45 – Fajar menyingsing di Mappi atas

 

1-B-L
Mumaha Besagi

 

PENGANTAR

Bulan Juni tahun 1956, Simboro Amukagi, kepala besar dari suku-suku di hulu kali Mappi, pergi ke kali Digul dengan rombongan 90 orang laki-laki. Mereka mau bikin damai dengan musuh-musuh lama di kali Si, dekat Tanah Merah. Tahun sebelumnya mereka masih memenggal kepala satu sama lain, tapi sekarang mereka mau berhenti dan bayar semua hutang darah.
Damai ini bisa jadi karena kerja dari Pemerintah yang satu tahun sebelumnya sudah bikin damai juga di kampung-kampung Jair di selatan. Di kampung Banabusu, dekat kali Digul, mereka bikin pesta besar untuk perdamaian. Itu kasih harapan buat Pemerintah dan Misi, dan juga buat Zending Protestan yang belum ada waktu itu, tapi yang muncul di Tanah Merah satu tahun kemudian dengan kedatangan pendeta Drost di Tanah Merah.
Tentu saja, damai di kali Si belum memastikan bahwa mulai dari kesepakatan itu tidak akan ada pembunuhan lagi, tapi orang punya harapan bahwa daerah itu akan jadi lebih aman dan tenang dari sebelumnya.

 

1. PEMERINTAH :
PERLUASAN YANG TERPAKSA

 

Patroli yang membawa bencana

 

Lalai atau disengaja?

Pada bulan Mei tahun 1956, HPB di Tanah Merah, bapak L.O.A. Moll, kirim patroli ke hutan yang dekat di utara dari tempat yang tahun lalu ada masalah besar (lihat posting yang lalu). Moll pikir sekarang waktu yang pas. Inspektur Polisi De Haas diberi tugas untuk memimpin patroli ini. Moll kasih tahu rencana: dari Tanah Merah ke kampung Yoto di kali Mappi – jalan yang sama Moll pakai tahun lalu – lalu naik kali Mappi ke utara sampai ke muara kali Wana (waktu itu pemerintah kenal itu sebagai Mappi Anak). Setelah itu mereka harus ikut kali itu, lalu jalan terus sampai ke kali Digul, kira-kira di seberang muara Takum. Dari sana mereka bisa pulang ke Tanah Merah lewat darat atau lewat kali.
De Haas dengar keterangan itu tanpa memberi komentar. Moll juga kasih dia surat instruksi. De Haas memasukkan surat itu ke dalam sakunya, tetapi – demikian keterangannya kemudian – dia tidak pernah baca surat instruksi itu, karena dia pikir dia sudah mengerti dan sudah tahu semua. Tapi mungkin dari awal dia sudah mau pilih jalan sendiri. Dia orang keras kepala dan tidak cocok dengan Moll. Mungkin dia pikir rencana Moll terlalu hati-hati. Akhirnya, dia jalan jauh lebih jauh dari rencana yang diberikan kepadanya. Daripada ikut kali Wana, dia ikut kali Mappi sampai ke muara kali Manggono, dan terus naik ikut kali itu. Mungkin dia terinspirasi dari ekspedisi besar kapten Wiarda, dua puluh tahun sebelumnya.

Wiarda

Dulu, tahun 1936, ada komandan di Boven Digul namanya kapten Wiarda. Dia mengadakan patroli pakai kapal motor Lily ikut kali Mappi dan mampir juga di anak-anak kali besar itu. Dari kali Mappi, pertama dia masuk kali Kowo dengan kapalnya, lalu jalan terus lagi pakai perahu dayung. Waktu balik ke Mappi, dia lanjut ke daerah rawa-rawa danau Mappi. Pulang dari sana, dia masuk kali Manggono. Di tepi kali itu dia lihat ada dusun dengan dua belas rumah tinggi dan bivak. Tapi karena air terlalu dangkal, kapal tidak bisa jalan terus. Jadi dia naik perahu lagi. Dua hari mendayung, tapi arus kali makin kuat, jadi tidak bisa lanjut. Kali ketiga yang dia kunjungi waktu itu adalah kali Wana (“Mappi Anak”), dan dia naik kali itu dengan kapal Lily lebih dari tujuh jam masuk ke dalam.
Waktu De Haas jalan, itu sudah dua puluh tahun setelah penjelajahan Wiarda. Selama itu, belum ada lagi yang pergi ke hulu Mappi.

