. Pertama die pergi ke timur laut, sampai mereka mencapai kali Mandobo. Mereka mengikutinya ke arah utara menuju dusun Mangarab. Dari sana mereka berbelok ke barat, menyeberang kali Minggit, dan tebus di Tanah Tinggi. Para pengikutnya takut, tetapi mereka diterima dengan baik oleh orang di Tanah Tinggi, dan tidak lama baru mereka semua sudah menjadi sahabat karib.

Malam itu, pastor Thieman cari tahu informasi mengenai orang yang tinggal lebih ke atas. Rupanya dia tidak memperoleh banyak data konkret, karena dia tidak tulis apa pun mengenai hal itu dalam buku catatannya, dan di bulan-bulan berikutnya dia tidak pergi sendiri menyelidiki daerah itu . Daerah lain lebih diutamakan.

Patroli-6

Pada tanggal 2 Oktober, Thieman berlayar dengan perahu ke kampung Aridua, tepat di atas muara kali Kao. Itu kampung kecil saja, tapi mereka memang minta seorang guru, asal dia bukan berasal dari pulau Kei. Mereka sudah mau mulai membangun rumah untuk guru itu, tetapi pastor Thieman mengatakan bahwa mereka harus tunggu dulu. Sebabnya, kampung ini tidak jauh dari tiga kampung lain di pinggir kali Kao, yang dilayani oleh pastor Van Dongen di Muting.
Dari Aridua, pastor Thieman melakukan perjalanan panjang menjelajahi daerah antara kali Digul, kali Kia dan kali Edera. Pertengahan bulan Oktober dia kembali di Tanah Merah.

Bertahun-tahun kemudian dia mendengar bahwa sekitar waktu ini HPB Nieland pernah tanya kepada beberapa kepala kampung di hulu kali Muyu, ketika belum ada guru di sana, “Kamu mau guru siapa?” Mereka menjawab: “Guru siapa? Asal kami dapat guru, ada macam-macam kah?” Selanjutnya B.A. kirim permohonan ke Merauke, “atas nama rakyat yang setuju akan minta guru-guru zending.”

IMG 4772-L
Tuan Tanah Getentiri (yang dulu disebut Tanah Tinggi), sekitar 1955

Patroli-7

Pada bulan November, Thieman menumpang kapal sampai ke Wataran, lalu meneruskan perjalannanya dengan berlajan kaki. Kampung pertama yang ia kunjungi di sana adalah Tanah Tinggi. Jangan mengacaukan kampung itu dengan tempat di sebelah utara dari Tanah Merah yang pakai nama yang sama. Ketika kemudian hari kampung ini  menjadi pos pemerintah dan pos Misi dengan pastornya sendiri, namanya diubah menjadi Getentiri.

Ketika pastor Thieman mengunjungi kampung ini ternyata sudah ada seorang guru yang bekerja di sana. Namanya Ernest Boderop, dari suku Mandobo. Dia seorang yang bermulut besar, yang banyak omong tetapi hasilnya sedikit. Lebih baik dia diganti dengan seorang guru yang lebih mampu, menurut pastor Thieman.

Dari sana pastor Thieman menyusuri kali Kao ke atas. Ia mengunjungi kampung Wataran (perlu gereja baru dibangun di sana), Kukurantap (kampung yang rapih), dan Kinggu (kampung yang menyedihkan yang tidak ada apa-apa selain orang tua dan banyak anjing). Dari kampung itu dia ikut jalan melalui hutan ke Omba dan Tutainon, sebuah kampung ganda di pinggir kali Digul yang kemudian hari menjadi satu. Dalam perjalanan kembali ke Tanah Merah ia lewat kampung-kampung yang telah dia kunjungi sebelumnya, yaitu Sabkaheng, Okke Susu, Bana, Manggo, dan Okiba.

Singkatnya

Itu adalah dua patroli pendek dan lima patroli yang agak panjang melalui daerah yang hampir belum dikenal, dalam jangka waktu 6 bulan. Itulah merupakan suatu prestasi yang luar biasa! Dan dengan tujuh patroli itu belum juga seluruh wilayah pelayananya sudah dijajakinya.

Brug Bouwen (8)-L
Suatu patroli menyeberang kali yang banjir.

1952: mencari pelopor

Patroli-8

Setelah Natal dan Tahun Baru di Tanah Merah, pada bulan Januari 1952 pastor Thieman melanjutkan rencana patrolinya. Kali ini dia pergi ke daerah Mandobo utara. Pertama dia berjalan ke utara menyusuri kali Digul ke atas. Dia menyeberang kali Minggit dan bertemu kelompok Piter yang sudah dia temui pada perjalanan pertama. Kelompok itu sudah menyeberang kali Digul karena mereka takut pada orang-orang Mappi. Pastor Thieman berjalan terus sampai lewat Tanah Tinggi; di sana orang ingin membuka kampung di atas bekas kamp ‘komunis’ yang lama. Lebih ke atas lagi mereka sampai ke Mariam. Tempat itu kurang memuaskan: ada tiga rumah saja, dan kebanyakan orang keluar ke pesta babi. Satu jam jalan kaki lebih jauh ke atas dan sedikit masuk hutan pastor Thieman sampai ke Ranugut; di tempat itu hanya ada dua rumah.

Sneekes Woning Mindiptana 1960-L
Rumah pastor Sneekes di Mindiptana.

Pengkor

Sebenarnya, dia ingin pergi lebih jauh ke utara lagi, untuk bertemu dengan gerombolan Pengkor yang katanya tinggal sekitar sana.[9] Tetapi pemandu yang dia bawa dari Mariam tidak mau menghantarnya ke sana, karena takut orang-orang itu. Akibatnya, orang lain juga mulai takut dan tidak mau lagi terus ke atas. Jadi terpaksa dari Ranugut mereka masuk hutan untuk menebus ke kali Mandobo. Pada awalnya pastor Thieman masih coba sebanyak mungkin pilih jalan ke arah utara untuk mencoba menjangkau tempat tinggalnya gerombolan Pengkor, tetapi usahanya itu tidak berhasil.

