33 – Pastor di daerah Mappi

Berdiri di depan, di atas,
atau di samping orang pengayau

Pastor di daerah Mappi

IMG 7175-L
Mappi-pos 1940

Pembagian:

  1. Mappi Pos
  2. Orang Yakai
  3. Pesta-pesta perdamaian
  4. Pastor muda
  5. Orang Yakai membuka kedoknya
  6. Gelombang kejut
  7. Epilog

1. Mappi-pos

Di tengah jalan

Pada awal tahun 1955, seorang pastor muda sedang dalam perjalanan dari Tanah Merah melalui kali Digul ke tempat tugas pertamanya di Kepi. Di muara Kawarga kapal berlabuh di tepi sungai. Mereka harus menunggu kepala arus lewat dulu. Itulah gelombang pasang yang menerjang kali Digul dari laut Arafura setiap bulan purnama. Semua penumpang diminta untuk turun. Pastor muda itu mendaki bukit Tamao, yang pernah diberi nama Bukit Juliana oleh Kapten Wiarda.

IMG 7169-L
Kepala arus.
IMG 7174-L
Kepala arus
Kepala arus, tekening uit Wambo
Gambar celaka akibat Kepala arus

Pos jaga

Pada tahun 1936, kapten Wiarda (yang pada saat itu kepala Bestuur (Pemerintah) Belanda di Tanah Merah) mendirikan pos jaga militer di lokasi strategis ini untuk mencegah orang dari daerah kali Mappi (yang bermuara di Kawarga tidak jauh dari kali Digul) datang memburu kepala manusia di daerah kali Digul.

Mappi-Pos tidak banyak berpengaruh. Para prajurit tidak diizinkan bertindak keras tetapi harus mencoba membujuk para kanibal untuk menyadari bahwa berburu kepala manusia dan memakan daging manusia itu salah. Tetapi biasa pada malam hari, orang dari daerah kali Mappi dengan diam-diam berdayung di sekitar pos Mappi untuk pergi mengayau di kali Digul atas.

Sudah setelah beberapa tahun, sebagian dari tentara itu dipindahkan ke Tanah Merah; mereka ditempatkan di sana untuk melindungi eksplorasi minyak di hulu Digul. Akibatnya, Mappi-pos kekurangan tenaga sehingga tindakan yang dapat diambil masih kurang efektif lagi. Orang di daerah kali Mappi memanfaatkan kesempatan itu: “Para prajurit tidak bisa menangkap kita, ayo kita pergi berburu kepala manusia,” kata mereka.

Pada awal tahun 1941, sisa tentara juga pergi dan pos jaga itu diserahkan kepada polisi. Sementara itu, telah ditempatkan seorang petugas Bestuur di sini. Perang Dunia II pecah, dan pada tanggal 12 Mei 1943 Mappi-pos dibom oleh Jepang. Semua orang yang masih ada di situ mengungsi ke Yodom (di kali Digul). Pada bulan Juni tahun 1944, tentara Australia mendirikan stasiun radar di sini agar mereka dapat sinyalir dini kedatangan pesawat Jelang yang mau menyerang Merauke. Enam bulan kemudian, pos radar ini dibongkar dan mereka pergi lagi. Setelah itu, bukit ini ditinggalkan menjadi tempat yang sepi.

IMG 7175-L-2
Rumah pastor Drabbe di Mappi-pos. Rumah itu dibangun oleh para tentara di situ pada tahun 1939.

Di depan atau di samping?

Pastor muda itu sudah tiba di atas bukit itu dan berjalan-jalan di antara sisa-sisa bekas pos jaga lama ini. Dia mencoba membayangkan apa yang pernah terjadi di tempat ini. Di sini pernah bertugas orang Belanda dan orang Hindia Belanda. Ada yang membawa istri dan anak-anak. Beberapa telah mati di sini, kuburan mereka sudah ditutup dengan rumput. Siapa yang masih ingat laki-laki dan perempuan yang mati karena malaria atau karena dikena anak panah dan yang dikubur di bukit yang terlupakan ini? Pastor muda itu cari tempat untuk duduk dan menulis di buku hariannya:

“Di sini para prajurit berjuang melawan penduduk asli, siang dan malam. Orang-orang di Mappi-pos berdiri di depan orang pengayau untuk mencegah mereka pergi berburu kepala manusia. Sekarang saya bisa berdiri di samping orang Papua untuk berusaha menarik mereka untuk ikut di jalan yang benar. Mappi-pos mengajarkan kenisbian jerih payah kita. Mungkin itu sebabnya saya orang yang tidak sabar ini harus tunggu sebentar di bekas Mappi-pos.”

2. Orang Yakai

Wilayah

Orang dari daerah Mappi-bawah yang pada waktu itu merupakan ancaman bagi daerah-daerah sekitarnya adalah orang suku Yakai. Tempat kediaman mereka adalah wilayah di sebelah barat kali Mappi di aliran kali Oba, Miwamon, Nambeomon, dan Bapei. Daerah itu merupakan rawa yang luas di mana aliran kali-kali kadang-kadang hampir tidak dapat dilihat.

Sejak zaman kuno mereka pergi memburu kepala manusia di suku Awyu di sebelah timur kali Mappi. Dengan perahu-perahu besar mereka berdayung jauh ke hulu sungai itu. Ketika orang Marind tidak lagi datang menyerang daerah mereka, orang Yakai mulai menyeberang kali Digul dan pergi berburu kepala manusia sampai di Muting. Mereka mulai naik kali Digul sampai dekat Tanah Merah dan bahkan naik kali Kao untuk mencari korban di situ. Mereka orang yang tidak tahu takut dan tidak cepat melarikan diri. Itu menjadi jelas ketika pada tahun 1933 kelompok polisi datang ke salah satu kampung mereka (Mabur / Mur):

“Semua perempuan dan anak-anak dikirim ke hutan, sedangkan laki-laki yang berjumlah empat ratus lebih dan yang bersenjatakan busur, anak panah, dan tombak, dengan tenang menunggu kedatangan kami. (…) Tidak ada orang yang kurus atau gemuk. Seluruh penampilan orang Mappi memancarkan kekuatan, keberanian, dan haus darah.”

 

Kaart Jaqai - clean 2

Dua kasus pengayauan besar-besaran.

(1) Yamui

Pada tahun 1936, penduduk kampung Yamui telah menyergap orang dari kali Oba yang sedang membawa anak-anak mereka ke sekolah di Mappi-pos, dan berhasil membunuh tiga orang. Salah satu dari ketiga korban itu berasal dari kampung Ragagai.

Selama bertahun-tahun tidak ada yang terjadi. Kemudian, pada suatu hari pada tahun 1942, kepala kampung Ragagai berkelahi dengan istrinya dan memukulnya, baru dia mengejek: “Kamu laki-laki adalah seperti ulat sagu tua yang akhirnya diambil dan dimakan babi!” Maksudnya: kamu membiarkan perkara lama itu dan tidak membalas dendam.

Baru orang Ragagai mengundang lima kampung lain untuk ikut menyerang Yamui. Mereka dinasihati untuk menyembunyikannya dari guru-guru dengan mengatakan bahwa mereka pergi pangkur sagu dan akan kembali dalam tiga hari. Kemudian Ragagai mengirim pesan ke Yamui bahwa mereka ingin mengadopsi anak dengan imbalan kapak besi dan parang. Dua orang dari Ragagai pergi ke Yamui dengan kedok niat damai. Sementara itu, orang lain semua bersembunyi di kedua sisi jalan dari Yamui ke kali Mappi untuk mengadakan penyergapan tiba-tiba. Dua hari kemudian, kedua orang itu menghantar seluruh masyarakat Yamui ke kali Mappi, dengan alasan bahwa di sanalah terletak perahu mereka dengan kapak dan parang yang ingin mereka tukarkan. Dengan demikian mereka terjebak, dikepung dan dibunuh. Diperkirakan 300 laki-laki, perempuan, dan anak-anak tewas dalam pembantaian ini. Di pelabuhan di kali Mappi para perampok memanggang kepala yang telah dipenggal dan memakan daging korbannya.

Jakai, dansende mannen met wapperende knieën
Orang Yakai menari

(2) Togompatu

Ketika kehadiran guru dan pejabat-pejabat Bestuur membuat orang Yakai semakin sulit mengadakan pengayauan di tempat-tempat jauh, maka mereka terpaksa pergi menyerang kampung-kampung mantan sekutu. Salah satu kampung yang dulu berfungsi sebagai bufer antara orang Yakai dan orang Awyu adalah kampung Togompatu di kali Wildeman (Pasuwe).

Kampung Gandaimu di hulu kali Oba mengundang orang-orang Kepi dan Rayom untuk datang ke Gandaimu untuk bersama-sama pergi berburu kepala manusia di Togompatu. Mereka juga membujuk kampung-kampung di kali Miwamon untuk naik kali Wildeman. Dengan demikian mereka menyusun rencana untuk menyerang Togompatu dari dua sisi. Malam sebelum perampokan, para perempuan menari dengan berteriak: Ibumu, ibumu, ibumu! Artinya: pikirkan dia! Jangan kecewakan dia!

Besok pagi mereka menyergap Togompatu, tetapi orang di sana telah mendengar suara trompet pengayauan dan siap berperang dengan tombak mereka. Kelompok yang datang dari kali Miwamon mendengar suara trompet pengayauan dan bunyi perkelahian baru ketakutan dan berbalik. Namun, para perampok berhasil membunuh sekitar 20 orang. Ketika mereka kembali ke bivak mereka, mereka mengasap kepala-kepala yang telah mereka peroleh dan kemudian mereka berpesta sepanjang malam..

Vrouw uit Kogo met prachtig uitgesneden snelhoorn
Seorang perempuan dari kampung Kogo di kali Miwamon (daerah Yakai) yang tiup trompet pengayauan yang dibuat dari kayu dan dihiasi dengan ukiran yang indah.

Berburu kepala manusia untuk berpesta

Pada zaman dulu, pengayauan merupakan inti kebudayaan suku Yakai. Berbeda dengan suku Marind, mereka tidak pergi berburu kepala manusia untuk mendapatkan nama untuk anak-anak mereka. Itu memang terjadi, tetapi itu tidak terlalu penting bagi mereka. Alasan utama untuk memperoleh kepala-kepala manusia adalah untuk pesta perkawinan, dan untuk mengakhiri masa berkabung. Dengan kata mereka sendiri: “Kami memburu kepala manusia untuk kami bisa berpesta dan karena mengasihani orang yang berduka dan karena merindukan perkawinan baru.”

Pesta mengakhiri masa duka

Jakai memiliki pakaian berkabung khusus. Pakaian duka wanita terdiri dari sejenis jaket yang serat-seratnya gantung longgar sampai ke tanah, dan di atas kepalanya mereka mengenakan tudung yang tergantung jauh di belakang. Pakaian duka laki-laki terdiri dari baju pendek dengan dasi panjang di depan dan belakang. Di setiap lengan mereka mengenakan dua gelang dan di kaki satu pita di bawah lutut dan satu di atas pergelangan kaki. Baik wanita maupun laki-laki juga mengenakan serat sagu di sekitar leher, di telinga, dan di hidung.

Jakai rouwkleding vrouwen

Pakaian duka perempuan Yakai.

Jakai vrouw in de rouw
Pakaian duku perempuan suku Yakai.
Jakai man van Toba in de rouw
Seorang laki-laki yang berkabung.

Jenazah orang yang mati dibaringkan dalam suatu perahu di atas perancah. Jenazah itu hanya dapat dikeluarkan dari perahunya setelah diadakan pengayauan yang berhasil; kepalanya kemudian disimpan oleh para perempuan. Ada larangan memetik buah kelapa dari pohon yang milik orang yang meninggal itu, bahkan buah-buah yang jatuh ke tanah tidak boleh dimakan.