Pada awalnya, patroli De Haas berjalan tanpa masalah. Di sepanjang kali Mappi, mereka ketemu banyak orang dari seberang kali dan yang punya hubungan dengan kampung Ikisi. Orang itu bilang mau pindah tinggal di kampung-kampung dekat kali Mappi supaya bisa masuk di bawah kekuasaan Tanah Merah. Itu keputusan besar bagi orang Awyu, karena biasanya mereka tinggal di dalam hutan, aman dan tersembunyi, dan sebenarnya mereka tidak suka tempat terbuka. Tapi sekarang mereka sendiri putus untuk mau bikin kampung di tepi kali. Itu tanda mereka capek dengan perang suku yang tidak pernah selesai. Tetapi mereka juga bilang bahwa mereka berani coba tinggal di tempat seperti itu hanya kalau Pemerintah jaga.

IMG 018771-L
Hulu kali Mappi

Kecelakaan di Manggono

Tapi di kali Manggono terjadi kecelakaan. Apa yang benar-benar terjadi, tidak diketahui pasti karena laporan dari De Haas hilang. Cerita yang ada hanya dari surat-surat Moll dan orang lain. Dari situ, kita bisa kira-kira susun ceritanya. Mungkin dekat kali Mare, mereka ketemu sekelompok orang Kombai yang tampak tidak ramah. De Haas bikin bivak di pinggir kali, tetapi ternyata dia takut mereka akan diserang malam-malam. Hujan deras, dan air kali naik cepat dan mulai membanjiri bivak itu. Tengah malam, De Haas putuskan untuk pergi. Dia tidak mau tunggu diserang dalam keadaan seperti itu. Mereka bikin rakit, dan semua orang naik ke atas, lalu hanyut ikut arus dalam gelap.

Awalnya tidak masalah, tapi waktu sampai di sekitar Uni kemudian, rakit tabrak batang pohon yang ada di bawah air, dan terbalik. Semua penumpangnya masuk air bersama barang mereka. Banyaknya barang itu hilang, termasuk senjata. Tapi untung semua anggota patroli bisa selamat dan naik ke darat.

Akibatnya

Moll sangat marah setelah dengar berita kecelakaan ini, karena ternyata De Haas menyimpang dari rute yang telah digariskan dan pergi terlalu jauh ke daerah yang belum dikuasai Pemerintah Belanda. Moll tidak mengerti kenapa De Haas tidak tunggu saja di dalam bivak sampai pagi. Kalau benar ada serangan – yang sama sekali belum pasti akan terjadi – mereka punya cukup senjata untuk membela diri. Kalau pagi sudah datang, mereka bisa putuskan apa yang harus dilakukan. Tapi De Haas jawab dia takut kalau pagi hari mereka di atas rakit jadi sasaran panah yang mudah. Moll tetap pikir keputusan De Haas terlalu cepat dan berbahaya. Naik rakit malam-malam dan hanyut di kali yang banjir itu lebih berisiko.

Moll pikir orang hutan yang mereka temui itu mungkin dari suku yang pada tahun 1950 diserang habis-habisan oleh para pembunuh Van Stockum. Mungkin karena itu mereka takut dan marah ketika mereka lihat patroli bawa senjata.