Mereka jalan dari dusun ke dusun, belum ada kampung di mana pun. Pada pagi hari yang kelima mereka sampai di kali Mandobo. Mereka menyeberang kali itu dan melanjutkan perjalanan. Hari berikut mereka tiba di Mindiptana.

Selama satu minggu penuh pastor Thieman tinggal di di Mindiptana. Dia menginap di rumah pastor Sneekes. Dia berharap mendapatkan beberapa orang ‘pelopor’ atau guru dari sini. Ia sangat membutuhkannya supaya dia dapat menempatkan mereka sebagai guru di kampung-kampung yang mulai berkembang di sepanjang kali Digul antara Tanah Merah dan Tanah Tinggi (bawah). Tetapi orang Muyu tampaknya takut pada orang Mandobo dan orang Jair, dan tidak mau ke sana.

Ke Merauke

Kembali di Tanah Merah, Thieman ambil keputusan untuk pergi ke uskup untuk membahas masalah ini dengan dia. Pada awal bulan Pebruari 1952 dia ikut pesawat ke Merauke. Dua minggu kemudian dia kembali ke Tanah Merah. Hasilnya sedikit saja: dia akan dapat tiga orang ‘polopor’ dari pastor Van Dongen (Muting), dan satu dari Kepi. Setidaknya itu sesuatu, tulisnya dalam buku hariannya.

Sambil menanti kedatangan mereka, dia pergi mengunjungi kampung-kampung di pinggir kali Digul antara Tanah Merah dan Tanah Tinggi (bawah). Dia yakin dia telah menjelajahi seluruh daerah yang ditugaskan kepadanya. Namun ada bagian kosong yang mencolok, di mana dia belum membuat patroli, yaitu daerah di atas Mariam di sebelah barat kali Digul.

Pelopor

Di atas ini sudah beberapa kali disebutkan ‘pelopor’. Mereka itu siapa, dan apa persis pekerjaan mereka?

Tugas Pelopor

Segera setelah di salah satu tempat dibuka sebuah kampung yang cukup besar (jumlah penduduk sekurang-kurangnya 100 jiwa), Misi menempatkan seorang ‘pelopor’ di sana: seorang pria Katolik dari wilayah lain, yang menetap di kampung itu sebagai ‘guru’. Tugasnya agak berbeda dan lebih sederhana daripada tugas seorang guru sekarang ini, tetapi sekaligus jauh lebih luas juga. Alasan sebuah kampung untuk meminta seorang pelopor seringkali karena mereka ingin belajar bahasa Melayu – itu merupakan bagian dari kemajuan! Jadi, seorang pelopor memang harus mengajar anak-anak, setiap hari satu atau dua jam. Dalam rangka itu dia mengajarkan doa-doa dan nyanyian-nyanyian, serta katekismus Katolik, dan mungkin mengajar mereka sedikit membaca dan menulis juga. Tapi sama pentingnya bahwa dia membuat orang kampung terbiasa dengan disiplin dan mengikat mereka ke kampung. Dia bercerita kepada mereka mengenai zaman baru, dan mengenai kemajuan di kampung halamannya sendiri. Ia bergaul dekat dengan masyarakat. Bersama dengan anak-anak kampung dia membuat kebun sekolah, dan dia coba menjual hasilnya supaya mereka memperoleh uang untuk bisa membeli pakaian. Seringkali dia membawa ayam juga, yang sebelumnya belum ada di kampung baru.

VdVelden-jonge Pater-L
Pastor Jacobus van der Velden msc, sebelum dia mengundurkan diri dari kepastoran.

Pastor Jacobus van der Velden

Tentu saja, baik buruknya semuanya itu semata-mata tergantung dari pribadinya polopor itu. Apa kemampuannya; apakah dia seorang jujur ​​dan bertanggung jawab. Terutama di masa-masa awal, seorang pelopor biasanya hampir tidak pernah dapat latihan yang mempersiapkannya untuk pekerjaan ini. Tetapi meskipun mungkin pendidikan yang dia miliki agak sedikit, namun di semua bidang itu – agama, sosial, budaya, dan ekonomi – dia memiliki pengaruh yang melampaui beberapa jam yang dia mengajar di sekolahnya. Dalam suatu surat kepada Siegfried Stokman, yang pada saat itu mewakili Partai Katolik di Perwakilan Rakyat di Belanda, pastor Koos van der Velden mencoba menjelaskan hal itu. Rupanya dalam pembicaraannya, bpk Stokman itu telah mengucap kata-kata yang merendahkan pekerjaan para pelopor itu. Tetapi, tulis pastor Van der Velden,

“di mana ada seorang pelopor atau katekis, pembunuhan dan pengayauan berakhir, dan jadilah kampung, taman, jalan, dan banyak hal lain lagi, dan tentu saja juga agama. (…) Mereka bukan pejabat pemerintah, memang, tapi mari kita bersyukur bahwa ada orang-orang muda yang, betapa sederhana pun kemampuan mereka, bersedia dalam beberapa tahun pertama menjembatani kekosongan itu.”

MKD-047-L
HPB Peters pada suatu patroli.

HPB Peters

Juga bpk Peters, HPB di Tanah Merah, menguraikan secara panjang lebar karya para pelopor, dengan penilaian positif. Mereka menggalakkan pembangunan kampung; dan karena mereka lebih mampu bicara bahasa Malayu dan juga tahu sedikit bahasa lokal, mereka sangat berharga bagi pegawai pemerintah, sebab mereka dapat bertindak sebagai perantara ketika pemerintah atau polisi mengunjungi kampungnya. Begitulah katanya.