Jakai, open prauw graf
Orang yang mati dulu ditempatkan di dalam suatu perahu pada perancah di rumah laki-laki.

Tidak mengherankan bahwa para perempuan dengan keras dan tanpa henti menghasut orang laki-laki untuk pergi memburu kepala manusia. Justru merekalah yang membutuhkan tengkorak-tengkorak itu, yaitu untuk bisa kawin dan untuk dibebaskan dari pakaian duka dan dari semua larangan yang dikenakan pada mereka selama berkabung.

Setelah orang kembali dari pengayauan, pesta pertama yang diadakan adalah pesta mengakhiri masa duka. Para perempuan yang berduka mengumpulkan garam, alas-alas tidur, keranjang-keranjang ikan, dan hal-hal lain, sebagai hadiah untuk orang yang telah berhasil memenggal kepala manusia. Mereka juga menumpuk buah-buah kelapa bagi mereka. Kemudian para pengayau menurunkan perahu jenazah dan memotong semua pakaian duka kerabat mereka, baru ada pesta besar.

Pesta perkawinan

Seseorang yang mau kawin harus menggantung kepala manusia di lengan pengantinnya. Seorang gadis tidak boleh dijadikan istri tanpa tengkorak itu. Pada pesta perkawinan, para perempuan dan laki-laki yang akan kawin berdiri saling berhadapan di pintu masuk rumah laki-laki, sedangkan para pemimpin kampung berdiri di antara mereka. Setiap kali seorang laki-laki dan seorang perempuan datang berdiri di depan pemimpin itu dengan kepala tertunduk satu sama lain. Pemimpin menyuruh perempuan itu untuk mengulurkan tangannya, setelah itu calon suaminya menyelipkan tengkorak yang diikat pada lingkaran rotan di atas lengannya dan membiarkannya menggantung di bahunya. Terkadang dia menggantung satu tengkorak di setiap lengan. Sementara laki-laki itu menyerahkan tengkorak itu, perempuan itu berdiri dengan sagu di tangannya, baru mereka harus berjanji setia sampai mati satu sama lain.

Kemudian semua orang berpesta, dan perempuan-perempuan itu menari dengan tengkorak yang tadi mereka terima. Ketika perempuan itu sudah capai, dia memberikan tengkorak itu kepada ibunya yang menari dengannya bahkan lebih liar daripada putrinya. Habis pesta, tengkora-tengkorak itu dikembalikan ke rumah laki-laki.

Adat ini bukanlah upacara kesuburan, tetapi tanda keberanian yang memberikan istrinya jaminan keamanan dan kebutuhan hidupnya. Tarian perempuan itu merupakan penghargaan untuk suaminya yang sudah berhasil memenggal kepala manusia.
Kebetulan, mereka yang membantu membunuh korban diizinkan menggunakan tengkorak yang sama. Seseorang di Kepi memiliki tiga istri, tetapi dia sendiri belum berhasil memenggal kepala manusia.

Tanda-tanda jasa

Orang Yakai tidak pergi memburu kepala manusia untuk mendapatkan kekuatan hidup, tetapi untuk menunjukkannya. Kepala yang dipenggal adalah piala perang, tanda kekuatan yang ditampilkannya. Dan semakin banyak kepala yang diperolehnya, semakin dia dihormati.

Orang Yakai bahkan memiliki sistem penghargaan. Jika seorang telah menghasilkan memenggal delapan kepala manusia, dia dapat memakai ramoq. Kalau dia sudah dapat dua belas tengkorak dia menerima tok. Ketika dia memperoleh lima belas lebih dia mendapatkan oana. Penghargaan yang terakhir itu terdiri dari kalung tiga gigi taring babi yang dikenakan di dada, dan dekorasi itu menunjukkan bahwa dia telah melakukan cukup banyak dan bisa pensiun.

Kebetulan, tidak semua orang yang berhak memakai dekorasi tinggi mau menerimanya. Yaende, seorang pemburu kepala yang terkenal di Kepi, berhak memakai ramoq, tapi dia menolaknya. Seorang pengayau hebat lainnya pernah memenggal kepala dari dua puluh laki-laki dan dua belas perempuan sehingga berhak mendapat oana, tetapi dia hanya ingin memakai ramoq. Rupanya orang-orang khawatir tentang terlalu banyak kehormatan.

Inisiasi

Setelah beberapa perjalanan pengayauan, pesta inisiasi dirayakan. Anak-anak diterima sebagai pemuda; Para pemuda ditunjuk sebagai orang yang nanti bisa ikut pergi berburu kepala manusia: mereka diberi pisau mengayau. Pada pesta ini tanda-tanda jasa diserahkan kepada mereka yang berhak menerimanya.
Juga untuk pesta ini dibutuhkan lagi tengkorak, tetapi tengkorak yang sama bida digunakan untuk perkawinan dan juga untuk pesta inisiasi.

Keseimbangan

Mereka juga memenggal kepala dari orang sesuku. Biasa itu terjadi sebagai tindakan balas dendam pribadi yang tidak melibatkan seluruh masyarakat kampung. Kepala yang dipenggal ini juga diperhitungkan dalam menentukan apakah seseorang memenuhi syarat untuk salah satu dekorasi.

Selain untuk menunjukkan kekuatannya , tindakan seperti ini terutama berfungsi untuk mengembalikan keseimbangan yang sudah terganggu. Jika seorang dari satu kampung telah mengayau seseorang dari kampung yang lain, orang di kampung korban itu harus membalas dengan membunuh seseorang dari kampung pertama. Kalau jumlah korban di kedua kampung itu sudah sama, sudah ada keseimbangan lagi.

Orang-orang muda mendengar dari generasi yang lebih tua kisah-kisah pertempuran masa lalu dan sejarah yang terkait pada setiap bukit dan rawa. Mereka diberitahu berapa banyak kepala yang harus mereka harus ambil kembali nanti. Dengan demikian kebutuhan akan balas dendam diteruskan kepada kaum muda, yang kemudian menganggapnya sebagai suatu kewajiban yang mereka nantikan dengan penuh semangat.

Pengayauan antar kampung sesuku memang juga tentang kekuasaan. Saat kampung Rep semakin kuat, kampung Kepi berjuang untuk membunuh masyarakat Rep. Ketika pastor Boelaars sudah berada di Kepi untuk beberapa waktu, dia ditanya: “Apakah bapak melihat banyak orang laki-laki yang tua di Rep?” Pastor itu harus mengaku bahwa dia tidak pernah menemukan banyak orang tua di kampung itu. Lalu mereka berkata, “Betul bapak, tidak ada lagi, kami sudah makan mereka semua.”

Perdamaian

(1) Yakai

Dua kampung yang terjerat dalam rantai balas dendam hanya dapat membuat perdamaian jika jumlah korban di kedua kampung itu sama. Pada upacara perdamaian mereka tukar anak kecil. Itulah yang terjadi saat Togom dan Kepi berdamai. Kadang-kadang bukan anak melainkan perempuan yang ditukar.

Nasib anak-anak (atau perempuan) itu selalu tidak pasti. Mereka mungkin diadopsi atau diberikan sebagai istri, tetapi bisa saja mereka dibunuh dan dimakan, misalnya kalau anak yang ditawarkan sebagai hadiah perdamaian itu dibeli dari suatu kampung yang lain. Itu sebabnya biasa ada suatu pembayaran atau kompensasi yang diberikan kepada keluarga yang memberikan perempuan atau anak itu.

(2) Asmat

Adat itu mengingatkan pada apa yang biasa di suku Asmat. Suku itu tinggal di sebelah barat laut dari wilayah Yakai. Ketika kampung ganda Kamur dan Haenam mau berdamai satu sama lain, mereka bertukar bayi. Memang hal itu merupakan suatu pengalaman traumatis bagi orang tuanya anak-anak itu! Kedua anak itu dirawat dengan hati-hati sekali, karena jika salah satu dari mereka akan mati, itu berarti akhir masa damai antara kedua kampung itu. Dalam kasus ini semua berjalan dengan baik, dan anak yang diberikan Kamur kepada Haenam sekarang sudah menjadi guru dan kepala kampung di Kamur.

John, anak perdamaian yang diberikan Kamur ke Haenam
Pak John, camat dan guru di Kamur, yang sebagai bayi ditukar pada upacara perdamaian antara Kamur dan Haenam.

3. Pesta-pesta perdamaian

Pastor Meuwese

Pada tahun 1937 pastor Kees Meuwese datang ke Tanah Merah. Dari sana ia memulai pekerjaan Misi di daerah suku Yakai. Setahun sebelumnya, dua pastor lainnya telah mengintai lapangan kerja itu.

Secara teratur Meuwese melakukan patroli panjang ke kawasan Mappi bawah. Pada kunjungan pertama dia langsung mendapat kesan yang tepat tentang suku itu. Orang Kepi baru saja kembali dari pengayauan ke Muin yang ternyata tidak berhasil; kampung Refadup (Yatan) kuat dipagari karena takut akan pengayau dari kali Oba; kampung Mabur (Mur) takut terhadap orang pengayau dari kali Bapai.

Meuwese menempatkan guru di beberapa kampung, tetapi terkadang mereka melarikan diri ke Mappi-pos karena takut disergap.

IMG 7171-Lb-L
Pastor Meuwese di Kali Miwamon, daerah suku Yakai.

Pengampunan adalah kelemahan

Meuwese segera mengetahui bahwa kehadiran Bestuur dan tindakan polisi dan tentara hampir tidak berdampak. Kampung Yodom (satu-satunya kampung Yakai di kali Digul) pergi berburu kepala manusia tanpa terkena hukuman. Kampung-kampung lain dengan tenang saja berkata:

“Jika kami ingin berburu kepala manusia, kami melarikan diri, pergi mengayau, tinggal di hutan sebentar, lalu kembali dan minta maaf. Kompeni (nama lama untuk Bestuur) tidak akan berbuat apa-apa.”

Meuwese merasa jengkel karena Bestuur terus berbicara, sementara semakin jelas bahwa orang Yakai sama sekali tidak memedulikan semua pembicaraan itu. Meuwese tidak begitu puas dengan kapten Wiarda, dan penilaiannya terhadap penggantinya Houbolt juga agak rendah. Menurut Meuwese, orang Yakai menganggap pengampunan sebagai kelemahan, dan oleh sebab itu Bestuur harus bertindak keras jika perlu.  Itu sebabnya dia lebih senang dengan komandan Bouman, yang mendukung kebijakan yang lebih ketat dan lebih keras.

Suku yang ditakuti

Suku-suku di sekitarnya sangat takut akan orang Yakai. Ketika Meuwese mengunjungi daerah kali Wildeman pada akhir tahun 1941, ia menemukan kampung-kampung semua berpagar ketat dan rumah-rumah perempuan tinggi di pohon. Di satu tempat, kali kecil yang merupakan pintu masuk kampung dirintangi oleh jembatan setinggi lima meter dan lebar setengah meter. Pada tiang-tiang jembatan itu ada tongkat-tongkat yang mencuat yang akan membuat para penyerang di perahu jatuh terluka ke dalam air, sedangkan orang yang berdiri di atas jembatan itu dapat menembaki mereka dengan panah dan tombak.

