15 – Menuju ke Firiwage (1958)

Kampung Arup, 1958
Kampung Arup, di tepi Barat kali Digul, di sebelah selatan dari tempat di mana kali Arup dan kali Digul bersatu

Dari Kouh ke Arup

Sementara patroli pemerintah dengan Pendeta Drost melanjutkan perjalanannya di hutan Kombai, bapak guru Meijer di Tanah Merah (1) bersiap untuk berangkat ke Firiwage. Dia sudah janji untuk menjemput patroli di sana dengan kapal Ichtus.
Pada hari Kamis tanggal 20 Pebruari 1957 dia berangkat, bersama dengan dua tenaga polisi. Perjalanan itu penuh rintangan. Sampai di Kouh tidak ada masalah. Tetapi hari berikut, tidak lama setelah mereka berangkat dari Kouh, mesin berhenti. Juragan bapak Yakob Deda (2) mulai memeriksa mesin untuk melihat apa masalahnya. Ternyata pipa minyak itu kotor. Dia membersihkannya, baru mereka melanjutkan perjalanan ke atas. Di tengah jalan mereka sementara berhenti di kampung Jawo (3), untuk melihat keadaan di situ. Kemudian mereka jalan terus lagi. Sudah menjadi gelap waktu tiba di kampung Arup.

Kepala kampung Arup
Kepala kampung Arup, yang bernama Bapaya (1958)

Kampung Arup

Kampung itu sebelumnya sudah dua kali dikunjungi oleh pendeta Drost. Pada perjalanan pertamanya [lihat di sini], ada juru bahasa dari Arup yang ikut pendeta Drost naik kali Arup; namanya; Tembunop (4).
Hari berikut itu hari Minggu. Jelas belum ada gereja di Arup pada waktu itu, dan belum diadakan kebaktian. Masih masa orientasi dan perkenalan; pekabaran Injil belum dimulai. Hari itu bapak Meijer menjelajahi tempat di mana kampung Arup didirikan. Hasilnya adalah, bahwa dia anggap tempat itu cukup bagus untuk membangun pos misi. Memang waktu itu air kering; dia belum mengalami bahwa tempat itu tenggelam kalau kali Digul banjir…
Hari itu ada orang hutan yang datang kunjungi kampung Arup. Bapak Meijer coba meyakinkan mereka untuk membangun rumah di kampung, tetapi mereka ternyata tidak mau. Baru Yakub Deda mulai menceritakan kisah panjang tentang tenaga polisi yang membakar rumah-rumah di hutan untuk memaksa orang masuk kampung. Dan bahwa jika orang tetap tidak mau, mereka akan dimasukkan ke dalam penjara di Tanah Merah. Itu memang memberikan kesan. Tetapi untuk menghilangkan rasa pahit, bapak Meijer berjanji kepada mereka, jika mereka akan membangun rumah di kampung Arup, dan kalau rumah baru itu sudah setengah selesai, untuk memberikan parang kepada mereka. Itu memang jelas menarik bagi mereka.

Penyediaan sagu

Salah satu tugas yang diberikan kepada bapak guru Meijer adalah untuk mengumpulkan stok sagu. Maksudnya, untuk memastikan bahwa ada cukup makanan bagi para peserta patroli kalau mereka nanti akan tiba di Firiwage. Tetapi mama-mama kampung tidak mau pergi pangkur sagu. Ketika bpk Meijer melihat banyak bola sagu dalam salah satu rumah, menjadi jelas mengapa mereka tidak mau pergi. Ternyata mereka baru kembali dari pangkur sagu! Tetapi mereka juga tidak bersedia untuk menjual beberapa dari bola-bola sagu itu. Akan tetapi, sesudah berbicara banyak, akhirnya dengan enggan ibu-ibu itu pergi untuk pangkur sagu.
Baru sesudah mereka masuk hutan, beberapa bapak berani untuk menjual lima bola sagu kepada bapak Meijer. Sagu itu segera disimpan di dalam kapal Ichtus.