Sneekes-L
Pastor Sneekes di Mindiptana.

Pastor Sneekes

Para polopor itu adalah tenaga yang sangat berharga, demikian juga kata pastor Sneekes, yang dalam buku tipis yang ditulisnya mengabdikan satu bab antero kepada mereka. Menurut dia, kita tidak bisa tidak memerasa hormat sedalam-dalamnya terhadap orang-orang yang sederhana itu, yang ditinggalkan sendirian di dalam kampung-kampung para pemenggal kepala dan anak-anak mereka.

Apperloo 00-019-L
Orang Jair.

Pekerjaan dimulai

Pada bulan Maret dan April tahun itu datanglah tiga pelopor-pelopor yang pertama, yaitu Celcus Keizé yang berasal dari Keiza (suatu kampung di kali Bian, di sebelah selatan dari Muting), Rahalus, dan Lukas Aitiap. Setelah perayaan pesta Paskah mereka mulai bekerja: Celsus di Okiba, Lukas di Sabkaheng, dan Rahaloes di Bana.

Pada bulan-bulan berikutnya, pastor Thieman memusatkan perhatiannya pada bimbingan guru-guru baru itu. Beberapa kali dia mengunjungi kampung-kampung mereka di bagian selatan kali Digul. Dia tetap waspada terhadap tanda-tanda aktivitas orang Protestan. Pada perjalanan-perjalanannya, dia sering bertemu dengan B.A. Soepit, dan tiap kali dihadapkan dengan pengaruhnya. Contohnya, kepala kampung Aridua terus meminta seorang guru Protestan. Pada bulan April, pastor Thieman mencatat dalam buku hariannya bahwa HPB bpk Nieland, seorang yang beragama Protestan, telah membawa sejumlah Alkitab Protestan dari Merauke untuk dijual di Tanah Merah. Pendeta Manuputty dari Gereja Protestan Maluku mengunjungi Tanah Merah untuk membaptis beberapa anak Protestan.

Pada bulan Juli pastor Thieman melakukan patroli besar untuk menjajaki daerah antara kali Edera dan kali Kia; tampaknya wilayah itu berpenduduk sedikit saja.

Pada bulan Oktober dia dapat menempatkan seorang pelopor di Aridua. Jadi pada akhir tahun itu ada lima orang pelopor yang bekerja di wilayah pelayanannya.

Kawagit Digul Arup - Ambas Manyanggatun-L
Muara kali Kasuari di kali Digul. Di atas kelihatan Kawagit. Foto Ambas Manyanggatun 2021.

1953: kali Kasuari

Patroli Pemerintah

Segera setelah pergantian tahun, pastor Thieman bergabung dengan patroli pemerintah yang dipimpin oleh Jellese, kepala pos polisi di Tanah Merah, dengan 15 tenaga polisi dan 16 orang pikul. Rencana mereka untuk jalan kaki melalui Tanah Tinggi ke Koreom, lalu membelok melalui batu-batu kapur ke arah kali Digul. Dari sana mereka rencana turun ikut kali Digul, menjajaki daerah kali Kasuari, lalu kembali ke Tanah Merah. Tetapi rencana itu gagal. Mereka berhasil mencapai Koreom, tetapi tidak berhasil menembus ke kali Digul. Salah satu soal adalah bahwa mereka hampir tidak bisa dapat pemandu yang baik. Dan ketika mereka dapat, pada suatu saat pemandu itu melarikan diri untuk memperingatkan penduduk yang tinggal lebih jauh bahwa patroli pemerintah ada datang. Akibatnya bahwa pasti mereka hanya akan menemukan rumah-rumah kosong, sehingga tidak bisa mendapat makanan. Itulah sebabnya Jellese mengambil keputusan untuk mengubah rencananya, dan membuat beberapa rakit untuk hanyut turun kali Takum.

Mereka tebus di kali Digul hanya satu-dua tikungan di bawah muara kali Kasuari. Tapi mereka tidak bisa melawan arus dengan rakit itu. Tidak ada pilihan lain selain hanyut turun kali Digul dan kembali ke Tanah Merah. Pastor Thieman sangat kecewa, karena alasan utama dia ikut dengan patroli itu adalah untuk mengunjungi daerah kali Kasuari.

Dalam perjalanan kembali ke Tanah Merah mereka lewat Tanah Tinggi, tetapi orang di situ belum mulai membuka kampung; mereka takut pada orang yang lebih jauh ke pedalaman.

Pada bulan Mei ada dua pelopor baru yang datang: Wilhelmus Torredai, dan Matheus Ndiken. Yang pertama pergi ke kampung ganda Omba – Tutainon, yang kedua ke Manggo.

Patroli Thieman

Kemudian, pada tanggal 17 Mei 1953, untuk pertama kalinya ada orang dari daerah kali Kasuari yang muncul di Tanah Merah. Pada tahun 1938, ekspedisi Rummelen (dari Perusahaan Emas) sudah menemukan kali itu, dan dialah yang menamakannya kali Kasuari; dia menyusuri kali itu selama dua hari, kira-kira 23 kilometer, menurut perkiraannya sendiri. Mereka tidak bertemu dengan penduduk daerah itu, tetapi mereka menemukan butiran emas. Itulah menjadi sebabnya petualang Van Stockum pergi ke sana, tetapi dia dibunuh oleh orang-orangnya sendiri karena die memperlakukan mereka dengan terlalu kasar. (lihat catatan 9)

Tentu saja pastor Thieman sangat senang bertemu dengan orang dari kali Kasuari, terutama setelah pengalaman yang mengecewakan beberapa bulan sebelumnya. Dia mengambil keputusan untuk memanfaatkan kesempatan itu dan pergi ikut orang dari kali Kasuari itu untuk menjelajahi daerah mereka. Beberapa anak muda berangkat lebih dahulu untuk mengumpulkan orang-orang di sana.