Pesta Baptisan / perdamaian pertama,
Refadup / Yatan 1942

Pastor Meuwese berfokus pada para pemuda laki-laki dan perempuan yang sudah berusia untuk kawin. Di  kampung Refadup pemuda-pemudi itu dengan setia mengikuti pelajaran agama. Tetapi orang tua tidak senang dengan itu dan mereka coba memaksa mereka untuk ikut pergi berburu kepala manusia. Pada bulan Februari 1941, kepala perang di Refadup mempermalukan salah satu pemuda dengan berkata: “Kenapa engkau ikut berbicara, engkau belum pernah memenggal kepala manusia!” Tetapi pada suatu hari anak-anak muda itu menghadapi orang-orang tua mereka dengan busur dan anak panah, dengan berkata: “Silakan kamu bunuh kami! Siapa yang akan memelihara kamu waktu kamu nanti sudah terlalu tua untuk membela diri? Kami akan membunuh kamu kalau kamu mau paksa kami!”
Peristiwa itu memberi semangat kepada pastor Meuwese, dan dia memiliki harapan yang baik bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi dia bisa mengadakan pesta pembaptisan di kampung itu.

Pada Pentakosta 1942 waktunya telah tiba. Banyak orang dari kampung-kampung lain di daerah itu datang menonton. Bahkan orang dari kampung-kampung di kali Miwamon dan kali Bapai yang baru saja pulang dari pengayauan. Lebih dari 1.400 orang dari suku Yakai dan Awyu bersama-sama ikut merayakan pesta di Yatan. Para laki-laki berhiasan dan dengan tombak dan perisai di tangan menari dengan lutut berkibar. Para guru ikut berpesta dengan anak-anak sekolah yang pakai seruling. Dengan demikian pesta pembaptisan ini menjadi pesta perdamaian ratusan orang yang dihiasi dengan burung Cendrawasih, sedangkan anak-anak sekolah pakai blus warna-warni, rok dan celana, karya istri guru.

Dansende vrouwen te Jatan, 1942

Yatan 1942, perempuan yang menari pada pesta perdamaian di Yatan, 1942.

Het eerste kruis in de Mappi wordt Jatan binnen gedragen - 1942
Salib pertama di daerah Mappi dibawa masuk jamnpung Yatan pada tahun 1942. Pastor Mewese ada berdiri menonton.

Habis pesta itu, pastor Meuwese menulis dalam buku hariannya: Kerajaan Kristus kini memulai kemenangannya di wilayah Mappi. Mulai dari pesta ini akan ada damai antara Yakai dan Awyu!

Harapan itu segera menguap ketika beberapa bulan kemudian kampung-kampung di sepanjang kali Oba pergi berburu kepala manusia lagi.

Perang dengan Jepang

Pada bulan April 1942 Jepang masuk Papua. Rupanya mereka tidak terlalu menaruh perhatian terhadap daerah pantai selatan, dan Tanah Merah dan Merauke tetap bebas dari penjajahan Jepang.
Namun demikian, perang berakibat bagi wilayah itu juga. Polisi meninggalkan pos Mappi dan petugas Bestuur Lebelauw pindah ke Yodom. Mappi-pos dijarah dan di mana-mana orang Yakai pergi mengayau lagi. Beberapa kampung bahkan mengancam akan membunuh pemuda-pemuda Katolik agar tangan mereka benar-benar bebas untuk pergi berburu kepala manusia.

Lebelauw suruh para guru meninggalkan wilayah kali Oba dan kali Miwamon karena kurang aman. Namun, sejumlah guru menolak perintahnya karena mereka takut Zending Protestan nanti akan masuk tempat-tempat tugas mereka. Lebelauw dikenal sebagai seorang Protestan yang di masa lalu juga sudah pernah coba tolong Zending mendapatkan tempat di wilayah Misi Katolik. (Bnd. pos 25 di website ini)

Moerassen aan de Oba
Rawa-rawa di kali Oba, daerah suku Yakai, tahun 1944.

Tentara Australia

Pada tahun 1943 sekelompok tentara Australia jalan dari Okaba di pantai selatan ke Yodom di kali Digul. Dari sana mereka naik kali Oba dengan kapal. Di daerah kali Miwamon mereka urus 75 orang Yakai dengan 25 perahu. Mereka mau coba cari jalan ke kali Wildeman dan terus ke kali Eilanden untuk melihat seberapa jauh orang Jepang telah menembus daerah itu.

Mereka hanya jalan pada malam hari; siang hari mereka bersembunyi karena mereka mau menghindari kemungkinan pesawat terbang Jepang akan menemukan mereka. Sepanjang jalan mereka tidak bertemu dengan perempuan atau anak-anak, hanya dengan laki-laki yang ternyata sangat berwaspada. Di hampir setiap bivak di pinggir kali mereka lihat kelompok-kelompok tengkorak tergantung.

Pada bulan Januari 1944, tentara Australia mendirikan pos penghubung di Masin di hulu kali Oba.

Koppen en schilden bij een bivak in de Mappi, 1944
Bivak dengan sekelompok tengkorak dan dua perisai, di daerah suku Yakai, tahun 1944.

Pedoman umum

Setelah perang, Bestuur dan Misi melanjutkan pekerjaan mereka. Pastor Meuwese membangun rumah di Kepi dan pada bulan Mei 1947 ia pindah ke sana. Kepala Bestuur (H.P.B) di Tanah Merah pada saat itu adalah Rafael den Haan. Meuwese dan Den Haan bergaul dengan baik. Bersama-sama mereka menyusun Pedoman Umum. Dalam pedoman itu Misi diberikan tugas preventif berupa pendidikan masyarakat kampung oleh para guru. Tugas Bestuur itu adalah tugas represif, misalnya tangkap orang pengayau dan menyita kepala manusia yang dipenggal. Misi dan Dewan bersepakat untuk hanya mengakui perkawinan di mana tidak diberikan tengkorak kepada pengantin perempuan. Bestuur akan mengurus bahan kontak yang harus menggantikan tengkorak di pesta perkawinan, sedangkan pemimpin patroli Bestuur ditugaskan untuk memotong tanda-tanda duka.

Kedengarannya aturan-aturan ini memang bagus, tetapi pelaksanaannya menjadi masalah. Residen Nieuw-Guinea bapak Jan van Eechoud menyetujui pedoman ini, tetapi pada saat yang sama menyatakan dengan lugas:

“Mengingat perhubungan yang buruk dan kurangnya tenaga polisi, kemungkinan penerapan pedoman itu menurut saya meragukan. Terlebih lagi karena pedoman ini menekankan kuat tugas polisi yang harus mengawasi pelaksanaannya. Namun, menurut saya sangat pasti bahwa polisi saat ini tidak memiliki kapasitas untuk melakukannya.”

Jan van Eechoud, Van Kampen afdrukken
J.P.K. van Eechoud (1904-1958), residen serta penjabat gubernur di Nederlands Nieuw-Guinea.

Polisi Papua

Bestuur mendirikan korps polisi Papua. Dengan menggunakan polisi ini, Den Haan berusaha mengakhiri pengayauan orang Yakai. Tetapi kualitas korps ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Den Haan menyebutkan bahwa dari tenaga-tenaga polisi Papua yang dikerahkannya pada tahun 1948, lebih dari setengahnya adalah tenaga baru yang belum berpengalaman. Sebagian besar dari mereka tidak bersepatu. Apalagi persenjataannya terdiri dari senapan Jepang kuno yang sering gagal pada saat kritis. Pada umumnya korps polisi Papua pada saat itu juga kurang disiplin.

Maturbongs

Pada tahun 1947 Lebelauw diganti oleh seorang B.A. (Bestuurs Ambtenaar – petugas Bestuur) baru yang bernama Felix Maturbongs. Dia berasal dari pulau Kei, dan pada saat itu sudah cukup berpengalaman. Dia dulu pernah bekerja di bidang pendidikan. Kemudian pada tahun 1937 ia menjadi pejabat Bestuur di Asmat dan membuka pos Agats. Selama perang ia bekerja untuk intelijen Australia.

Meuwese senang bahwa Lebelauw sudah pindah dan yakin akan cara kerja penggantinya. Pusat Bestuur di daerah Mappi pada saat itu adalah kampung Masin. Letaknya tempat itu sangat strategis karena di perbatasan wilayah di utara yang saat itu masih belum dikuasai pemerintah, dan wilayah suku Yakai di selatan.

Dari Masin, Maturbongs memulai mengadakan banyak patroli intensif di wilayah pemerintahannya. Dia bermaksud membangun hubungan yang baik dengan orang Yakai. Dia sadar bahwa butuh waktu untuk memenangkan kepercayaan mereka, karena orang Yakai memandang Bestuur sebagai musuh mereka. Pengalamannya sebagai guru tercermin dalam kebijakannya memberikan banyak informasi dan hanya menghukum di mana orang tidak mau dengar. Itu sebabnya bahwa tidak lama baru pastor Meuwese mulai kesal dengan pendekatan Maturbongs yang dia sebut sebagai B.A. Manis, karena kebijakannya lebih dicirikan oleh sifat kebapakan daripada tindakan tegas dengan otoritas:

“Saya dengan jelas mengatakan kepadanya bahwa metodenya di sini di daerah Mappi bukanlah metode yang tepat, dan bahwa orang-orang di sini sudah mengatakan bahwa dia adalah B.A. yang baik, artinya, sorang B.A. yang bisa dipermainkan. Saya sudah menyarankan kepadanya untuk akhirnya memulai dengan bagian kedua dari programnya, yaitu dengan bagian yang lebih panas. Bukan kata-kata manis lagi, melainkan rotan pada waktunya dan bahkan lebih keras lagi jikalau perlu.”

Maturbongs op tournee
Maturbongs (1898–1978) dalam suatu perahu pada petroli di daerah suku Yakai.

Apakah pengayauan adalah perkara kriminal?

Menangani perkara pengayauan tentu tidak mudah. HPB Den Haan juga sangat sadar akan hal itu:

“Terutama dalam perkara pengayauan kami tidak menentang tindakan kriminal begitu saja. Karena perolehan kepala manusia merupakan bagian integral dari adat orang Mappi. Menurut pemandangan kami, orang itu telah melakukan pembantaian yang paling pengecut dari orang yang sering kali tak berdaya. Tetapi orang itu sendiri berpendapat bahwa dia sudah melakukan sesuatu yang menurut norma adat merupakan suatu kewajiban imperatif, yaitu memperoleh kepala manusia.”

Oleh karena itu tidak mengherankan, katanya, bahwa biasanya hakim tidak menemukan penyesalan sedikit pun. Sebaliknya,

“terheran-heran mereka bertanya-tanya mengapa mereka dituntut karena melakukan sesuatu yang menurut pemandangan mereka sendiri merupakan tindakan berjasa.”

IMG 7226-L
Maturbongs dengan seorang kepala kampung.

Pendekatan Maturbongs

Agar menghilangkan alasan orang Yakai untuk memenggal kepala manusia, Maturbongs merancang berbagai tindakan.

Karena Yakai membutuhkan tengkorak untuk upacara pesta perkawinan, dia membuat daftar harga barang-barang yang harus diberikan oleh seseorang yang mau kawin ganti satu atau dua tengkorak. Dia juga memberlakukan semacam perkawinan sipil: siapa yang mau kawin harus lapor diri di pemerintah, dan kemudian kedua mempelai dan kerabat mereka harus membubuhkan cap jempol di bawah pernyataan bahwa tidak ada tengkorak yang akan diserahkan. Siapa pun yang kawin tanpa membuat pernyataan ini akan dibawa ke pos Bestuur di Masin untuk penyelidikan lebih lanjut.

Untuk mengakhiri masa duka Maturbongs memikirkan suatu pesta baru: pada hari ke-40 setelah kematian, sebuah salib harus ditanam di atas kuburan baru pakaian duka harus dipotong.

Tindakan polisi

Pada bulan Februari 1948, sejumlah kampung bersama-sama merayakan pesta tengkorak besar. Pada pesta itu mereka juga menukar seorang anak yang kemudian pada pesta itu disembelih dan dimakan.