IMG 1891 - PS-AI INDO

Saksi diam

Sekitar duapuluh tahun kemudian, Ruben dan Daniel, dua anak kecil umur kira-kira 8 dan 10 tahun, duduk di tepi kali Manggono memandang bapak mereka, bapak Rul, yang sedang menyelam cari ikan pakai kaca-molo. Pagi-pagi sekali mereka naik perahu ke tempat ini, beberapa tikungan di bawah kampung Uni. Kali lagi surut dan air tenang, jadi mudah cari ikan atau udang di dasar kali. Kalau Rul dapat hasil, dia naik sebentar dan lempar tangkapan ke anak-anaknya di darat.

Pada suatu saat dia naik dan teriak, bilang lihat sesuatu yang aneh di dasar kali. Dia taruh alatnya di darat dan menyelam lagi. Anak-anak tunggu dengan penasaran. Setelah beberapa saat, bapak mereka naik lagi, bawa barang besar. Dia berenang ke tepi dan anak-anak bantu angkat. Ternyata itu kaleng turne model lama, yang sudah tidak dipakai lagi.

Sore mereka kembali ke kampung. Semua orang datang lihat temuan itu. Orang-orang tua ingat pernah dengar cerita bahwa dulu ada perahu yang terbalik di sekitar situ. Ada yang pikir itu pendeta Drost, katanya dia pernah jalan dari Kawagit ke kali Mare, lalu turun ikut kali, lewati Uni, dan kecelakaan waktu hampir malam.

Itu cerita yang saya dengar dari bapak Rul beberapa tahun kemudian. Tapi di laporan-laporan pendeta Drost tidak ada cerita tentang perjalanan seperti itu, juga tidak ada catatan tentang suatu kecelakaan di sana. Tapi bisa dimengerti kenapa orang kira itu Drost. Orang Papua di kali Mare waktu itu tidak tahu siapa De Haas. Tapi mereka tahu, waktu kampung Uni dibuka, ada cerita bahwa dulu pernah ada orang kulit putih turun kali dengan cepat karena ada masalah. Mereka juga dengar tentang kecelakaan di Manggono. Tapi tidak tahu detailnya. Jadi mereka pikir pasti itu Drost – karena dia satu-satunya orang Belanda yang mereka tahu pernah ke situ sebelum Uni dibuka.

Penutup dari kaleng itu tidak ditemukan. Saya tukar kaleng itu dari bapak Rul dengan kaleng baru yang bisa dikunci pakai kunci gantung. Kaleng tua itu kami pakai di rumah kami di Wanggemalo sebagai tempat payung. Waktu itu saya belum tahu kalau kaleng itu adalah saksi diam dari bencana patroli De Haas.

 

Dengan NNGPM naik kali Mappi

Kunjungan singkat

Hari Minggu, tanggal 2 September 1956, lima kapal dari NNGPM berangkat dari Bade ke arah kali Mappi untuk survei gravitasi (catatan-1). Daerah Mappi atas dan danau Mappi waktu itu belum banyak dikenal, tetapi waktu orang lihat dari pesawat, ada rumah-rumah tinggi. Karena itu, mereka ajak pastor Arie Vriens ikut; wilayah kerjanya waktu itu di daerah Awyu di bagian bawah kali Mappi. Pak Moll juga ikut, karena daerah itu masuk tanggung jawabnya. Dia harap mungkin bisa ketemu dengan orang-orang yang tidak lama sebelumnya bermasalah dengan De Haas.

Dua ‘rumah kapal’ dengan tidak berhenti naik kali Mappi sampai ke muara kali Manggono, sedangkan pastor Vriens dan HPB Moll naik kapal kecil dan singgah-singgah di kampung-kampung sepanjang jalan. Tapi sayang, mereka cuma bisa tinggal sebentar-sebentar, karena ini perjalanan ikut orang lain, bukan jalan sendiri.

Huisboot-van-de-nngpm-te-sorong-ba3809-L
‘rumah-rumah kapal’ dari NNGPM
IMG 1905 Kaart Vriens 1956 - Bewerkt
Peta yang digambar oleh pastor Vriens.