Pada tanggal 23 Juni, orang kali Kasuari dengan pastor Thieman berangkat dari Tanah Merah. Semuanya dalam satu perahu dayong. Mereka hanya berkembang dengan lambat karena melawan arus. Hari kedua mereka sampai ke Tanah Tinggi; di sana sudah ada dua rumah yang sedang dibangun. Di Mariam orang belum buka kampung, dan lebih ke atas juga belum ada apa-apa.

Setelah satu minggu mereka tiba di muara kali Kasuari. Hari-hari berikutnya mereka naik kali itu, dan mereka juga melakukan perjalanan dua hari di hutan untuk mencari orang. Mereka bertemu dengan beberapa orang (di dusun Akambrop dan dusun Kobagajob), tetapi semuanya sedikit mengecewakan. Pada tanggal 7 Juli pastor Thieman kembali di Tanah Merah. Belakangan bulan itu, patroli polisi pergi ke kali Kasuari dan naik kali itu sampai tempat di mana kali Murup dan kali Kasuari menyatu alirannya.

Mandobo utara

Pada bulan Oktober pastor Thieman berpatroli di daerah Mandobo utara. Di wilayah itu B.A. Leasiwal secara aktif terlibat dalam pembukaan kampung-kampung baru di sepanjang jalan menuju Koreom. Di kampung Pos sudah ada 12 rumah.

Sejak bulan Pebruari bpk Stefels sudah menjadi HPB di Tanah Merah. Pastor Thieman curiga bahwa dia juga mencoba mencari peluang untuk gereja Protestan bisa masuk. Kata orang, bahwa di kampung Pos HPB Stefels pernah bertanya kepada kepala kampung, guru seperti apa yang dia mau dapat, seorang Katolik atau seorang Protestan? Kepala kampung, yang sendiri seorang Katolik, menjawab: seorang Katolik. Pada bulan Desember dia datang menceritakannya kepada pastor Thieman di Tanah Merah.

Ada dua pelopor baru lagi yang datang. Yang satu itu (Stephen) dipekerjakan di Uyumbe, sebuah kampung Jair dekat dengan Tanah Merah. Pada hari terakhir tahun itu, yang lainnya (Philippus Anu) ditempatkan di kampung Magbo. Dengan demikian, kesembilan pelopor yang sampai saat itu dipekerjakan di wilayah pastor Thieman semua bertugas di kampung-kampung yang terletak di sepanjang Digul di sebelah selatan dari Tanah Merah.

IMG 4801-L

Pastor Thieman di Tanah Merah, sekitar 1956.

1954: pengembangan dan perluasan

Mandobo utara

Pada bulan Januari 1954 ada suster Katolik yang datang menetap di Tanah Merah. Suster Karolina yang berasal dari Belanda akan mengajar di sekolah; dia ditemani dua suster Papua. Mereka disambut dengan hangat oleh uskup Tillemans (dari Merauke) dan pastor Thieman, dan juga oleh anak-anak kelas agama yang dipimpin oleh guru Stephen. Untuk Misi di Tanah Merah itu merupakan tonggak sejarah.

Apperloo 00-014-L
Suster Karolina dengan dua teman suster Papua

Pada waktu itu, pastor Thieman mendengar bahwa pendeta dari Merauke (dari Gereja Protestan Maluku) rencana datang ke Tanah Merah dan bahwa dia mau tinggal untuk selama dua minggu. Thieman bertanya-tanya dalam hatinya untuk apa dia datang, dan mengapa dia mau tinggal begitu lama.

Pada bulan Februari ia melakukan patroli ke bagian utara daerah Mandobo: jalan raya ke Koreom harus ‘ditutup’, artinya, perlu ditempatkan pelopor-pelopor di sana untuk menghindari nanti zending Protestan akan masuk. Hasil patroli mengecewakan. Kampung-kampung itu baru saja mulai dibuka, sebenarnya para penduduknya belum buat apa-apa. Baru-baru ada patroli polisi yang datang tangkap beberapa orang pembunuh di sini, dan akibatnya bahwa sekarang semua orang ada di hutan. Ada juga pesta babi besar yang sedang direncanakan.

Pada bulan Maret ada dua pelopor baru yang datang, yaitu Mathias Mahuse dan Jacob Peneme. Mereka menjadi pelopor pertama yang mulai bekerja di daerah Mandobo utara, masing-masing di Tairop dan di Pos.

Kali Digul bawah dan kali Kao

Pada perjalanan berikutnya ke kampung-kampung di Digul selatan, pastor Thieman juga naik kali Kao sampai di Butiptiri. Di sana sudah ada tujuh rumah, dan bukit sudah dibersihkan untuk membangun rumah-rumah lain lagi. Di sini bisa dibangun suatu desa yang bagus, tulis Thieman dalam buku catatannya, mereka adalah orang-orang yang menyenangkan, yang lebih berorientasi ke Mindiptana daripada ke Tanah Merah. Ada satu orang Katolik di sini yang bernama Paulus Jagom; setelah kematian istrinya yang beragama Katolik dia menikah lagi dengan seorang perempuan yang masih ikut agama adat. Tampaknya pernikahan kedua itu belum diberkati, tetapi pada kunjungan berikut pastor Thieman membenahinya.

Belakangan tahun itu, muncul seorang pemuda Muyu di Tanah Tinggi (di Digul bawah) yang bernama Donatus. Dia mengklaim bahwa uskup sudah mengirimnya untuk bekerja di sini sebagai pelopor. Pastor Thieman menganggap itu cerita yang aneh. Apalagi, sudah ada pelopor di kampung itu, yaitu Ernest, meskipun sangat perlu dia diganti dengan seorang yang lebih mampu.