Pada kesempatan itu Maturbongs tunjuk bahwa dia juga bisa bertindak dengan kuat. Dengan bantuan detasemen polisi Papua di Tanah Merah, dia kirim beberapa pasukan polisi untuk menyerang tempat di mana mereka bersembunyi dari tiga sisi sekaligus. Pendekatan ini membuat para pelaku tidak mungkin melarikan diri dan jika mereka melawan mereka ditembak. Hal itu membuat kampung-kampung itu menyerah kepada Bestuur. Pada akhirnya, 9 pelaku diadili di kampung mereka sendiri; mereka divonis 1 sampai 3 tahun.

IMG 7225-L
Polisi mengejar orang pemburu kepala manusia

Pesta pembaptisan dan perdamaian kedua:
Enem 1948

Pastor Meuwese merasa lega:

Orang Papua akhirnya merasakan apa makna ‘senapan bambu’ milik Kompeni [nama kuno pemerintah kolonial Belanda]. Saya yakin bahwa dengan ini omong kosong dari B.A. Maturbongs untuk sementara kehilangan efek buruknya. Hanyalah, asal dia terus bertindak kuat, artinya, asal dia tidak tertawa saja dengan tidak melakukan apa-apa waktu mereka tidak mengikuti perintahnya. Dengan lembutnya karena kebaikannya dia telah menyebabkan beberapa pengayauan (termasuk oleh kampung-kampung di daerah Miwamon).

Tindakan polisi ini membuka jalan untuk mengadakan pesta pembaptisan besar di Enem yang diadakan pada tahun yang sama. Misi yakin kuat bahwa era pengayauan akhirnya berakhir. Pada awal Januari 1949, dengan tidak merasa khawatir sama sekali, pastor Meuwese pergi cuti ke Belanda.

Paters Meuwese en Verschueren, ca. 1946
Pastor Meuwese dan pastor Verschueren, sekitar tahun 1948.

Rencana-rencana pengayauan

Pastor Verschueren sementara mengganti Meuwese:

“Apakah mengherankan bahwa, setelah jabat tangan ramah terakhir dari Meuwese, saya merasa sepi, tetapi bangga juga, dengan lapangan kerja baru yang begitu indah: dua ribu orang Katolik baru, tiga puluh sekolah yang berjalan baik, dan ribuan orang yang menunggu Baptisan Kudus…
Tiga minggu kemudian tiga kampung masuk hutan lagi; para pemudanya kampung-kampung itu baru saja dibaptis di pesta yang besar itu. Dengan segala harta bendanya mereka meninggalkan kampung-kampung mereka dan tidak ada yang tahu ke mana mereka pergi. Tetapi yang pasti itu bahwa mereka jatuh kembali ke kebiasaan yang lama, ke perburuan kepala dan dendam berdarah, ke semua praktik kekafiran lama mereka…”

Selama tiga bulan Verschueren mengejar mereka untuk membujuk mereka supaya pulang ke kampung. Pada akhirnya usahanya berhasil berkat bantuan patroli polisi. Tindakan mereka mencegah pemburuan kepala yang direncanakan. Pertengahan bulan Juni keadaan kembali normal.

De Oba rivier
Kali Oba, daerah suku Yakai.

Namun belum sampai satu tahun kemudian baru seluruh masyarakat dari enam kampung di daerah kali Miwamon masuk hutan lagi untuk pergi berburu kepala manusia. Jumlah mereka lebih dari seribu orang, termasuk perempuan dan anak-anak. Sekali lagi pastor Verschueren mengejar mereka.

Pada malam yang semakin gelap, kami menemukan mereka waktu mereka sementara berbivak di mulut anak kali kecil. Dengan bersikap mengancam mereka menunggu kami. Para perempuan dan anak-anak cepat disuruh ke belakang, sedangkan para laki-laki berdiri di depan dengan berdiam dan muka muram, siap dengan tombak dan perisai. Kami bicara…, bicara… Efeknya sama seperti berbicara kepada pohon-pohon di hutan. Sesekali seorang melompat ke depan dengan tombak dan perisai, berlari bolak-balik dengan mengancam baru kembali ke barisan siluet garang di pinggir kali.
Pak guru, yang ikut kami dan yang tahu bahasa mereka, menjadi marah dan mulai berteriak dan mengancam… Tidak berhasil, orang-orang tua menertawakannya.

Akhirnya hanya sekelompok orang Katolik yang menyerah dan dengan diam-diam ikut kami di malam yang gelap berdayung pulang ke kampung-kampung yang kosong. Orang lain hilang tanpa harapan. Pada malam ini mereka akan berangkat dan langsung menuju daerah di mana mereka pergi berburu kepala manusia; semuanya sudah diatur, dan kampung-kampung yang mereka mau menyergap sudah diintai.
Di kampung yang kosong, seekor anjing yang ditinggalkan melolong ke sepetak bulan kuning di langit yang hitam pekat.

Maturbongs juga benar-benar terkejut ketika mendengar ini. Dia membiarkan kegilaan orang itu mereda, dan ketika mereka kembali tiga bulan kemudian, dia menangkap para pelakunya dan memberikan hukuman yang berat. Yarumb, sang pemimpin, yang pada tahun 1936 pernah menjadi pemandu kedua pastor yang mengintai daerah Mappi-bawah sebelum Meuwese datang, divonis 8 tahun penjara di Tanah Merah. Pada tahun 1987, ketika dia sudah berusia sekitar 80 tahun, ia telah menjadi seorang Katolik yang aktif.

Kepi Kerk Feest 1951-L
Lengkungan yang luas yang terdiri dari perisai-perisai Yakai sebagai latar belakang altar terbuka di Kepi, 1951.

Pesta Pembaptisan dan Perdamaian Ketiga:
Kepi 1951

Untuk memberantas kegilaan yang tiap-tiap kali muncul kembali ntuk selama-lamanya, pastor Verschueren mendapat gagasan untuk mengadakan suatu pesta perdamaian yang besar sekali:

Pesta itu harus menjadi seperti granat yang meledak: seperti peledakan bom yang bunyinya akan membangunkan bahkan orang tua yang paling tuli dan menggiatkan seluruh suku ini, dengan pemuda Katolik di depan, untuk kehidupan baru.

Vredesfeest Kepi 1951, aankomst van de laatste kampong Yodom
Pesta perdamaian Kepi 1951, kedatangan kampung Yodom.

Pesta besar itu diadakan di Kepi pada bulan Juli 1951, dan berlangsung selama seminggu penuh. Untuk upacara-upacara telah dibangun sebuah altar terbuka yang besar dengan latar belakang berbentuk lengkungan yang luas yang terdiri dari perisai-perisai Yakai. Pesta itu dihadiri oleh Uskup Tillemans yang baru dilantik untuk vikariat Merauke, dan oleh beberapa pastor Misi dan petugas Bestuur. Pada pesta itu, 1200 anak sekolah dibaptis dengan kehadiran 5000 orang Yakai dan 1000 orang Awyu. Kedua suku itu membuat perdamaian yang mengesankan di pesta ini.

Vredesfeest Kepi 1951 diverse foto\'s
Kepi 1951, Anak-anak berbaris untuk dibaptis
IMG 4530-L
Kepi 1951, kelompok tamu sedang dalam perjalanan menuju penyerahan gelar ksatria kepada Pastor Verschueren. Dari kiri ke kanan, garis depan: Meuwese, Nieland, Verschueren, Tillemans, De Brouwer. Garis kedua paling kanan: Thieman.
Vredesfeest Kepi 1951; Mappiërs en Auwju\'s rukken op om vrede te gaan sluiten
Pesta Perdamaian Kepi 1951; orang Yakai dan orang Awyu maju untuk upacara perberdamaian.

Di tangan dua atau tiga kepala perang yang hebat, dua massa orang yang mengerikan besarnya ini bersikap patuh seperti dua binatang buas yang sangat besar yang sudah dijinakkan. Dengan berdiam diri mereka mendengarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh kepala-kepala perang itu yang berbicara dengan gerakan besar dan liar. Mereka mundur atau maju ke depan ketika diperintahkan.

Lalu tiba-tiba binatang Mappi berkepala seribu itu mulai bergerak, dan dengan pelan-pelan mulai berputar di sekitar kelompok orang Awyu yang menggerombol di sana. Trompet pengayau meraung lagi, tifa bergemuruh. Langkah monster itu semakin cepat, suara kasar dari ribuan orang mengaum di atas bunyi trompet-trompet pengayau. Semuanya itu menjadi kekacauan berputar buas yang terdiri dari tubuh-tubuh yang berkeringat dan warna-warna yang bersinar, yang dengan makin cepat dan mengaum berputar sekitar gerombolan orang Awyu seperti angin besar yang berkisar.

Vredesfeest Kepi 1951 diverse foto\'s
Vredesfeest Kepi 1951 diverse foto\'s

Kepi 1951, pesta perdamaian; orang Yakai berlari di sekitar orang Awyu.

Tiba-tiba monster itu surut, mengaum dari seribu kepala, suara langkah seribu kaki, membelok seperti monster berekor panjang yang mengerikan, berbelok lurus ke kelompok orang Awyu yang rapat bergerombol. Kemudian dengan teriakan gemuruh ia menyerang, lurus ke orang Awyu itu. Dengan tombak terangkat ribuan orang Yakai itu berlari kencang, awan debu menerpa, tifa-tifa bergemuruh, trompet-trompet pengayau melolong, suara-suara berteriak…

Kelompok orang Awyu berdiri tanpa bergerak dan tidak menyingkir satu langkah pun.
Ketika orang Yakai itu sampai kurang dari dua meter dari kelompok orang Awyu itu, mereka mengayunkan tombak-tombak mereka ke tanah, ribuan tombak, dan saat tombak-tombak itu dengan bergetar masuk ke tanah yang gembur, para pelempar meraih ujung atasnya dan menekan dan mematahkan tombaknya dengan bekertak-kertak.

Vredesfeest Kepi 1951 diverse foto\'s
Kepi 1951, pesta perdamaian; orang Yakai mematahkan tombak-tombak mereka.

Meriam tifa-tifa tiba-tiba berhenti, binatang besar Mappi diam. Untuk sesaat tidak ada apa-apa selain retakan ribuan tombak dan perisai yang dipatahkan, tombak-tombak Yakai yang berduri dan tombak-tombak Awyu yang indah dengan bulu-bulu burung kuning. Terjadi tumpukan besar tombak dan perisai yang dipatahkan, dan di belakangnya berdiri orang yang mengadakan perdamaian. Dan kemudian tiba-tiba tidak ada lagi dua kelompok, tidak ada kelompok orang Yakai dan kelompok orang Awyu, hanya sekelompok orang yang tertawa dan berpelukan. Keringat bercucuran dari tubuh-tubuh yang berkilauan, rahang saling bergesekan, bongkahan sagu kering berpindah-pindah dari satu mulut ke mulut lainnya.

Ribuan tombak dan perisai, hasil karya bertahun-tahun, dibuang saja dan tergeletak sembarangan seperti tumpukan besar puing-puing berwarna…

Vredesfeest Kepi 1951 diverse foto\'s
Tumpukan tombak yang dipatahkan pada pesta perdaiaman Kepi 1951.
Vredesfeest Kepi 1951 diverse foto\'s
Kepala-kepala perang suku Yakai dan Awyu sudah berdamai, Kepi 1951.

4. Pastor muda

Proyek Kebanggaan Misi

Pada bulan April 1955 pastor muda itu diberitahu bahwa dia akan ditempatkan di Kepi. Di Merauke dia berbicara dengan Uskup Tillemans, yang menyebut daerah Mappi itu sebagai proyek kebanggaan Misi. Kata Uskup, pengayauan yang sebagai kanker yang mematikan tidak lagi terjadi di daerah sekitar Kepi. Sudah ada dua puluh dua kampung yang hidup damai satu sama lain di daerah Mappi yang dulu mempunyai nama jelek, ujarnya, dan tidak ada lagi orang Yakai yang masih ingin pergi mengayau atau makan daging manusia. Setelah perayaan perdamaian besar-besaran, sudah tiba masa pembangunan. Demikianlah salam perpisahannya yang memberikan harapan tinggi.