Pagar untuk bendera di Arup

Orang bikin pagar keliling tiang bendera di kampung Arup di pinggir kali Digul, 1958.

Kenaikan bendera di kampung Arup, 1958
Kenaikan bendera di Kampung Arup. Bapak dengan busur dan anak panah itulah bapak Bapaya.

Naik Bendera

Hari Senin, kali Kasuari masih kering, sehingga mereka belum bisa lanjut ke Firiwage. Untuk mengisi waktu, dan sebagai tanda terima kasih atas bantuan yang diberikan, bapak guru Meijer memberikan suatu bendera kepada kampung Arup. (5)
Tentu saja, penyerahan bendera itu harus dilakukan dalam suatu upacara resmi.
Sebelumnya, bapak Meijer menjelaskan apa sebenarnya bendera itu. Bendera itu –  demikian penjelasan pak Meijer melalui juru bahasa – adalah tanda bahwa orang kampung Arup telah bersahabat dengan orang kulit putih. Selanjutnya, pak Meijer dengan tenaga polisi mengajar kepala kampung bagaimana dia harus berdiri tegak, dan bagaimana caranya untuk memberi salut ke bendera itu. Dijelaskan, bahwa pemberian bendera itu juga mencakup kewajiban untuk menjaga kebersihan kampung dan untuk membantu orang kulit putih bilamana diminta, tentu saja dengan pembayaran. Kemudian kepala itu pergi mencari sebuah tiang panjang, sementara yang lain bikin pagar di sekitar tempat tiang bendera itu.
Akhirnya bendera diserahkan. Saat bendera naik, satu dari kedua tenaga polisi hormat senjata (temannya sementara sedang berburu di hutan), sedang kepala kampung berdiri tegak dan memberi salut. Para penonton melambaikan tangan.

Pembuatan dermaga di kampung Arup, 1958

Pembuatan dermaga di kampung Arup, 1958.

Dermaga di kampung Arup
Dermaga di kampung Arup

Dermaga

Hari Selasa air masih tetap kering. Pagi digunakan untuk bikin dermaga di tepi sungai, supaya orang bisa naik ke perahu atau kapal tanpa mandi lumpur.
Ketika mereka masih bekerja, mereka memperhatikan bahwa air mulai naik. Pada jam 1 siang, air sudah naik sekitar satu meter, sehingga mereka memberanikan diri naik kapal Ichtus dan berangkat naik kali Arup menuju ke Firiwage.
Sekarang giliran Yakob Deda untuk mengemudi. Bapak Meijer sedang membaca di geladak. Sesekali dia mendongak. Yang mengejutkannya, tepi sungai itu selalu sama. Ternyata arusnya sama kuat dengan motor Ichtus sehingga mereka hampir tidak bisa maju. Mereka putus untuk coba tikungan dalam, meskipun ada bahaya kena batu di sana. Sangat lambat mereka maju. Setelah lima setengah jam berlayar, muara kali Kasuari sudah kelihatan. Tetapi karena hari sudah mulai gelap, mereka berlabuh di sana untuk bermalam.

 