Pada bulan Oktober, Thieman dengar berita bahwa gereja Maluku mau membangun rumah guru di Tanah Merah. Beberapa minggu kemudian dia mendengar bahwa pembangunan itu sudah dibatalkan. Alasannya bahwa jemaat Protestan di Tanah Merah terlalu kecil untuk itu, karena jumlah anggotanya hanya 56 jiwa. Namun, pendeta dari Merauke mau datang bekerja di Tanah Merah untuk selama 3 bulan.

Para pelopor sering tidak ada di tempat, biasanya untuk pergi cari buaya. Menjelang akhir tahun, ada yang sudah kehilangan semangat. Beberapa dari mereka melarikan diri, lain mau pulang, lain lagi minta pindah ke tempat tugas lain. Dari 12 orang pelopor hanya empat yang tetap bekerja.

Trouw 23 Dcember 1960 (39)-L
Gereja Katolik di Tanah Merah, sekitar 1960.

1955: keadaan yang resah

Susah dengan para pelopor

Tahun ini mulai seperti biasa. Pastor Thieman melakukan patrolinya, dan sama juga pemerintah di Tanah Merah. Ada perkembangan: di Ranugut sudah ada empat rumah.

Akhir bulan April ada pelopor baru yang dikirim oleh pastor Sneekes; namanya Thomas Tjamanop. Dia langsung ditempatkan di Tairop, karena Mathias Ndiken sudah minta undur diri. Thomas menggantikannya.

Seperti biasa, para pelopor semua ikut perayaan Hari Ratu (hari ulang tahun ratu Belanda Juliana pada tanggal 30 April) di Tanah Merah. Kebetulan saat itu kapal Carstensz berlabu di Tanah Merah. Kapal itu secara teratur memelihara hubungan dengan Merauke. Beberapa pelopor minta kerja di kapal itu, karena mereka melihat bahwa ada anak-anak kapal sesuku mereka, tetapi kapten tidak mau menerima mereka. Setelah banyak desakan mereka dengan enggan kembali ke tempat-tempat tugas. Betapa sulitnya mengatur sesuatu dengan orang-orang ini, pastor Thieman mengeluh dalam buku hariannya.

Pada bulan Mei pastor Thieman harus memecat guru Ernest dari tugasnya di Tanah Tinggi (Digul bawah); dia bahkan tidak datang ke gereja! Juga dengan para pelopor lain Thieman mengalami banyak kesulitan. Stephen sudah pulang ke kampung, Rahalus berhenti dari pekerjaannya karena telah diangkat oleh HPB untuk kerja di kantor pemerintah.

Pada bulan Juli, ketika dia patroli di Mandobo utara, pastor Thieman mendengar bahwa B.A. Leasiwal pernah mengatakan di kampung Pos bahwa tidak lama lagi akan datang seorang penginjil Protestan di Tanah Merah, yang bernama Lekahatu.

IMG 4798-L
Di dalam gereja Katolik di Tanah Merah, sekitar 1956.

Pesta 25 tahun tahbisan

Pada tanggal 29 Agustus, Thieman merayakan pesta perak 25 tahun tahbisannya. Untuk kesempatan itu pastor Sneekes dari Mindiptana datang ke Tanah Merah dan memberikan khotbah yang meriah. Bertahun-tahun kemudian, dia menggambarkan pastor Thieman sebagai

“orang yang luar biasa yang jarang ditemukan, karena dia adalah seorang manusia yang hidup untuk orang lain. Dia adalah orang yang ada rasa kebersamaan dan yang memahami seni persahabatan dan mempraktekkannya.” Kalau ada orang yang menunggunya dengan bersikap mengancam, dia pergi menghadapi mereka “dengan ketenangan yang tak terganggu dan seringkali dengan keberanian yang luar biasa (…), dengan tangan kosong yang terbuka ke atas, tetap tenang dan tidak panik, dengan kebaikan yang meluluhkan! (…) Dengan mengorbankan banyak, kemiskinan, kesederhanaan, dan kesepian, pastor Wim Thieman membuka kepala dan hati mereka dan menuntun mereka ke awal keyakinan pada ‘Bos Besar’-nya yang juga ada Bos yang Baik.”

Pastor Hendriks, seorang rekan lainnya dari zaman itu, juga sangat mengagumi dia.

“Mungkin dia bukan seorang ilmuwan yang mempunyai banyak pengetahuan mengenai ilmu misi, (…) tetapi dia adalah seorang yang berhati berlian yang telah memberikan dirinya sepenuhnya untuk orang Papua dan yang bersedia mengorbankan diri bagi mereka. Dia adalah seperti seorang ayah bagi orang Papua.”

Sore hari itu, pada resepsi, HPB bpk Moll memberikan kata sambutan, dan hampir seluruh masyarakat Tanah Merah datang untuk mengucapkan selamat kepadanya. Malam harinya ada makan pesta di rumah HPB Moll.

Lebih susah lagi dengan para pelopor

Pada bulan Oktober pastor Thieman dapat empat pelopor baru dari Mindiptana, dua yang sudah beristeri dan dua yang masih bujang. Kedua orang yang belum menikah itu dipekerjakan bersama-sama di kampung Wagreop di daerah Mandobo utara. Kedua orang yang sudah berkeluarga itu ditempatkan di Omba-Tutainon dan di Sabkaheng. Pada pertengahan bulan berikut, salah satu dari dua orang bujang itu sudah datang kembali. Dia hanya mau kerja di Eba (Okiba), tetapi itu tidak bisa. Jadi temannya tinggal sendirian di Wagreop. Dan di Sabkaheng, pelopor lama tidak mau pergi! Padahal dia sudah dua kali minta untuk dipecat!