Di kampung Ikisi, polisi dari Tanah Merah ikut naik. Karena dari situ, mereka sudah masuk wilayah yang belum dijaga pemerintah. Waktu malam, mereka lewat kampung Wurifioghon, Somi, dan Ghaja. Nama kampung Boma tidak disebut dalam laporan ekspedisi ini, mungkin karena waktu itu belum ada.

Moll dan salah satu pemimpin ekspedisi naik kali Manggono. Mereka temukan bekas bivak-bivak rombongan De Haas, tapi tidak bertemu orang. Cuma ada satu perahu diikat di pinggir kali – tanda bahwa ada orang, tapi mereka tidak kelihatan.

Waktu pulang ke Bade, mereka singgah di kampung Ghaja. Ada beberapa rumah, tapi tidak ada orang. Di kampung Somi, mereka dengar kepala kampung Ghaja namanya Darei, dan orang-orang dari kampungnya mau gabung ke Somi. Bentuk kampung Somi masih sesuai cara lama: ada rumah laki-laki sendiri, dan tujuh rumah perempuan. Orang-orang di sana takut-takut. Nama pemimpin di sana itu Somoghai (itu Sema Fioho kah?).

Simboro

Wurifioghon (kemudian jadi kampung Sohokanggo) masih baru dibangun. Anak-anak muda sambut mereka dengan ramai dan senang. Tapi mereka harus tunggu kepala kampung, karena dia masih di kampung lama, di dalam hutan. Akhirnya dia datang – inilah Simboro! Seorang tua, hidung besar, kulit agak putih, pakai topi polisi warna hijau yang sudah tua, dan koteka dari labu, padahal semua orang lain di situ pakai penutup kecil.

Dua orang ahli tanah, Esser dan Janssen, kaget melihat dia. Tapi Moll tidak bisa hindar – Simboro peluk dia erat, sedang cerita panjang lebar. Intinya, dia bilang uang perdamaian waktu acara damai di kampung Si belum dibayar semua. Dia pikir HPB datang pakai perahu motor karena mau urus masalah itu.

Di kampung ini masih ada satu kepala lain lagi, namanya BĂĄna. Seorang tua badan tinggi, satu matanya buta, kelihatan menyeramkan. Dia datang jalan pelan-pelan dari hutan lewat batang-batang pohon yang ditebang, bawa parang tua di tangan.

 

Masuk wilayah pemerintah

 Masih belum aman

Sesudah pulang ke Tanah Merah, pada bulan Desember Pak Moll kirim beberapa pegawai ke kali Mappi untuk memasukkan kampung-kampung baru itu secara resmi menjadi wilayah yang dijaga pemerintah. Tapi keadaan belum aman.

Sekitar bulan Juni 1958, orang dari Somi dan Boma serang kampung Werarop di daerah Kombai. Polisi dari Tanah Merah, dipimpin Inspektur Van Lint, pergi cari pelaku. Delapan orang dari Boma ditangkap dan dipenjarakan. Tapi pelaku utama dari Somi tidak ketahuan. Tidak heran kalau rombongan polisi yang pergi awal tahun 1959 lihat kampung-kampung di Mappi-atas kosong semua.

Waktu itu, HPB baru di Tanah Merah adalah Fanoy. Bulan Juli 1958, dia pergi ke kampung-kampung Mappi bersama rombongan orang polisi. Mereka naik rakit dari perahu dan dayung dari kampung Ikisi ke atas.

Raaff 139a-L
Boma, sekitar 1959
T6-7 R001-062 TVI7-L
Ibu-ibu kampung Werarop santai sore hari; 1959
Raaff 143a-L
Ikisi, sekitar 1959

Di kampung Womu mereka ketemu beberapa orang. Salah satu polisi yang bernama Akoyama, seorang Awyu, jadi penerjemah (catatan-2). Lewat dia, Fanoy tanya siapa kepala perang. Mereka jawab: Sema Fioho (bapaknya Filipus). Fanoy kasih dia kapak dan tunjuk dia menjadi kepala kampung. Feyo Forki (om dari Genemo) jadi mandur. Orang lain juga dikasih barang kontak, seperti korek api, pisau cukur, dan tembakau. Sesudah itu, Sema dan Feyo ikut mereka sebagai penunjuk jalan.