Kandas

Besok pagi air sudah turun lagi. Namun mereka memutuskan untuk jalan terus. Awalnya berjalan lancar, tetapi kemudian mereka sampai di sebuah tikungan yang penuh dengan akar-akar kayu. Sedikit demi sedikit mereka berhasil maju. Akhirnya satu rintangan tetap ada, yaitu beberapa batang pohon yang menghalangi jalan. Tidak ada pilihan lain selain menyerang batang-batang pohon itu dengan kapak. Tentu tidak mudah, potong kayu saat berdiri di arus kencang. Tetapi akhirnya mereka berhasil membersihkan alur pelayaran, dan siap melanjutkan perjalanan ke atas. Kapal Ichtus maju lagi. Tetapi pada saat bapak Deda memutar setir untuk berbelok, kabel kemudi putus. Segara arus membawa Ichtus kembali ke tempat kayu-kayu yang tadi mereka lewat. Mereka semua sangat terkejut! Tetapi untung sekali, sebelum mereka sampai di sana kapal kandas di tempat batu.
Dulu mereka merokok untuk pulih keterkejutan. Baru bapak Deda memperbaiki kabel yang putus itu; memang tidak terlalu berat. Jauh lebih sulit untuk menarik kapal itu lepas dari tempat batu. Tetapi jadi!
Lega mereka melanjutkan perjalanan. Tetapi setelah beberapa ratus meter ternyata ada tempat batu yang di seluruh lebar kali. Di tempat batu-batu itu air sangat dangkal sehingga tidak mungkin kapal Ichtus lewat.
Tidak ada pilihan lain selain membuat bivak untuk bermalam di situ, walaupun masih sebelum tengah hari.
Siang itu sangat panas. Pak Meijer dorang terus-menerus mendingin di dalam air kali, berharap buaya tidak akan mengganggu mereka. Malam mereka hampir tidak tidur karena agas.

 

Tiba di Firiwage

Hari berikutnya, siang hari air mulai naik, sehingga akhirnya mereka berhasil melewati tempat batu-batu itu. Siang hari mereka bertema beberapa orang dari Firiwage. Mereka bilang bahwa patroli pemerintah dengan pendeta Drost sudah tiba di kampung! Kapal Ichtus lanjut lagi. Tetapi tepat sebelum sampai ke kampung, mereka sekali lagi ditimpa kesialan. Ada kotoran di sekrup. Sesudah dibersihkan, sore mereka akhirnya sampai di kampung Firiwage.
Tetapi patroli itu tidak ada! Hanya ada surat, yang ditinggalkan oleh pendeta Drost. Di dalam surat itu pendeta Drost minta supaya bapak Meijer kapal Ichtus masih naik lebih ke atas lagi…

Kali Arup di Firiwage, 1958
Kali Arup di Firiwage, dilihat ke arah urata-barat; waktu itu kampung ada di sebelah kiri.

 

Catatan:

  1. Bapak guru Jan Meijer dengan istrinya tiba di Tanah Merah bulan Nopember 1957.
  2. Sejak awal bapak Yakob Deda bekerja sebagai juragan di kapal-kapal zending. Sebelumnya, ia bekerja sebagai mekanik di Angkatan Laut selama 6 tahun. Dia dikontrakkan oleh pendeta Drost. Pada tanggal 23 April 1957 dia tiba di Tanah Merah, diikuti kemudian oleh istri dan dua anaknya. Pada bulan Agustus tahun itu, pendeta Drost dan bapak Deda pergi bawa kapal Ichtus dari Bade ke Tanah Merah. Kapal Ichtus itu dibangun di Belanda.
  3. Kampung Jawo adalah kampung kecil di kali Digul, di tengah Kouh dan Arup, sedikit di bawah muara kali Murup.
  4. Tembunop berasal dari daerah kali Murup (anak kali Digul); ada kemenakannya di wilahay kali Dawi (anak kali Arup).
  5. Namanya kepala kampung itu adalah Bapaya (nama yang dia sendiri sebut). Di kemudian hari Bapak itu tidak ikut pindah ke Kawagit.

Sumber:

  • Laporan bpk guru J.W. Meijer, ttgl 13 Maret 1958 (ADC, Kampen: Archief Vereniging Mesoz, Arch nr 253, plaats A5, doos 5)

One thought on “15 – Menuju ke Firiwage (1958)

  1. thomas alva edison

    oktober 23, 2023 at 4:41pm

    perasaan antara sedih dan hampir menangis
    juga bangga akan budaya dan kehidupan jaman dahulu kala
    yg cepat berubah mengikuti jalan yg dokehendaki bapak disurga
    luar biasa dan cerita cerita ini
    mungkin ada yg bisa tulis lagi

    krn hampir banyak buku sdh sy baca
    dari gunung lembah
    sudah sy baca dan ini aslinya luar biasa TIHAN MEMBERKATI PENULIS DAN PEMBACA DIMANAPUN BERADA