Pendeta Gereja Protestan Maluku datang ke Tanah Merah pada pertengahan bulan November. Dia membaptis 6 anak, mengadakan pertemuan setiap hari, dan mau menyewa sebagian tanah.

Pada pesta Natal, pastor Jötten membaca Misa Agung. Dia baru saja tiba, dan nanti akan menetap di Getentiri. Gereja penuh sesak, dan juga orang protestan HPB Moll dan B.A. Leasiwal ikut ibadah.

1956: Zending masuk

Pastor Jötten

Pada akhir bulan April ada berita bahwa pastor Thieman telah dianugerahkan lencana ksatria dalam Ordo Singa Belanda. Pada perayaan Hari Ratu, HPB menyematkan dekorasi itu pada bajunya.

IMG 4778-L
Kedatangan pastor Jötten di Getentiri, 6 mei 1956. Dari kiri ke kanan: pastor Van der Vlugt, pastor Thieman, pastor Jötten. Mereka duduk de depan pastori.

Setelah perayaan, pastor Thieman dan pastor Jötten pergi ke Getentiri, lalu pekerjaan di kampung-kampung dari Okke Susu ke selatan diserahkan kepada pastor Jötten. Dengan demikian pastor Thieman sekarang tangan bebas untuk bekerja di kampung-kampung yang lebih dekat Tanah Merah dan di daerah Mandobo utara. Sepanjang bulan Juni, dia mengunjungi semuanya itu lagi.

Pada bulan Agustus, dia merenovasi beberapa bangunan di sebelah rumah para suster di Tanah Merah untuk dijadikan asrama. Dia kirim surat ke semua kampung untuk panggil anak-anak. Menjelang akhir bulan, anak-anak pertama sudah mulai muncul di Tanah Merah. Pada akhir September sudah ada 20 anak. Semuanya mereka itu laki-laki, rencana anak-anak perempuan mungkin dapat diterima tahun berikut.

Kunjungan orientasi pendeta Drost

Sementara itu, pendeta Drost telah tiba di Hollandia, untuk mencari daerah di Papua di mana belum ada Misi Katolik atau Zending Protestan. Pastor Thieman belum tahu apa-apa tentang itu. Dia baru saja terima dua pelopor baru dari daerah Muyu; dia menempatkan mereka  di Wagreop dan di Butiptiri. Akhir bulan September sekali lagi dia mengunjungi kampung-kampung di Mandobo utara. Lama-kelamahan kerja di sini juga mulai jalan dengan baik.

Pada bulan Oktober, giliran untuk mengunjungi kampung-kampung di sepanjang kali Digul lagi. Beberapa hari sesudah pastor Thieman berangkat, pendeta Drost tiba di Tanah Merah untuk kunjungan orientasi. Atas permintaan orang protestan di Tanah Merah, pada hari Minggu itu dia berkhotbah di gedung gereja Maluku. Sesudah satu minggu dia pulang lagi ke Hollandia.

Kecewa

Dua hari kemudian pastor Thieman kembali dari patroli. Dia sangat terkejut ketika dia mendengar siapa yang tadi mengunjungi Tanah Merah waktu dia berpatroli, dan apa rencana pendeta itu. Dia langsung mulai tulis surat mendesak kepada Uskup Tillemans di Merauke. Suratnya tertanggal 2 Desember 1956 berbunyi sebagai berikut:

Monsinyur,

Beberapa hari yang lalu, bpk Moll (H.P.B.) menceritakan kepada saya bahwa waktu saya sedang berpatroli – dari mana saya baru saja kembali (Digoel bawah) – seorang pendeta yaitu pdt Drost datang ke sini untuk mencari tahu apakah dia bisa membuka sesuatu di sekitar sini.

Rupanya orang sudah memberitahu kepadanya bahwa Misi belum mulai kerja di hulu Digul, sehingga dia berencana untuk menetap di Tanah Tinggi dan dari situ membuka daerah kali Kasuari.

Pada tahun 1953, yaitu dari 23 Juni hingga 7 Juli, saya telah menjajaki wilayah hulu kali Digul sampai muara kali Kasuari, dan saat itu saya juga sudah naik kali Kasuari itu. Namun saya tidak menemukan banyak orang di sana.

Akhir-akhir ini yaitu 3 bulan yang lalu saya telah mengunjungi Tanah Tinggi. Di sana mereka sudah membuka kampung, dan saya menemukan sekitar 120 jiwa yang tinggal di situ. Mereka minta seorang guru (penolong) dari saya, dan saya sudah menjanjikannya kepada mereka asal mereka dulu bikin rumah guru. Tetap saya tahu bahwa itu pasti akan makan waktu setengah tahun, atau lebih lama lagi, karena orang di situ tidak terlalu rajin kerja. Maksud saya untuk menggunakan tempat itu sebagai titik berangkat untuk naik kali Digul lebih jauh lagi. Tetapi 2 jam lebih ke atas saya temukan suatu kampung kecil dengan 5 rumah, dan 2 atau 3 jam lebih jauh lagi suatu kampung kecil dengan 4 rumah, dan lebih ke atas sekali lagi sesuatu semacam itu. Dan tidak ada dari mereka yang bersedia bergabung dengan Tanah Tinggi, atau membuka kampung bersama-sama. Saya belum pergi lebih jauh ke atas, tetapi saya pikir tidak ada kampung atau pemukiman yang dibuka di pinggir kali Digul sampai ke kali Kasuari. Pasti ada beberapa orang Papua yang tinggal di sini atau di sana, tetapi saya mengira jumlahnya tidak banyak.