Pater Van der Velden
Pastor Van der Velden, M.S.C.

Natal, Kepi 1954

Di luar gereja, para perempuan dan laki-laki kampung Kepi sedang menunggu. Kepala-kepala perang berdiri di depan, dengan perhiasan indah yang berwarna-warna seperti di zaman dulu.

Anak-anak sekolah mulai datang keluar dari gereja. Sambil bernyanyi mereka membawa bayi Yesus dan meletakkan patung rapuh itu di tangan pengayau terbesar di kampung itu; dia telah memenggal banyak kepala dengan berdarah dingin, dan tanpa ampun sudah menipu dan membantai musuh. Sekarang dia berdiri di sana dengan patung itu di dalam tangannya. Dia tidak begitu mengerti apa yang terjadi, tetapi dia tahu bahwa dia, kepala perang yang tua itu, boleh membawa bayi itu di sekitar orang-orangnya karena masa baru telah tiba dan orang ingin hidup berdamai satu sama lain.

Orang lain mengambil tifa yang di zaman dulu digunakan untuk membunyikan kemenangan atas musuh. Malam ini tifa-tifa dipukul karena seorang perempuan telah melahirkan anak di tengah malam. Orang-orang tua dengan wajah berkerut memandangi saya. Seolah-olah para gembala telah melarikan diri dari palungan dan sekarang berdiri di depan saya. Dan dengan suara yang kasar dan serak mereka angkat suatu nyanyian baru dengan pakai lagu yang lama:

Oh bayi kecil, bayi kecil
oh ibu melahirkan di kandang, di kandang,
oh bayi kecil itu, oh bayi kecil itu
ibu di kandang, oh
ibu dan bayinya, oh.

Kerststal in kampong Kepi 1954
Kepi 1954, kandang Natal.

Petugas dan pastor baru

Pada bulan Pebruari 1953 daerah sekitar Kepi menjadi distrik sendiri. Sebagai HPB di Kepi diangkat bapak Nieland, seorang Protestan dan pendukung pemisahan yang tegas antara gereja dan negara. Pada akhir tahun itu ia digantikan oleh Cappetti.

Pastor Verschueren dipindahkan ke Marind, dan pastor Meuwese, yang sudah kembali dari cuti, menjadi kepala Misi di Kepi. Di Kepi sudah masuk sejumlah pastor yang tinggal di sana untuk bekerja di berbagai wilayah distrik itu: pastor Verhoeven, pastor Boelaars, dan pastor Schuur. Tidak lama kemudian, pastor Lommertzen dan dua pastor baru yang bernama Huiskamp dan Van der Velden juga ditambahkan. Terjadi suasa kerja sama yang erat antara HPB Cappetti dan Misi.

Boelaars Mappi-225-L
Tim Bestir dan Misi. Dari kiri ke kanan: pastor Boelaars, ibu Maturbongs, ibu Cappetti, uskup H.Tillemans, nona. Maturbongs, pastor Schuur, H.P.B. Cappetti, B.A. Maturbongs, bapak De Vries.

Di atas atau di samping

Dari awalnya pastor muda itu kurang senang dengan suasana itu. Menurut dia, Misi dan Bestuur terlalu banyak saling memandang. Bersama-sama mereka menyusun program mereka, dan dari atas mereka mengatur kehidupan orang Yakai yang harus melakukan apa saja yang diperintahkan mereka, seperti dalam pertunjukan boneka kayu. Menurut pandangannya, Misi dan Bestuur dekat satu sama lain, tetapi jauh dari orang Yakai.

Pastor muda itu tidak berniat menyesuaikan diri dengan cara kerja sama yang dipuja-puja oleh para pastor lain. Dia datang ke Kepi untuk bekerja dengan orang Mappi, dan dia tidak mau berdiri di atas tetapi di samping mereka.

Dia juga kurang senang perilaku Bestuur. Petugasnya selalu berseragam dan mereka tidak pernah berhenti memberi hormat, dan pada setiap kunjungan ke kampung-kampung mereka menembakkan senjata mereka untuk membuat orang kagum. Semua cerita Maturbongs mengenai patroli dengan banyak polisi dan kekerasan membuat pastor muda itu merasa kedinginan. Pejabat ini sangat otoriter dan kadang-kadang berbicara dengan cara meremehkan orang Papua. Pastor muda tidak merasa senang dengan dia.
Setelah tinggal sebentar di Kepi dia mendirikan rumahnya sendiri di Wanggete, salah satu kampung di daerah kali Miwamon, dan pindah ke sana.

Paters Meuwese en Boelaars op pendopo paterhuis in Kepi
Pastor Meuwese dan pastor Boelaars di pendopo rumah Misi di Kepi.

Asmat

Daerah Asmat tahun 1956 resah. Bestuur dan Misi terkejut, karena akhir-akhir ini semua berjalan dengan baik dan damai. Pada awal bulan Maret, 28 orang dibunuh di antara kali Utumbuwe dan kali Eilanden. Pada pertengahan bulan itu, kampung Kaimo di kali Eilanden mengayau 23 orang di kali Wildeman. Beberapa hari kemudian, kampung tetangga Kaimo dan Yaosekor bersama-sama menyerbu sebuah kampung di muara kali Eilanden, tetapi kampung itu ternyata hampir kosong sehingga hanya satu orang yang kepalanya dipenggal. Pada bulan berikut mereka lebih sukses di kampung lain dan membuat 24 korban di sana.

Pada suatu hari, seorang penting dari Ayam dibunuh saat dia mengunjungi kampung Yipayer. Beberapa bulan kemudian, empat perahu dari Yipayer tiba di Ayam pada malam hari. Mereka membawa suatu perahu baru yang dipesan oleh guru agama Katolik di Ayam. Malam itu, beberapa perempuan pergi ke rumah anak laki-laki dari orang yang dibunuh, menekan sepotong kayu yang membara pada dadanya, dan dengan kata-kata menantang mengingatkannya akan kewajibannya untuk membalas dendam. Ia menyerah dan dengan membawa beberapa temannya, ia pergi menyerang tamu-tamu dari Yipayer. Beberapa orang dari rombongan itu berhasil melarikan diri, tetapi seluruh kampung mengejar mereka dan akhirnya mereka semua dibunuh: 22 laki-laki dewasa, 2 perempuan dewasa, dan 5 anak-anak.

Sementara itu adadua guru agama Katolik di Ayam, dan baru-baru dua orang misionaris Protestan yang menetap di sana juga, Preston dan Roesler, dari TEAM.

Suasana yang tegang

Waktu pastor mudah itu sudah satu tahun bekerja di daerah Mappi, dia menulis surat di majalah Misi di Belanda:

Bagaimana keadaan orang-orang di sini? Saat ini suasana lagi tegang. Pengayauan menulari. Setelah Agats itu juga mulai di sini. Keadaan di sekitar Wanggete tidak tenang dan saya telah minta bantuan dari polisi. Bukan karena saya sendiri yang gelisah, tetapi saya lebih suka tidak melihat bagian orang di wilayah pelayanan saya dibantai oleh beberapa orang penaik darah.

Beberapa orang dari Wanggete kemarin diikat dan dibawa ke Kepi. Mereka tertangkap ketika mereka sedang ikut pada persiapan pesta tengkorak. Salah satu dari mereka adalah teman akrab dan juru bahasa saya, dan hal itu merupakan kekecewaan yang pahit bagi saya. Dia menatapku dengan tatapan malu-malu. Baru saja dia menceritakan kepada saya semua cerita pengayauan yang kejam dari masa lalu, dan mengatakan betapa buruknya itu. Sebenarnya saya sudah bermaksud untuk membaptis dia dalam beberapa bulan…

IMG 4662-L
Pastor Van der Velden dengan orang kampung Isage.

Bestir sudah mundur

Ketika HPB Cappetti pergi cuti, untuk sementara dia digantikan oleh B.A. Labree (bnd. pos-pos 20 dan 25 di website ini). Pusat Bestuur di Hollandia kirim instruksi bahwa selanjutnya tindakan yang diambil harus kurang ketat dan bahwa kebebasan masyarakat harus lebih dihormati. Sebagian latar belakang petunjuk ini adalah nama baik proyek kebanggaan Misi ini.

C.W. Labree
C.W. Labree

Tidak lama sesudah Cappetti kembali dari cutinya dia digantikan oleh Du Buy. HPB ini jelas mendukung kebijakan baru. Dia jarang melakukan patroli dan polisi hampir tidak bertindak keras lagi terhadap masyarakat.

Orang Yakai segera menyimpulkan bahwa Bestir sudah mundur. Itu cocok bagi mereka karena tidak hadirnya Bestuur itu memberi mereka kesempatan untuk angkat kembali kehidupan lama mereka. Rasa haus akan balas dendam muncul lagi, di bivak-bivak di hutan orang dengan penuh semangat menari dan menyanyi sepanjang malam, dan di mana-mana mereka mulai bikin perahu perang baru. Tetapi di depan Bestuur dan Misi mereka tetap berpura-pura hidup sebagai umat Katolik yang taat dan tenang.

IMG 4645-L
Masin, Maret 1959, pesta baptisan, pastor Van der Velden memimpin ibadah.

Berkedok

Dalam surat kepada Uskup di Merauke, pastor muda itu menulis:

Setiap hari saya insaf lebih baik bahwa kita berdiri di atas orang Papua. Kita tinggal di dunia kita dan mengukur segalanya dengan patokan budaya kita. Dengan kedatangan Bestuur dan Misi, penampilan kehidupan orang Yakai sudah berubah drastis. Mereka tidak lagi mengayau, mereka kurang berkelahi, mereka lebih sabar satu sama lain, tetapi bukankah itu karena takut akan hukuman? Apakah orang-orang ini memakai kedok? Dan siapa yang akan merobeknya untuk menemukan wajah mereka yang sebenarnya? Sejak Bestuur menaklukkan orang Yakai, mereka sering tampak seperti boneka. Akankah agama membebaskannya dan membuatnya menjadi dirinya sendiri lagi? Bagaimanapun, tidak akan pernah demikian selama orang Yakai terus melihat pacaran Bestuur dan Misi. Selama kedua organisasi itu jalan bergandengan tangan, orang Yakai akan tetap memakai kedoknya.

IMG 4679-L
Pastor Van der Velden bercakap-cakap dengan ibu-ibu dari kampung Isage, daerah suku Yakai.

5. Orang Yakai membuka kedoknya

Rencana pengayauan

Pada awal tahun 1958, seorang pemuda dari kampung Gadom dibunuh oleh orang dari Chayu, sebuah kampung Awyu di kali Mappi. Orang Gadom mau membalas dendam. Mereka membuat tombak, dan mereka juga melibatkan kampung tetangga Wanggete dan Yamui dalam rencana mereka.

Ketika pada bulan Juni seorang pastor mengunjungi kampung-kampung ini, segera menjadi jelas baginya bahwa mereka sedang mempersiapkan pengayauan. Dia melaporkan hal itu kepada polisi; ketika polisi datang menyelidiki hal itu mereka menemukan bahwa jalanan-jalanan di hutan yang pada zaman dulu dipakai untuk pergi mengayau sudah dibuka kembali, dan bahwa ada bivak didirikan di tiap-tiap tikungan di sepanjang kali Mappi untuk mengendalikan kali itu. Polisi membakar bivak-bivak itu dan tindakannya mencegah pengayauan yang direncanakan.