Waktu sampai di Boma, hanya ada beberapa orang saja. Fanoy bilang mereka harus hentikan perang terus-menerus, dan tunjuk Jaliaha Momelemi jadi kepala kampung. Tapi keadaan tetap kacau. Ada kabar orang Somi rencana mau serang lagi ke dalam hutan. Polisi dipimpin Pak Raaff pergi periksa, tapi tidak temukan bukti. Akhir tahun itu, pegawai pemerintah Wamafma keliling kampung-kampung Mappi untuk bantu warga bangun kampung lagi, tapi Boma masih tetap kosong.

Wamafma-L
Alex Wamafma, lahir 1939, bertugas di Boven Digul 1958. Di Sibil 1960.

Merauke

Fanoy kirim laporan ke atasannya di Merauke, Residen Knödler. Tapi dia kritik bahwa tidak perlu buru-buru bangun kampung-kampung baru. Fanoy balas bahwa warga sendiri yang minta bantuan untuk bangun kampung. Tapi dari jawaban itu, kelihatan kalau pimpinan di Merauke sebenarnya tidak suka dengan perluasan wilayah ini. Mereka kekurangan tenaga. Di Tanah Merah sendiri, jumlah pegawai pemerintah juga makin sedikit. Kepala-kepala lokal tidak bisa tolak permintaan warga, tapi mereka juga tahu bahwa buka daerah baru percuma kalau tidak ada kelanjutan dan pendampingan.

Maret 1960, Fanoy lagi-lagi pergi naik kapal ke kampung-kampung Mappi. Dia singgah di Sohokanggo dan Somi. Pada perjalanannya yang berikut, dia sampai ke danau Mappi dan masuk juga ke kali Manggono. Di Boma tidak ada orang. Tapi beberapa bulan kemudian, sebagian orang Boma kembali ke kampung. Kepala pos kepolisian di Tanah Merah Alfons datang ketemu mereka. Sebagai tanda damai, mereka bersama makan dua ekor burung kasuari.

Waktu itu juga, orang dari kampung Khohu (kosong sejak 1958) ditemukan lagi. Ternyata mereka pindah lebih ke dalam dan sudah bangun kampung baru di tepi Kali Khohu yang bernama Tagiop.

Rupanya, pelan-pelan orang mulai tinggal menetap di kampung-kampung ini.

Havinga-foto 008-L
Kapal Bestir  ‘Pollux’ ; di darat berdiri suster Havinga dan HPB Fanoy.
Raaff 175a-L
Fanoy dalam kapal pemerintah

 

2. MISI :
SIAPA AKAN LEBIH DULU?

 

‘Lumbai’ yang misterius

Akhir tahun 1956, pastor Thieman di Tanah Merah dengar dari pegawai pemerintah tentang satu suku yang namanya ‘Lumbai’ (catatan-3). Katanya mereka tinggal di antara kali Digul (sekitar tengah antara Tanah Tinggi dan kali Kasuari) dan kali Mandari (catatan-3) cabang dari kali Mappi. Sebelumnya Thieman sudah pernah dengar kalau di daerah itu banyak orang. Dia jadi sangat ingin pergi lihat sendiri, tapi wilayah tugasnya sudah besar sekali. Waktu dia kirim surat minta tolong kepada uskup Tillemans waktu pendeta Drost mau datang ke Tanah Merah, balasan uskup tidak memuaskannya karena tidak janji pertolongan. Tapi Thieman tetap tidak bisa lupa tentang daerah itu. Dia tulis di buku hariannya: “Sayang kita tidak bisa buka daerah itu! Mungkin malah kita harus kasih ke pendeta Protestan!”