Sampai ke kali Kasuari makan 6 hari dayong, ketika saya jalan tahun 1953. Saat itu air kering, jadi kami harus mengikuti semua belokan kali itu dan kadang-kadang berjam-jam jalan di tempat-tempat batu-batu kerikil. Arusnya sangat kuat. Namun, seandainya air banjir, bisa jalan lurus, tapi arusnya tetap kuat.

Seperti mungkin saya sudah tulis pada saat itu, saya tidak menemukan banyak orang di daerah kali Kasuari (di sana-sini saya menemukan sekelompok 10-20 orang). Mungkin juga saya melewatinya terlalu sedikit (hanya selama 2 hari). Orang di sana menceritakan kepada saya bahwa orang-orang Pingor [yang dimaksud: Pengkor] telah tembak orang-orang di sini. Bersama dengan ini saya kirim kutipan dari laporan saya dari tahun 1953.

Saya telah berharap bisa membiarkan daerah kali Kasuari dan tempat Tanah-Tinggi, sampai ke saat  wilayah Mandobo utara diduduki [dengan pelopor] setelah banyak kampung kecil di sana sudah bergabung menjadi beberapa kampung besar. Tapi sekarang saya diserang dari samping, dan dari pinggir kali [Digul] mereka bisa masuk wilayah Mandobo utara, di mana tergeletak banyak tetes keringat saya.

Makanya saya harus menempatkan pelopor di Tanah Tinggi dulu. Tetapi melompat dari sana ke kali Kasuari itu adalah lompatan yang cukup besar. Pasti akan membutuhkan banyak waktu dan upaya untuk mengumpulkan orang yang hidup di tengah kedua tempat itu (entah banyak atau sedikit?), jikalau mungkin.[10]

Labree

Sesungguhnya ini merupakan kesialan yang berat bagi Thieman. Dia baru saja menyerahkan kampung-kampung di bagian selatan kepada pastor Jötten di Getentiri, dan pekerjaan di Mandobo utara juga mulai berlangsung dengan baik. Tapi persis pada saat dia mendapat ruang untuk akhirnya mulai kerja di wilayah yang tersisa di sepanjang kali Digul di sebelah utara dari Tanah Tinggi, dan di sepanjang kali Kasuari, ada bahaya bahwa Zending Protestan akan menyambarnya di depan hidungnya! Dia curiga bahwa calon kontrolir Labree yang mendalanginya.

5657TMK053-1-L
Aspiran kontrolir Cornelis Willem Labree, 12 maart 1956, di depan monumen di Tanah Merah.

Dalam hal ini pastor Thieman tidak sepenuhnya salah. Selama enam bulan lebih, aspiran-kontrolir Labree ditempatkan di Tanah Merah. Pada tiap-tiap hari Minggu, selama dia berada di sana, dia sudah mengadakan pertemuan-pertemuan untuk orang protestan. Dalam tiap ibadah, dia sendiri memberikan khotbah singkat. Belum lama ini dia dipindahkan ke Kepi. Ketika pendeta Drost di Hollandia mendengar bahwa ada seorang anggota gerejanya yang pada waktu yang belum lama ini tinggal di Tanah Merah, dia kirim surat kepada Labree untuk minta informasi mengenai situasi di daerah itu. Balasannya diterima pada tanggal 15 Nopember. Labree menulis bahwa mungkin ada kemungkinan untuk bertitik tolak dari Tanah Merah mulai bekerja di wilayah yang di sebelah utara dari Tanah Merah. “Dengan demikian kita benar-benar – dan karena itu mungkin secara kiasan juga – mendahului Misi”, demikian tulisnya kepada pendeta Drost. Surat itu menjadi salah satu alasan pendata Drost mengambil keputusan untuk melakukan kunjungan orientasi ke Tanah Merah.

Kekecewaan yang pahit

Pastor Thieman mengira bahwa dia masih cukup waktu untuk mengatur pekerjaan di wilayah yang belum terjangkau itu. Tentunya masuk akal juga bahwa dia sudah memberikan prioritas pada pekerjaan di daerah yang padat penduduknya di Muyu, Mappi dan Awyu. Kerja di daerah-daerah itu juga merupakan pekerjaan yang jauh lebih memuaskan daripada kerja di daerah yang berpenduduk sedikit di sekitar Tanah Merah, dan lebih jauh ke utara di sepanjang kali Kasuari. Tapi sekarang tiba-tiba sangat mendesak untuk menempatkan seorang pelopor di Tanah Tinggi. Pastor Thieman mengirim pesan kepada pastor Sneekes di Mindiptana bahwa dalam jangka waktu pendek dia sangat membutuhkan seorang pelopor.

Tillemans - Papua Erfgoed - Van Flickr-L
Mgr H. Tillemans, uskup pertama di Merauke.

Satu setengah minggu kemudian, dia menerima balasan dari Uskup Tillemans. Suratnya sangat mengecewakan Thieman. Mengenai kedatangan Zending, Uskup Tillemans menulis:

“Pasti tidak mungkin untuk menghindarinya. Dan tentang kali Kasuari: kita tidak bisa berbuat apa-apa. Wilayah kerja saudara sendiri dan pastor Putman sudah cukup luas. Saya tidak ada pastor lain, jadi … marilah kita pasrah.”

Pastor Thieman sangat kecewa: “Ini adalah nasihat yang menyedihkan dan sama sekali tidak cocok untuk saya.” Ia memutuskan untuk menempatkan seorang pelopor di Tanah Tinggi. “Lebih ke atas semua kosong sampai kali Kasuari. Jadi Mandobo utara aman dari samping.”