Setahun kemudian, pada tanggal 17 Juni, pastor Boelaars di Kepi menulis surat kepada HPB Du Buy untuk mengingatkannya bahwa kehidupan di hutan meningkat pesat dan bahwa ada bahaya bahwa itu akan mengakibatkan kampung-kampung runtuh. Ketika seorang pegawai Bestuur dari distrik tetangga menemukan bivak-bivak dan banyak perahu di kali Mappi, rencana untuk menyerang Chayu sekali lagi gagal.

Berita-berita yang mengkhawatirkan

Keadaan tetap resah. Pada tanggal 15 Juli, pastor Huiskamp kirim surat edaran kepada umat Katolik di daerah pelayanannya. Di dalamnya dia mengatakan:

Saya dapat kesan bahwa kamu menari dan bernyanyi seperti orang yang mau pergi berkelahi lagi, seperti orang yang ingin lagi melepaskan anak panah dan tikam dengan tombak, seperti orang yang mau menumpahkan darah lagi, seperti orang yang mau tunjuk lagi bahwa mereka adalah orang yang berani dan kuat.

Di Kepi dia memberikan surat itu juga kepada HPB Du Buy, yang bersama dengan Maturbongs siap berangkat berpatroli dengan kapal Castor. Dia memasukkan surat itu ke dalam sakunya tanpa membacanya. Mereka berangkat dan mengunjungi kampung-kampung yang dilaporkan mempersiapkan pengayauan, tetapi menganggap situasinya tidak mengkhawatirkan. Sesudah itu mereka melanjutkan perjalanan mereka ke daerah yang belum dikelola Belanda di sebelah barat laut dari daerah suku Yakai.

Seminggu kemudian, seorang pastor lain dalam dua surat memperingatkan pejabat Bestuur yang masih ada di Kepi bahwa orang Yakai meninggalkan kampung-kampung mereka dan pergi ke kali Wildeman; itu berarti, demikian tulisnya, bahwa mereka sedang mempersiapkan pengayauan ke wilayah Awyu. Dia mohon agar segera diambil tindakan.

Vredesfeest Kepi 1951 diverse foto\'s
Orang Yakaj sedang menari dan pukul tifa.

Orang Citak

Pada bulan Juni sekelompok orang Citak dari daerah kali Wildeman datang ke Kepi untuk tukar-menukar. Mereka datang ke Kepi melalui kali Miwamon, tetapi waktu pulang mereka pilih jalan melalui Masin. Dengan demikian mereka lolos dari penyergapan orang Yakai, karena kampung-kampung di kali Miwamon sudah siap untuk menyerang mereka jikalau mereka pulang melalui kali itu.

Pada tanggal 23 Juli, ada orang Citak lain lagi yang datang ke Kepi melalui kali Miwamon. Kelompok ini terdiri dari seratus lebih orang. Banyak dari mereka berasal dari Senggo, sebuah kampung di kali Wildeman, sekitar satu atau dua kilometer di sebelah utara muara kali Sua (lokasi lama kampung itu). Ketiga belas perahu mereka penuh dengan sagu, ikan bakar, ulat sagu, pisang, busur dan anak panah, dan hal-hal lain lagi, yang mereka mau tukar untuk pakaian, kapak, dan pisau. Ketika mereka dekat kampung Kogo lewat suatu bivak besar, dengan suara nyaring mereka menyambut orang di bivak itu dengan pekik. Mendengar gemuruh suara orang Citak itu, orang di bivak itu terkejut. Tetapi perahu-perahu orang Citak terus berjalan. Pada siang hari mereka tiba di Kepi sambil bernyanyi dengan semangat.

Rep aan de Miwamon, febr 1940
Kampung Rep di kali Miwamon, Yakai, tahun 1940.

Penyerangan bertahap: hari Sabtu

Pada hari Sabtu sebagian dari orang Citak sudah pulang. Mereka senang sekali. Tetapi karena mereka telah menukar semua bola sagu yang mereka bawa. tidak tinggal lagi makanan bagi mereka sendiri.

Dengan lima perahu mereka berdayung masuk kali Miwamon menuju kali Wildeman. Mereka lewat kampung Rep, kampung Enem, dan kampung Kogo. Sedikit lebih jauh, di mana kali sempit, mereka menemukan suatu perahu dengan orang Kogo; mereka mau dapat tembakau dari orang Citak itu. Ketika orang Citak tidak mau memberikannya, salah satu dari orang Kogo itu melemparkan tombaknya ke orang Citak. Itulah tanda bagi orang Yakai yang lain yang sudah bersembunyi di sana. Mereka keluar dari alang-alang tempat mereka bersembunyi dan menyerbu orang Citak yang tidak curiga itu dan yang tidak bersenjata.

Orang Citak itu meninggalkan satu perahu yang kurang cepat, dan para penumpangnya melompat ke perahu-perahu yang lain. Dari empat perahu itu, dua mengambil tikungan luar dan berhasil meloloskan diri. Dua perahu lainnya mencoba melarikan diri ke Kogo, tetapi upaya mereka sia-sia dan semua orang terbunuh.

Sedikit lebih jauh, dua perahu yang sudah lolos itu menemukan perahu dari Wanggete yang mau menahan mereka. Salah satu dari kedua perahu Citak luput dari sergapan, perahu yang lain digulingkan dan orangnya dibunuh.

Kaart Miwamon IND - Klein

Penyerangan bertahap: hari Minggu

Hari berikut sisa kelompok orang Citak berangkat dari Kepi. Mereka sangat gembira dan dalam suasana yang meriah karena kapak, tembakau, celana panjang, dan pakaian lain yang telah mereka tukar di Kepi.
Ketika kedelapan perahu Citak sudah lewat Rep, Enem, dan Kogo, perahu-perahu dari ketiga kampung itu mulai mengejar mereka. Dekat kampung Kogo mereka mendayung sedikit lebih pelan untuk menghindari suara dayung banyak itu akan menimbulkan kekhawatiran guru di sana.

Ketika orang Citak melihat perahu-perahu yang mengejar mereka, mereka merasa terancam. Mereka pergi ke pinggir kali untuk bikin tombak dari bambu yang tumbuh di sana.

Baru ada suatu perahu yang datang dari atas. Ternyata itu perahu guru yang dalam perjalanan ke Kepi. Dalam bahasa Melayu yang cacat, orang Citak menjelaskan kepadanya bahwa mereka membuat tombak karena takut orang yang mengejar mereka. Guru itu berdayung terus dan bertanya kepada orang Kogo apa yang mereka buat di sana. Sementara itu Rep dan Enem sudah bersembunyi di alang-alang. Orang Kogo menenangkan guru itu dengan menjelaskan bahwa mereka hanya menunggu istri mereka yang berada di hutan. Guru itu percaya mereka dan melanjutkan perjalanannya.

Ketika dia pergi, orang Rep dan Enem muncul kembali dan bersama-sama mereka lagi mengejar orang Citak. Mereka itu telah masuk kembali ke perahu mereka untuk melarikan diri. Mereka meninggalkan sebuah perahu kecil dan membagi diri mereka di antara tujuh perahu lainnya. Kemudian perahu dari kampung Gadom muncul di hadapan mereka dan menutup kali. Orang Citak melihat bahwa mereka terjebak dan mulai menembakkan panah yang kena beberapa orang Kogo. Perahu dari Gadom menyerang orang Citak dan menggulingkan salah satu dari perahu mereka. Empat perahu Citak masuk anak kali kecil, tetapi tidak ada jalan keluar. Rep, Enem dan Kogo menggulingkan dua perahu lainnya.

Maka pecahlah suasana neraka. Orang Citak satu demi satu dikena tombak berduri tajam, anak-anak jatuh ke dalam air. Orang Yakai mengepung mereka dan berlompat-lompat di sekitar mereka. Laki-laki kuat yang bersenjata menyerang anak-anak berusia 10 hingga 14 tahun yang menciut karena ketakutan dan tidak melihat jalan keluar. Pada akhirnya, semua orang Citak terbunuh.

Malam itu semua orang Yakai masuk gereja seperti biasa, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Aboge in jaren \'70
Orang yang selamat

Senin pagi seorang anak laki-laki Citak dengan luka parah tiba di Kepi. Di punggungnya masih ada ujung panah berduri. Waktu mereka diserang, dia berenang di bawah air keluar dari tempat perang dan bersembunyi di alang-alang. Berdiri di air, dia menunggu sampai menjadi malam dan dalam gelap dia merayap terus. Tengah malam dia menemukan suatu perahu kecil. Kehabisan tenaga dia naik perahu itu, lelah karena perjalanan panjang dan terlebih lagi karena luka-luka panah. Dengan tangannya yang terluka dia mengambil sebuah papan kecil dan mulai mendayung, ketakutan, sendirian di kegelapan yang pekat, dengan sadar bahwa jika dia ditemukan dia akan dibunuh.

Dari anak itu Misi dan Bestuur belajar apa yang terjadi di kali Miwamon. Selama berminggu-minggu dia dirawat di rumah sakit untuk pulih dari luka-lukanya yang dalam. Tentu suatu keajaiban bahwa dia berhasil datang ke Kepi.

Tiga minggu kemudian, muncul seorang lain lagi yang luput dari pembantaian. Ini adalah anak laki-laki berusia sekitar 10 tahun. Selama tiga minggu dia telah mengembara di hutan. Badannya kurus kering ketika dia tiba di Kepi. Di rumah sakit dia berbaring di sebelah anak pertama yang baru mulai pulih sedikit. Mereka memanggil perawat itu mama, dan minta tembakau dari setiap orang yang lewat tempat tidur mereka. Dan masih satu kata lain yang mereka tahu: pulang – kembali ke tempat asal mereka!

Dalam perjalanan pulang dari patroli, secara kebetulan HPB bertemu dengan 7 orang Citak yang lolos dari maut. Tapi semua orang lain tewas. Jumlah persis korban tidak diketahui tapi diperkirakan sekitar 90 orang.

6. Gelombang kejut

Kepi: Bestuur

Berita pembunuhan massal ini membuat mengguncangkan orang di Kepi. Du Buy dan Maturbongs masih dalam perjalanan, di Kepi tinggal komandan detasemen yang bernama Sourbach. Dia segera menghubungi pastor-pastor Misi untuk membahas apa yang perlu dilakukan. Pada hari Senin dia mulai membakar bivak-bivak di sepanjang kali-kali dan di tiap-tiap kampung dia mengumpulkan semua senjata. Melucuti senjata adalah prioritasnya yang pertama.

Berdasarkan jadwal patroli Du Buy dan Maturbongs, dalam beberapa hari mereka harus tiba di kampung Aboge. Oleh sebab itu Sourbach kirim sekoci dengan motor tempel ke Masin, untuk menunggu HPB dan Maturbongs tiba di sana. Dengan demikian mereka dapat pulang dari Aboge ke Kepi dalam waktu satu hari saja. Sourbach kirim surat dengan sekoci itu untuk HPB Du Buy, melalui pastor muda itu yang telah pindah dari Wanggete ke Aboge. Pastor itu disuruh untuk segera berikan surat itu kepada Du Buy ketika dia tiba di sana. Pastor Meuwese juga menulis surat kepada rekannya itu untuk memberitahu apa yang telah terjadi.

Kepi, prauwen pasen 1952
Perahu-perahu di pelabuhan Kepi

Aboge

Seminggu setelah pembantaian pertama, Du Buy tiba di Aboge. Saat itu dia belum tahu apa-apa tentang peristiwa di kali Miwamon. Pastor muda itu menyerahkan surat dari Sourbach kepadanya yang memintanya untuk sesegera mungkin kembali ke Kepi. Tetapi Du Buy tidak mau membatalkan patrolinya. Pastor itu menekankan bahwa ada sekoci yang menunggu dia di Masin; kalau besok pagi langsung berangkat dia sudah bisa di Kepi pada Minggu malam.