Awal tahun baru, dia tetap pergi ke Mappi, pasti untuk cari jalan ke daerah orang Kombai. Tapi baru saja dia kembali, Drost datang ke Tanah Merah. Drost bilang dia tidak ada rencana untuk kerja di Tanah Merah, tapi mau pergi ke hulu kali Digul dan Kasuari. Dia bilang dia tidak akan ke daerah Mappi. Di pertemuan berikut, Drost usul supaya buat garis pembatas, supaya jelas mana daerah Katolik dan mana daerah Protestan. Thieman janji akan bicarakan hal itu sama uskup.

IMG 4801-L
Pastor Thieman di Tanah Merah.
IMG 4739-L
Uskup Tillemans di Merauke.

Tugas ganda

Uskup di Merauke ternyata juga kuatir tentang kehadiran pendeta Protestan di Tanah Merah, walaupun sebelumnya tidak bilang terus terang ke Thieman. Dia kasih tugas ke pastor Karel Huiskamp (dari Kepi) dan pastor Koos van der Velden (dari Aboge) untuk pergi ke kali Mappi dan kunjungi kampung-kampung baru. Di kampung-kampung besar mereka harus tempatkan guru agama (katekis). Maksudnya supaya gereja Katolik duluan masuk sebelum pendeta Protestan datang (catatan-4).

Alasan kedua untuk patroli ini adalah karena perjalanan pastor Vriens (bulan September 1956) dan pastor Thieman (bulan Januari 1957) perlu ada tindak lanjut.

IMG 4557-L
Pastor Huiskamp di Kepi
IMG 4627-L
Pastor Van der Velden dalam Perahu (sedang bercukur).

Kedua pastor itu jalan dari Wanggate ke kali Mappi, dan naik perahu ke arah hulu. Di Sohokanggo mereka bertemu dengan orang dari kampung Somi (kampung berikutnya ke atas). Orang Somi bilang bahwa kampung mereka tidak ada orang, dan kampung-kampung yang lebih jauh juga kosong. Karena itu, kedua pastor itu putuskan untuk kembali dan tempatkan lima katekis yang mereka bawa di kampung-kampung yang lebih dekat ke hilir, walaupun kampung-kampung itu masih kecil dan rumah-rumah di sana cuma seperti pondok darurat. Dalam laporan ke uskup, mereka bilang bahwa nanti kampung-kampung kecil itu harus digabung supaya bisa berkembang. Sayangnya mereka tidak tulis nama-nama kampung yang dapat katekis, tapi kelihatannya Sohokanggo waktu itu belum dapat.

Awal Juli 1957, pastor Thieman kaget mendengar bahwa Drost mau pakai danau Mappi sebagai garis batas antara Misi dan Zending. Dia pergi temui Drost untuk tanya langsung. Ternyata, Drost malah rencana kirim dua pendeta: satu untuk sebelah utara dari kali Kasuari, dan satu lagi untuk daerah antara kali Kasuari dan danau Mappi—tempat orang Kombai tinggal. Thieman sangat kecewa dan tulis di buku hariannya: “Daerah itu saya mau ambil. Sebentar lagi saya pergi ke sana untuk lihat sendiri.” Beberapa hari kemudian, dia berangkat ke Mappi dan kali Manggono.

 

Ke mata air kali Mappi

Perjalanan ganda

Bulan Februari 1959, pastor Van der Velden dan pastor Huiskamp pergi lagi ke Mappi. Sekarang ancaman dari pendeta Protestan makin nyata, karena dia bisa pakai perahu motor (kapal “Ichthus”) untuk masuk kali Mappi, dan dari Tanah Merah ke kampung Ikisi juga cuma dua hari jalan kaki.

Dalam perjalanan ini ke hulu sungai Mappi dan ke Manggono, dua pastor itu mau coba bikin hubungan dengan orang Kombai yang masih misterius. Mereka naik kapal dari Kepi, lewat kali Obaa, Miwamon, dan Wildeman ke kampung Sufo. Dari situ, mereka jalan potong ke Kowo. Di sana mereka bertemu sembilan orang dari Wanggate yang bawa dua perahu besar, dan juga lima orang Awyu dari Aboge. Besoknya mereka naik kali Mappi.