Entri terakhir dalam buku harian tahun itu dengan jelas menunjukkan betapa pahit kekecewaannya:

Saya mendengar dari B.A.: pada bulan Maret ia pergi ke kali Murup dan kali Takum di mana mereka sudah mulai buka kampung-kampung. Dari sana menyusuri kali Digul sampai ke muara kali Kasuari. Kemudian kembali ke Kali Mun (di antara Tanah Tinggi dan kali Kasuari, di mana sebuah punggung bukit mulai yang merupakan batas arus air) terus ke orang Loembai [Kombai], yang tinggal di sana sampai ke kali Mandaro (anak sungai Mappi) [kali Manggono]. Sepertinya banyak orang yang tinggal di situ (dulu saya sudah dengar). Sayang sekali kami tidak bisa membukanya!!! dan mungkin harus menyerahkannya kepada zending!!!

IMG 4807-L
Kompleks gereja Katolik di Tanah Merah. Dari kiri ke kanan: pastori, gedung gereja, rumah suster, internat. Sekitar 1957.

–//–

Catatan

[1] Dari: J.A. van der Velden, Vreemd vliegt de paradijsvogel, Franeker 1997, hal. 48.

[2] Sekitar 10 kilo ke timur dari Wamal terletak kampung Yowid, tempat asal Catharina Gebse. Setelah pastor Jacobus van der Velden mengundurkan diri dari kepastoran, Catharina menjadi istrinya. Mereka bergabung dengan Gereja Reformasi, baru diutus ke Boma.

[3] Venesia adalah kota wisata terkenal di dunia. Kota yang paling indah itu terletak di Italia dan dibangun di atas jutaan tumpukan kayu yang diarahkan ke dalam tanah rawa.

[4] Dr. Jan van Baal (1909-1992) seorang antropolog, yang memperoleh gelar doktor pada suatu studi mengenai pengayauan di suku Marind. Dari 1953-1958 dia menjadi gubernur Nederlands Nieuw-Guinea (Papua).

[5] Orang-orang kampung tidak tahu perbedaannya dan bergabung dengan pihak yang menjanjikan keuntungan terbesar.

[6] Pastor Vertenten (1884-1946) berasal dari Belgia. Pertama dia bekerja di Nieuw-Guinea, dan kemudian dari 1927-1939 di Kongo Belgia (Afrika).

[7] https://www.kombai.nl/2020/12/08/belanda-masuk-kali-digul/

[8] Uskup Aerts (1880-1942) menjabat sebagai Vikaris Apostolik di Keuskupan Amboina (yang juga mencakup Nieuw-Guinea) sejak 28 Agustus 1920 sampai dengan 30 Juli 1942. Ia meninggal dibunuh oleh tentara Jepang.

[9] https://www.kombai.nl/2020/04/15/kandas-di-perbatasan-kombai-dan-korowai-batu-1958/ , catatan 3. Beberapa anggota gerombolan Pengkor saat itu belum ditangkap dan masih menyembunyikan diri di hutan. Baru pada tahun 1955 mereka datang menyerahkan diri kepada polisi di Tanah Merah.

[10] Sayangnya, sisa surat itu sudah hilang.

 

Sumber

Buku

  • J. Boelaars msc, Met Papoea’s samen op weg, jilid 1, 2, dan 3, Kampen 1991-1997
  • J. van Baal, Ontglipt verleden, jilid I dan II, Franeker 1986-1989
  • Schoorl, Kultuur en kultuurveranderingen in het Moejoe-gebied, Den Haag 1957
  • J. Sneekes msc, Hadden ze ons maar wild gelaten, Sittard 1987
  • F.C. Kamma, Zending, dalam: W.C. Klein (red.), Nieuw Guinea, jilid 1, hal. 82-158
  • J.A. van der Velden, Vreemd vliegt de paradijsvogel, Franeker 1997
  • J. Verschueren msc, De Katholieke Missie, dalam: W.C. Klein (red.), Nieuw Guinea, jilid 1, hal. 160-228

Arsip Nasional di Den Haag

  • R. den Haan, , Memorie van Overgave van de onderafdeling Boven-Digoel, 1949. Dalam: Nationaal Archief, toegang 2.10.39, inv. Nr 434.
  • F.H. Peters, Memorie van Overgave van de Onderafdeling Boven-Digoel, 1958. Dalam: Nationaal Archief, toegang 2.10.25, inv. nr 434.
  • C.H. Stefels, Memorie van Overgave van de onderafdeling Boven-Digoel, 1955. Dalam: Nationaal Archief, toegang 2.10.39, inv. Nr 436 (dan 1427).

Arsip Universitas Leiden

  • L.O.A. Moll, Memorie van Overgave, 1957. Collectie Moll, D H 1430 – 8.

Arsip MSC dalam Erfgoedcentrum Nederlands Kloosterleven di St Agatha

  • Annalen van O.L. Vrouw van het H. Hart, terbitan 61 (1947) dan 63 (1949)
  • C. Hendriks msc, buku catatan patroli 1958. Arsip msc, inv.nr. 5045
  • W. Thieman msc, buku-buku harian 1 s/d 3. Arsip msc inv.nr 5045
  • W. Thieman msc, buku-buku catatan patroli 1 s/d 3. Arsip msc inv.nr 5045
  • W. Thieman msc, Brief aan bisschop Tillemans. Arsip msc, inv. 6415A.
  • Jac. van der Velden msc, Brief aan pater Boelaars, Wanggate 26 April 1957. Arsip msc, inv.nr 5190.

ADC di Kampen

  • M.K. Drost, brief aan Enschede dd 16 november 1956. Archief Zending Enschede archiefnummer 78, doos 56.

Berkas lain

  • D.J. Jongsma, Een bestuurlijk moeilijk ressort’ – De houding van bestuursambtenaren in het Boven-Digoelgebied op Nederlands-Nieuw-Guinea in conflicten tussen zending van de gereformeerde kerk (vrijgemaakt) en missie van de missionarissen van het Heilig Hart, 1956-1962. (tesis master, tidak diterbitkan).