Penderasan
Pada hari patroli dengan pendeta Drost tiba di kali Khinu (lihat cerita sebelumnya), bapak guru Meijer naik kapal Ichtus. Dalam surat yang ditinggalkannya di Firiwage, pendeta Drost sudah minta bapak Meijer, untuk mencoba lebih jauh ke atas untuk jemput patroli di sana. Air di kali sudah sedikit naik, dan pada awalnya perjalanan kapal Ichtus tidak ada masalah. Di pinggir-pinggir kali mereka lihat banyak kebun dan rumah-rumah tinggi. Tetapi orang tidak kelihatan.
Setelah sekitar empat jam, mereka sampai ke bagian kali yang deras alirannya. Mereka coba untuk melewati penderasan itu, tetapi tiap kali usaha mereka gagal. Ketika mereka hampir mau putus asa, mereka menemukan tempat yang tampaknya air cukup dalam. Dengan pelan-pelan mereka berhasil mengatur kapal Ichtus melewati penderasan itu. Tetapi segera setelah itu mereka dibawa arus kuat dari sebelah. Mereka hanyut ke samping sampai kandas di timbunan batu kerikil di pinggir kali.
Para penumpang, yaitu bapak guru Meijer, juragan bapak Jakob Deda, dua agen polisi, dan juru bahasa, semua sangat terkejut! Ketika mereka tenang kembali, mereka bersama-sama coba mendapatkan kapal Ichtus itu kembali ke dalam air. Itu tidak mudah, karena kapal itu sangat miring ke sebelah. Dengan susah payah akhirnya mereka berhasil mengapungkannya kembali. Dan untungnya, kapal ternyata hampir tidak mengalami kerusakan.
Pulang
Berlayar lebih jauh ke atas ternyata tidak mungkin. Lagi pula besok pagi ternyata air sudah turun lagi. Lebih baik kembali ke Firiwage, daripada nanti terjebak di sini. Tidak ada guna juga untuk menunggu patroli, karena bisa saja mereka kembali dengan rute yang berbeda. Namun mereka memperhitungkan kemungkinan bahwa patroli nanti datang lewat di sini. Oleh sebab itu, sebelum pulang, mereka memberi tanda-tanda di pohon-pohon di tempat itu dengan cat merah, dan menggantung kaleng-kaleng kosong di cabang-cabang. Salah satu kaleng berisi surat kepada pendeta Drost, jikalau dia datang, mengatakan kepadanya bahwa mereka telah turun ke Firiwage. (1)
Firiwage
Hari berikutnya adalah hari Minggu. Di Firiwage sunyi dan senyap. Pekabaran Injil belum dimulai, dan belum ada gereja. Untuk dirinya sendiri, bapak guru Meijer membaca khotbah dari sebuah buku yang dia bawa. Sesudah itu dia menghabiskan waktu dengan mengambil foto-foto dari orang Firiwage, dan dari seorang Kombai yang datang berkunjung ke kampung. Sayangnya dia tidak menuliskan nama-namanya…
Seorang di Firiwage bikin pipa, 1958
Hari terakhir di hutan
Pada hari Minggu itu, patroli telah meninggalkan bivak di muara kali Khinu. Sore hari mereka sudah tiba di salah satu bivak yang mereka bikin waktu mereka naik ke atas, hampir satu minggu yang lalu. Tempatnya di pinggir kali Kasuari, kira-kira di mana sekarang ada pelabuhan di mata jalan dari Kharuwakhe ke Wanggemalo. Mereka bermalam lagi di situ, dan dokter Bijkerk pakai kesempatan itu untuk memeriksa kesehatan orang yang mereka bertemu di situ, dan memberi suntik kepada orang yang ada luka-luka frambusia.
HPB Peters, pendeta Drost, dokter Bijkerk, dan kepala polisi Voermans, waktu tiba di Firiwage kembali dari patroli 10 Pebruari s/d 7 Maret 1958.
Bertemu kembali
Besok pagi mereka melanjutkan perjalanan mereka, sampai tiba di Firiwage sekitar jam setengah dua. Bapak guru Meijer yang menunggu mereka, lihat mereka orang yang berjanggut yang tampaknya sudah agak lama tidak pernah bercukur. Tetapi tidak perlu dikatakan bahwa mereka senang bertemu!
Kembali ke kampung Arup
Malam itu guntur kilat dan hujan deras di Firiwage. Mereka sangat senang dengan hujan itu, karena besok pagi air kali sudah naik. Mereka muat semua barang mereka di kapal Ichtus. Tiga belas orang bisa naik ikut juga, yang lain harus jalan kaki. Begitu mereka semua berangkat menuju ke kampung Arup.