Sementara itu, ada rombongan lain yang terdiri dari pastor Meuwese, Lommertzen, dan Jonker berangkat dengan kapal dari Kepi ke arah kali Ndeiram. Mereka mau cari jalan untuk masuk daerah orang Kombai dari atas. Kedua rombongan janjian ketemu tanggal 27 Februari di satu tempat di kali Becking kecil (Ndeiram-hitam).

VdVelden-jonge Pater-L
Pastor Jacobus van der Velden, 1957.

Simboro

Di Sohokanggo, pastor Huiskamp dan Van der Velden bertemu kepala kampung yang terkenal, namanya Simboro. Mereka harap dia bisa kasih informasi tentang orang Kombai, tetapi usaha itu tidak berhasil banyak. Dalam laporan patroli mereka tulis:

“Dia sangat takut berbicara tentang suku itu. Cuma karena kita mau pergi ke sana, itu saja sudah bikin orang-orang mulai cerita-cerita, jadi cepat sekali beredar berbagai cerita-cerita yang menggambarkan betapa jahat orang Kombai itu. Salah satu orang dari Wanggate malah minta pulang.”

Besoknya mereka teruskan perjalanan. Mereka tidak langsung masuk ke kali Manggono, tapi dulu masuk ke kali Yama. Di sana ada satu kampung Awyu, tetapi kepala kampung itu tidak ada. Katanya dia ada di daerah kali Manggono. Dua anak muda bersedia antar mereka ke sana, dan hari berikut mereka masuk ke kali Manggono. Setelah empat jam dayung, mereka sampai di satu pondok kosong milik orang Kombai. Pastor Van der Velden mau terus naik, tapi orang Wanggate sangat takut. Pastor Huiskamp pikir tidak aman kalau mereka dipaksa. Van der Velden tanya ke orang Aboge, tapi hanya dua orang yang berani. Cerita-cerita dari Simboro dan orang Sohokanggo buat semua jadi takut. Jadi mereka ambil keputusan untuk kembali ke kali Yama.

IMG 018757-L
Danau Mappi

Seorang pelarian

Mereka terus naik kali Mappi, lewat danau Mappi, sampai di tempat di mana kali jadi dangkal. Di tikungan banyak batu kerikil besar. Mereka bikin pondok dan menginap. Hari berikut, Van der Velden mulai buka jalan rintis ke arah kali Becking. Setelah satu jam, dia ketemu satu anak yang langsung larikan diri. Van der Velden coba panggil dia kembali dan bilang tidak usah takut, tapi anak itu tetap hilang dalam hutan.

Sementara itu, tiga pastor dari rombongan yang lain itu menjelajahi anak-anak kali Ndeiram. Pakai perahu dayung, selama tiga jam pastor Lommertzen naik kali Vomu, lalu dua jam lagi jalan kaki sampai ke satu pondok panjang dan rumah tinggi. Dia bermalam di sana. Besoknya, dia masuk lebih dalam ke hutan lagi. Setelah satu setengah jam, dia sampai di beberapa rumah tinggi; nama dusun itu Asseremi. Orang-orang di sana awalnya takut, tapi kemudian tenang.

Tiba-tiba, beberapa orang dari dusun Memesani datang lari-lari, tubuh penuh lumpur, keringat banyak. Lalu muncul satu anak laki-laki umur sekitar 13 tahun. Dia sangat kaget melihat Lommertzen dan mau lari. Tapi pastor panggil dia kembali. Anak itu cerita bahwa dia tadi lihat seorang kulit putih bersama dua orang Papua. “Tuan itu pakai topi, dan dia panggil saya dalam bahasa Awyu: ‘Mari, jangan takut, saya ini Tuan kamu!’” Lommertzen mengira bahwa itu pasti pastor Van der Velden. Dia langsung masuk hutan mau cari orang putih itu, tapi tidak ketemu. Masih lebih dari seminggu lagi sebelum tanggal pertemuan yang dijanjikan, dan ini juga bukan tempat yang mereka rencanakan untuk bertemu.