Du Buy: Ya, tapi saya mau pergi ke daerah Citak dulu untuk berbicara dengan mereka.
Pastor: Tetapi orang Citak itu sudah datang ke sini dan sekarang mereka berada di hutan untuk beberapa minggu untuk meratapi mereka punya orang yang dibunuh itu, dan kemudian mereka mau membalas dendam.
Du Buy: Memang, tetapi saya mau pergi lihat mereka dulu.
Pastor: Kalau begitu lebih baik bapak jalan potong dari sini ke kali Wildeman, itu makan satu hari saja sampai ke tempat mereka. Kemungkinan lain ialah bapak pergi ke Kepi dulu dan kemudian dari sana naik ke Citak.
Du Buy: Tidak, saya akan jalan dengan kapal.
Pastor: Itu makan sekurang-kurangnya tiga hari dan di Kepi mereka menunggu bapak…

Tetapi HPB itu tetap mempertahankan keputusannya. Hari Minggu pagi dia berangkat untuk ke Kepi melalui kali Kampung, kali Eilanden, kali Wildeman, kali Miwamon dan kali Oba. Sebuah jalan putar yang jauh.

Kogo

Pastor Huiskamp mengunjungi kampung-kampung di kali Miwamon. Demikianlah dia juga datang ke Kogo dan mengumpulkan orang di gereja.

Saya melihat Melania duduk dengan bayinya Geertruida. Pada hari Minggu itu dia juga masuk gereja. Penampilan yang rapi dalam baju yang baru, rambutnya disisir dengan hati-hati, dan Geertruida yang berbau sabun di pangkuannya. Dan saat itu dia sudah tahu bahwa Amatus telah membunuh seorang Citak dan bahwa jika semuanya tetap dirahasiakan dia nanti akan terima tengkorak di tangannya sebagai tanda keberanian suaminya. Melania yang menghabiskan satu tahun di asrama para biarawati.

Rep - Rintho Mansnandifu (Google Earth)-L
Kampung Rep masa kini (Google Earth)

Kepi: Misi

Hari Selasa malam, tanggal 4 Agustus. Sudah lebih dari seminggu setelah pembantaian. Saat itu beberapa pastor tidak ada di Kepi, tetapi sekarang mereka semua sudah hadir: Boelaars, Meuwese, Drabbe, Huiskamp. Pastor muda dari Aboge juga ada, kemarin dia sudah tiba dengan sekoci dari Masin yang dikirim oleh Sourbach. Orang tidak mengerti kenapa HPB tidak jadi ikut.

Dengan terpukul para pastor duduk bersama. Mereka terkejut dengan apa yang telah terjadi. Hasil kerja dua puluh tahun sudah rusak.
Cita-cita lama berburu kepala manusia telah dihidupkan pada generasi muda dan juga pada kampung-kampung lain yang menyesal kehilangan kesempatan karena tidak ikut serta pengayauan itu.
Orang Citak tentu akan membalas pembunuhan ini dan dengan demikian akan terjadi rangkaian pembunuhan baru.
Nama Yakai menjadi terkenal keji lagi di antara suku-suku lain; mereka tidak akan mau lagi menyekolahkan anak-anaknya di Kepi, dan juga tidak akan bersedia menerima guru-guru agama dari Yakai.
Nanti sekelompok besar orang akan dijatuhi hukuman jangka panjang. Akibatnya, pekerjaan di kampung-kampung akan sangat terhambat. Lagi pula ketidakhadiran laki-laki itu akan menyebabkan masalah-masalah moral yang besar bagi para perempuan yang ditinggalkan.

Dalam rapat pagi itu, para pastor ambil keputusan bahwa untuk sementara waktu orang yang telah ambil bagian dalam pembantaian itu tidak akan diterima untuk sakramen pengakuan dosa dan mereka juga tidak boleh terima sakramen komuni.

Kali Miwamon

Kamis itu, komandan Sourbach dan dokter Poldervaart pergi mencari mayat-mayat itu. Pastor muda ikut juga, orang Citak itu dia punya orang! Beberapa pelaku pembunuhan itu dibawa serta, karena mereka harus menunjukkan lokasi di mana mereka menyembunyikan mayat-mayat itu. Sebenarnya mereka tidak mau, dan hanya sesudah desakan berat maka mereka menunjukkan tempat-tempat itu.

Apa yang mereka temukan sangat mengerikan. Mayat-mayat yang tidak terkubur yang dilempar ke bawah alang-alang, ada yang sudah dipenggal kepalanya, beberapa dengan kepala masih terletak di sampingnya.

Larut malam hari itu, kapal Castor dengan Du Buy dan Maturbongs akhirnya tiba di Kepi.

Jakai man met speer
Seorang Yakai dengan tombak

Tanah Merah

Hasil pengusutan pembunuhan adalah bahwa ada 15 pelaku utama, 70 orang lain yang juga ikut membunuh, 40 orang yang menghasut para pelaku, dan 40 orang penonton. Kelompok terakhir itu dikirim pulang ke kampung masing-masing, tetapi yang lain semua diadili. Pada akhirnya, sejumlah besar dipenjarakan di Tanah Merah untuk masa beberapa tahun. Misi untuk sementara waktu kirim pastor Huiskamp ke Tanah Merah. Wilayah Miwamon adalah lapangan kerjanya dan dia tahu bahasa Yakai. Dia harus membimbing orang Yakai yang dipenjarakan.

New York

Lingkaran gelombang kejut dari pembantaian di kali Miwamon juga mencapai New York. Para pastor di Kepi sudah menantikan hal itu:

Belanda telah mengambil tanggung jawab untuk mengembangkan orang Papua, agar mereka dapat menggunakan hak menentukan nasib atas status politik mereka. Belanda harus memperhitungkan mata dunia, yaitu U.N.O.

Sudah pada tanggal 7 Agustus, yaitu sehari setelah pencarian mayat di Miwamon dan HPB kembali ke Kepi, Kementerian Luar Negeri di Den Haag menerima pesan kode rahasia dari New York dari salah satu diplomat mereka di PBB:

Menyusul siaran pers di sini tertanggal 4 Agustus, di mana sebuah komunike dikeluarkan oleh Departemen Urusan Umum mengenai pembunuhan empat puluh lima orang Papua, saya ditanyai oleh misi Australia. Saya akan dengan senang hati menerima informasi lengkap tentang masalah itu.

Seminggu kemudian, Den Haag menjawab bahwa orang Citak dari wilayah yang belum dikelola Belanda telah diserbu oleh kampung-kampung Yakai yang sudah ditaklukkan. Faktor yang melunakkan yang disarankan di akhir berita itu sebenarnya tidak menolong orang Yakai maupun Bestuur di Kepi:

Perlu dicatat di sini bahwa perampokan seperti itu, pengayauan, dan perang-perang suku merupakan bagian dari kebiasaan tradisional penduduk daerah yang belum atau hampir belum ditaklukkan oleh Bestuur.

Merauke

Hubungan Misi Katolik di Kepi dengan HPB Du Buy sudah lama memburuk. Pembantaian orang Citak oleh orang Yakai mengakibatkan hubungan antara kedua pihak itu pecah. Para pastor di Kepi tidak lagi percaya terhadap kemampuan HPB Du Buy dan tidak mau bekerja sama lagi dengan dia.

Tragedi pembantaian ini adalah bahwa hal itu dapat dicegah jika Bestuur tidak menutup telinga terhadap peringatan yang berulang-ulang, antara lain dari para pastor.

Ketika Residen Zuid Nieuw-Guinea dan Gubernur ternyata tetap mendukung HPB Du Buy, Misi menyatakan perang terhadap Bestuur. Menurut mereka, Bestuur harus merasa bahwa Misi bukan organisasi yang dapat diabaikan.
Uskup di Merauke meminta bantuan dari perwakilan partai Katolik dalam parlemen di Den Haag, dan juga dari media Katolik di Belanda. “Tentu tidak mudah untuk menyatakan perang,” tulisnya kepada salah satu pastor di Kepi, “tetapi jangan sampai 70 orang lagi akan kehilangan nyawanya karena tidak ada kebijakan dari Bestuur.”

Tillemans - geheugen van Tilburg 01-L
Uskup Merauke, Mgr. Herman Tillemans, M.S.C.
(Foto dari https://www.geheugenvantilburg.nl/)

Den Haag

Dengan demikian gelombang kejut mencapai Den Haag untuk kedua kalinya. Pada tanggal 28 Agustus, anggota DPR De Graaf dari partai Katolik mengajukan pertanyaan tertulis yang jelas dibisikkan oleh Misi di Kepi dan Merauke. Ia ingin tahu:

  • apakah benar para pastor di Kepi sudah sejak lama memperingatkan Bestuur tentang apa yang bisa terjadi,
  • apakah benar bahwa HPB tidak mau bekerja sama dengan Misi,
  • apakah menteri akan mengambil tindakan untuk mencegah terulangnya kebijakan yang menyengsarakan seperti itu di masa depan,
  • dan apakah dia bersedia untuk menegur dengan keras pejabat-pejabat Bestuur yang ternyata gagal dalam pelaksanaan tugasnya.
Theo de Graaf (1967)
Th.M.W. de Graaf (1912-1983), anggota Parlemen Belanda untuk partai katholik KVP 1948-1963

Sebulan kemudian, menteri menjawab bahwa petugas Bestuur yang bersangkutan “tampaknya” kurang memperhatikan peringatan dari Misi; “setidaknya dia tidak mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah letusan seperti yang sudah terjadi.” Menteri itu juga menulis bahwa pejabat ini sementara itu telah digantikan oleh “seorang pejabat lain yang berpengalaman lebih dalam hal mengelola kelompok penduduk primitif, dan yang sikap pribadinya menjamin kerja sama yang baik terus-menerus dengan organisasi yang bersangkutan.”

Jawaban ini didahului dengan surat rahasia yang panjang-lebar dari Gubernur Nieuw-Guinea kepada Menteri Dalam Negeri di Belanda. Di dalamnya, Gubernur antara lain menjelaskan bahwa Misi mencoba

mewujudkan pola berpikir baru, yaitu mewujudkan sintesis ekspresi budaya lama dan budaya baru.(…) Kepemimpinan Misi telah lama ragu-ragu apakah dalam budaya baru Misi akan mencoba mencari sambungan dengan budaya lama. Mereka mengerti sangat baik bahwa unsur-unsur budaya lama, yang mereka coba melestarikan tetapi yang berakar dalam kebutuhan sosial dan ritual yang sebelumnya dominan untuk membunuh dan memenggal kepala, dapat menyebabkan orang jatuh kembali ke kebiasaan buruk yang dulu.

Ucapan itu berarti bahwa menurut Gubernur itu Misi setidaknya ikut bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi.

P.J. Platteel (1911-1978), Gouverneur Nieuw-Guinea 1958-1962
P.J. Platteel (1911-1978), Gubernur Nederlands Nieuw-Guinea 1958-1962.

7. Epilog

Di atas?

Bertahun-tahun kemudian, pastor di Kepi yang paling garang melawan HPB Du Buy mewawas diri:

Di mana semuanya berjalan salah? Tidak jujur untuk hanya menyalahkan kebijakan Bestuur yang kurang tegas. Apakah Misi karena takut akan Zending mungkin bekerja terlalu ekstensif, melakukan pembaptisan massal terlalu cepat, memberi pimpinan yang terlalu otoriter, tanpa cukup memperhatikan apa yang terjadi di dalam diri orang Yakai itu sendiri?

Di samping!