Waktu naik dari Arup ke Firiwage, kapal Ichtus telah memakan waktu tiga hari. Turun dari Firiwage kembali ke Arup belum sampai tiga jam! Belum siang besar mereka sudah tiba di sana. Sesudah istirahat, mereka pergi mempelajari muara lama kali Arup, Mereka mau tahu apakah aliran lama itu mungkin merupakan jalan yang lebih baik daripada ikut kali Digul.
Ketika mereka kembali ke kampung, sudah sore. Kapal Digul baru saja tiba. Kapal itu hampir sama dengan kapal Ichtus, hanya tidak pakai kabin. Kapal Digul adalah milik seorang pedagang Cina di Tanah Merah. (2) Seharusnya kapal Nautilus datang, suatu kapal pemerintah yang lebih besar. Tetapi kapal itu katanya rusak, sehingga mereka kirim kapal pedagang itu pergi menjemput mereka.
Selesai
Hari berikut mereka harus menunggu orang yang datang jalan kaki dari Firiwage. Dokter Bijkerk mengadakan polik. Setelah itu, dia dan bapak guru Meijer pinjam senjata dari polisi dan pergi berburu. Mereka segera menemukan jejak babi hutan. Selama empat jam mereka mengikuti jejak itu, tetapi tidak dapat. Jadi mereka pulang dengan tangan kosong. Ketika mereka kembali, kedua kapal itu sudah menjemput orang-orang yang jalan kaki dari mulut kali Arup dan menghantar mereka ke kampung.
Dengan demikian semuanya sudah siap untuk tahap terakhir. Kapal Ichtus dan kapal Digul diikat bersebelahan yang satu kepada yang lain. Dua kapal itu bisa menampung sekitar 25 orang. Yang lain harus duduk di atas rakit, yang dibuat dengan empat perahu dan yang ditarik oleh kedua kapal itu. Di perjalanan mereka berlabuh di Jawo, di Kouh, di Mariang, dan di Tanah Tinggi, tetapi hanya untuk kunjungan-kunjungan singkat saja. Hari sudah gelap ketika mereka akhirnya tiba di Tanah Merah.
Kesimpulan
Bagi pendeta Drost, patroli 25 hari ini adalah perkenalan pertama dengan daerah Kombai. Ternyata waktu itu hanya ada beberapa kampung kecil saja. Lagi pula kampung-kampung itu belum memiliki karakter permanen, dan hanya berfungsi sebagai tempat untuk bertemu dengan orang yang dari luar datang naik kali.
Juga sudah menjadi jelas bahwa waktu itu pemerintah Belanda belum memiliki banyak pengaruh di daerah ini. Beberapa kali patroli mengalami sikap bermusuhan dari pihak orang Kombai. Hal lain yang mencolok ialah bahwa tembakau dan pancing belum begitu populer; orang di hutan lebih suka dapat celana tali, atau kapak besi. Kapak batu masih umum dipakai di seluruh daerah itu.
Dua puluh tahun kemudian
Patroli awal 1958 adalah kunjungan pertama dari pendeta Drost. Jelas dia belum dapat memberitakan Injil pada kesempatan itu. Masih membutuhkan banyak kunjungan lagi untuk membangun relasi yang baik dengan orang di wilayah itu.
Hampir dua puluh tahun kemudian, ada patroli pemerintah Indonesia di daerah yang sama. Mereka disergap, dan seorang tenaga polisi dipanah mati. Peristiwa itu menjadi alasan untuk pembukaan kampung Ndeia, yang kemudian pindah ke Wanggemalo, tempat di mana serangan itu terjadi. Mulai dari situ bagian utara daerah Kombai secara bertahap terbuka untuk pemberitaan Injil.
Catatan:
- Dalam perjalanan kembali ke Firiwage, patroli itu tidak lewat di tempat itu. Apa yang terjadi dengan kaleng-kaleng itu dan surat yang di dalamnya, kami tidak tahu.
- Namanya Ong Tjeng Han. Di tidak tinggal lama di Tanah Merah, antara lain karena dia tidak dapat berkonkurensi dengan toko “Digoel” (milik seorang CIna lain yang bernama Liauw Woen Tjin). Sebabnya, bahwa pemerintah Belanda membayar kembali ongkos pengangkutan sembako, tetapi hanya kepada toko “Digoel”, dan tidak kepada bpk Ong. Bapak Ong pulang ke Merauke akhir tahun 1958.
Sumber:
- Bijkerk, Verslag Toernee naar het Manggono- en Arupgebied van 10 februari t/m 6 maart 1958, No.: 338/Tm5, Tanah Merah 15 mei 1958. Rapport aan de Directeur van Gezondheidszorg te Hollandia Binnen. (Milik pribadi, salinan diterima dari pdt Drost)
- Laporan pdt Drost dalam majalah zending Ons Zendingswerk, 1958 no. 3 (2 April), hal. 2-8.
- Laporan bpk guru J.W. Meijer, ttgl 13 Maret 1958 (ADC, Kampen: Archief Vereniging Mesoz, Arch nr 253, plaats A5, doos 5)