Pastor muda itu sudah jauh lebih awal sampai pada kesimpulan itu. Pada minggu-minggu sesudah pembantaian itu, pastor-pastor di Kepi mendesaknya untuk sesegera mungkin kembali ke tempat tugasnya di Aboge. Alasannya, bahwa bisa saja orang Citak akan membalas dendam kepada guru-guru agama di kampung itu. Tetapi pastor muda itu bersikap apatis terhadap dorongan mereka. Teman-temannya berpikir dia tidak lihat bahayanya. Tetapi alasan bahwa dia hampir tidak mau berbicara dan duduk saja di kamarnya dengan matanya menerawang sebenarnya jauh lebih dalam. Sudah selama bertahun-tahun dia makin tidak puas dengan cara Misi bekerja.

Dia kecewa berat, dan akhirnya dia isi barang-barangnya ke dalam kaleng turne dan meninggalkan Kepi untuk kembali ke Aboge. Tetapi dia tidak akan pernah kembali dari sana. Sesampainya di Aboge, dia tutup buku, naik sekoci dan berangkat dengan tujuan yang tidak diketahui.

Apakah saat itu dia mengingat kembali akan kunjungannya ke Mappi-pos? Dia tidak mau berdiri di depan pemburu-pemburu kepala untuk mencegah pengayauan, tetapi juga tidak di atas mereka untuk menguasai mereka. Dia tidak datang untuk membudayakan mereka entah dengan cara manis atau dengan tindakan yang keras. Dia datang untuk menunjukkan kepada mereka bahwa pengampunan bukanlah kelemahan, tetapi merupakan kekuatan Injil. Dia mau berdiri di samping mereka, bahu-membahu di hadapan Allah, untuk bersama-sama hidup dari pengampunan!

IMG 4675-L
Pastor Van der Velden dengan orang kampung Isage.

 

Sumber

Buku / publikasi:

  • Arnold, Anthony Peter, A Slim Barrier. The Defence of Mainland Australia 1939-1945. Thesis UNSW Canberra 2013.
  • Baal, J. van, Description and analysis of Marind-anim culture (South New Guinea). The Hague 1966. (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Translation series 9)
  • Bloemenhuis Maturbongs, Renato van, De regenmakers en andere korte verhalen uit Nieuw-Guinea. Haarlem (Hollandia) 2004.
  • Boelaars, J. (M.S.C.), Papoea’s aan de Mappi. Utrecht-Antwerpen (De Fontein) 1958.
  • Boelaars, J. (M.S.C.), Met Papoea’s samen op weg. Deel 2: De baanbrekers: het openleggen van het binnenland. Kampen (Kok) 1995.
  • Boelaars, J. (M.S.C.), Met Papoea’s samen op weg. Deel 3: De begeleiders. Kampen (Kok) 1997.
  • Boelaars, J. (M.S.C.), Vechten of sterven. Analyse van een Koppensnellers-cultuur in Zuid-West Irian, Indonesia. Niet gepubliceerd (Per modum manuscripti) 1975.
  • Cappetti-van den Beld, Roosje, Herinneringen aan Nieuw Guinea 1952-1961. Soest (Boekscout.nl) 2008.
  • Cornelissen, J.F.L.M., Pater en Papoea. Ontmoeting van de missionarissen van het Heilig Hart met de cultuur der Papoea’s van Nederlands Zuid-Nieuw-Guinea (1905-1963). Kampen 1988 (dissertatie Katholieke Universiteit Nijmegen)
  • Jong, L. de, Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog. Deel 11a. ’s-Gravenhage (Staatsuitgeverij) 1984.
  • Kerklaan, Marga (red.), Het einde van een tijdperk. 130 jaar persoonlijke belevenissen van Nederlandse missionarissen. Baarn (Ambo) 1992.
  • Richardson, Don, Peace child. Glendale California (Regal Books Division) 1974.
  • Simmonds, Ed , World War, 1939-1945 — Australia — Radar defense networks. Hampton (Radar Returns) 2007 (internet editie van eerdere gedrukte editie 1992)
  • Simpelaere, Paul, Bij het volk van de Asmat. Papoea’s van Nieuw-Guinea (Irian Jaya). Bussum (Fibula – Van Dishoeck) 1983.
  • Thomson, Donald F., War-time exploration in Dutch New Guinea. In: The Geographical Journal, Vol. CXIX part I, March 1953.
  • Velden, J.A. van der, brief in: Annalen MSC, jg 70 (1956) nr 11, pg.170.
  • Velden, J.A. van der, Zuid Irian Jaya. In: Tot aan de einden der aarde, 1977, p.284-285.
  • Velden, J.A. van der, Vreemd vliegt de Paradijsvogel. Franeker (Van Wijnen) 1997.
  • Verschueren, J., Dorpen stromen leeg als de snelhoorn roept. In: De Tijd – godsdienstig-staatkundig dagblad, donderdag 11 october 1951, pagina 5.
  • Verschueren, J., Mappiërs en Aujoes verzoenen zich met elkaar. In: De Tijd – godsdienstig-staatkundig dagblad, zaterdag 13 october 1951, pagina 7.

Arsip-arsip

Arsip Nasional di Belanda

Nationaal Archief, Den Haag, Ministerie van Koloniën en opvolgers: Dossierarchief 1945-1963, nummer toegang 2.10.54, inventarisnummer 10825, Geheim dossier 1952-1962. (Penomoran dokumen-dokumen berikut dibuat oleh saya sendir).

  1. Vertrouwelijk schrijven van A. Boendermaker, de Resident van Zuid Nieuw-Guinea, aan Zijne Excellentie de Gouverneur van Nederlands Nieuw Guinea te Hollandia, Merauke 16 mei 1956.
  2. Ministerie van Buitenlandse Zaken, ontvangen codebericht, 7 augustus 1959, confidentieel, afkomstig van Polderman, New York.
  3. Ministerie van Zaken Overzee, Memorandum van C.M. Dieudonné, Directie Ned. Nieuw-Guinea, aan Mr. R.P.H. Ritter, Ministerie van Buitenlandse Zaken, met concept antwoord aan Polderman.
  4. Vertrouwelijk schrijven van Platteel, Gouverneur van Nederlands-Nieuw-Guinea, aan de Minister van Binnenlandse Zaken, Directie Nederlands-Nieuw-Guinea, 12 september 1959, betreffende: Ongeregeldheden in het Mappi-gebied.
  5. Vertrouwelijk schrijven van Platteel, Gouverneur van Nederlands-Nieuw-Guinea, aan de Minister van Binnenlandse Zaken, Directie Nederlands-Nieuw-Guinea, 12 februari 1960, betreffende: Ongeregeldheden in het Mappi-gebied en het vraagstuk der verchristelijkte adat.
  6. Vertrouwelijk schrijven van A. Boendermaker, Resident van Zuid Nieuw Guinea, aan de Gouverneur van Nederlands Nieuw Guinea te Hollandia, 16 mei 1956, betreffende: Moeilijkheden in Asmatgebied.

Perpustakaan Universitas Leiden

  1. den Haan, Rapport: Toestanden in ongecontroleerd gebied in Zuid Nieuw Guinea, Collectie Moll, D H 1430-6, gedateerd 15 juli 1948.

Arsip Missionarissen van het H. Hart
Erfgoedcentrum Nederlands Kloosterleven
:

Inventaris nr 5190: Correspondentie en verslagen vanuit Mappi, 1949-1970, omslag 1955
(Penomoran dokumen-dokumen berikut dibuat oleh saya sendir)

  1. Boelaars, Kerstmis in Nieuw Guinea.

Inventaris nr 5191: Correspondentie en verslagen vanuit Mappi, 1949-1970, omslag 1959-1960.
(Penomoran dokumen-dokumen berikut dibuat oleh saya sendir)

  1. Boelaars, Aan het Hoofd van Plaatselijk Bestuur te Kepi, Onderwerp: verhuizingen; Kepi 21 juli 1959. [D 297]
  2. Boelaars, Aan het Hoofd van Plaatselijk Bestuur te Kepi, Onderwerp: Woningen te Enem; Kepi 21 juli 1959. [D 298]
  3. Boelaars, Aanbiedingsbrief bij nota ter bespreking, aan het Hoofd Plaatselijk Bestuur te Kepi, 22 mei 1959. [D 289] ???
  4. Boelaars, Brief aan de Hoogedelgestrenge Heer C.F. Knödler te Kepi, Kepi 10 augustus 1959. [D 315]
  5. Boelaars, Brief aan Monseigneur, Kepi 7 augustus 1959. [D 314]
  6. Boelaars, Gevolgen van hetgeen gebeurde in de Mappi in juli 1959. [D 381]
  7. Boelaars, Rapport met betrekking tot de gebeurtenissen in de onderafdeling Mappi in 1958 en 1959. [D 382]
  8. Boelaars, Surat kepada Tuan Guru, Kepi 11 december 1959. [D 389]
  9. Boelaars, Verslag van het gesprek tussen Resident C.F. Knödler en H.P.B. de Buy Pastoor C. Meuwese en Dr. J. Boelaars Kepi woensdag 12 augustus 1959. [D 316]
  10. Huiskamp, Rondzendbrief aan de Katholieke bevolking in het Obaa-district (verkort), Kepi 15 juli 1959. [D 296]
  11. Huiskamp, Verslag, Kepi 29 juli 1959. [D 387]
  12. (Huiskamp), Brief aan Monseigneur, Kepi 4 augustus 1959. [D 384]
  13. Huiskamp, Brief aan de bisschop dd 7 augustus 1959. [D 313]
  14. Meuwese, Verloop van snelpartij gehouden door mensen van Rep-Enem-Kogo-Gadöm-Wanggete en Ogojim op zaterdag 25 en zondag 26 juli. [D370]
  15. Missie Merauke: Voorgeschiedenis van de overval op de Tjitakmensen uitgevoerd door de Jaqaj (Mappi-gebied) op 24-25 juli 1959. Merauke 18 augustus 1959. [D 368]
  16. Tillemans, Brief aan Beste Paters, Merauke 19 augustus 1959. [D 323]
  17. Tillemans, Meningen van Binnenlands Bestuur en Katholieke Missie omtrent de gebeurtenissen in de onderafdeling Kepi 25-26 Juli 1959. Merauke 19 augustus 1959. [D386]
  18. Zonder naam, Punten ter bespreking naar aanleiding van het gebeuren in Mappi. [D 307]
  19. Zonder naam, Verloop van de gebeurtenissen op 23 juli 1959 en de volgende dagen in de onderafdeling Kepi. [D 383]

Dokumen-dokumen Parlemen Belanda:

  • Aanhangsel tot het verslag van de Handelingen der Tweede Kamer, Deel II Zitting 1959-1960, nr 2002: Vragen van de heer De Graaf (K.V.P.) in verband met een overval op een Tjitakstam in het Mappigebied in Nederlands Nieuw-Guinea (Ingezonden 28 augustus 1959); Antwoord van de heer Toxopeus, Minister van Binnenlandse Zaken (Ingezonden 29 september 1959).

Informasi yang diperoleh secara pribadi:

  • Ewin Edward Noya, informasi mengenai anak perdamaian di Kamur
  • Sylvia Dresser, informasi mengenai Senggo-lama

–//–

 

One thought on “33 – Pastor di daerah Mappi

  1. Arter

    oktober 10, 2022 at 2:11pm

    Semoga TUHAN terus memberkati dalam pelayanan untuk bapa dan ibu (ARTER Kepi)

  2. Nicholas Cooper

    februari 11, 2024 at 5:16am

    Hi! Someone in my Facebook group shared this site with
    us so I came to check it out. I’m definitely loving the information. I’m bookmarking and
    will be tweeting this to my followers! Great blog and fantastic design and
    style.