ZGK-kaart 1971-dubbeltournee MSC - Ai -PS INDO

Bomakia

Pastor Huiskamp dan Van der Velden tinggal hampir satu minggu coba cari jalan ke kali Ndeiram. Salah satu orang Papua yang ikut mereka benar-benar temukan kali itu. Dia bilang kalinya selebar kali Mappi, tapi dangkal dan banyak batang pohon di air, jadi perahu motor tidak bisa lewat di situ. Mereka tidak punya waktu untuk cek lebih lanjut, dan sudah jelas bahwa kapal Misi tidak mungkin bisa naik kali sampai sejauh itu.

Dalam perjalanan pulang, mereka bermalam di kampung Boma; 40 tahun kemudian, Van der Velden cerita:

“Sore itu mereka lihat matahari terbenam yang sangat indah; hutan di seberang kali kelihatan seperti terbakar. Pohon-pohon dan semak menyala terang sebelum malam turun dan menutup semuanya. (…) Orang-orang dari Bomakia datang duduk dekat mereka. Pastor Jacobus tulis nama-nama mereka: Jalejara [Yaliaha] adalah kepala kampung, Sema tinggal di Womu (kampung di bawah), dan Mumaha berasal dari Somi tapi sekarang tinggal di seberang kali. Dia sudah berdamai dengan orang Bomakia dan kasih adiknya menjadi Jalejara punya istri keempat. Tapi mereka tidak mau ikut ke wilayah orang Kombai. Katanya orang Kombai itu jahat, baru-baru ini mereka serang tempat ini dan bawa lari dua perempuan muda. Mereka kuat dan tinggal jauh naik kali Manggeno, lebih tinggi dari tempat tinggal orang Uni.”

Havinga Dia 064-L
Mumaha
ZIT-0215-L
Mumaha

Mereka juga ketemu beberapa orang dari Uni; mereka janji kalau nanti para pastor datang lagi, mereka bisa antar ke Kombai. Para pastor rencana akan kembali langsung sesudah Paskah (tanggal 29 Maret). Waktu itu mereka juga mau bawa beberapa katekis atau pembantu katekis untuk ditempatkan di Ikisi, Sohokanggo, dan Boma; tetapi selanjutnya para katekis itu memang perlu dikunjungi setiap dua bulan.

IMG 4840-L
Kapal Misi dan kapal Pemerintah di pelabuhan Tanah Merah.

 

Tindak Lanjut yang Tersendat

 Meuwese (1)

Rencana itu tidak jadi. Di sekitar Kepi, situasi jadi tegang. Pada tanggal 26 dan 27 Juli 1959, terjadi pembunuhan besar di sepanjang kali Miwamon: lebih dari 70 orang Citak yang baru pulang dari kunjungan ke Kepi dibunuh. Akibat peristiwa itu, para pastor menjadi terlalu sibuk pada bulan-bulan berikutnya untuk pergi berpatroli ke Mappi.

Baru pada Februari–Maret 1960, pastor Meuwese dan Ramaaker coba lagi pergi cari hubungan dengan orang Kombai. Ternyata kampung-kampung di sepanjang kali Mappi kelihatan bagus. Hasil kerja pegawai pemerintah Wamafma memang bagus. Tapi sayang, mereka lihat orang-orang belum sungguh-sungguh tinggal di situ. Misalnya, di Sohokanggo ada 20 rumah baru, tapi tidak ada orang.

Mereka sampai di Bomakia dan ketemu orang yang dulu janji akan antar mereka ke Kombai. Orang itu ikut naik kapal dan mereka masuk ke kali Manggono. Tapi baru dua jam jalan, mereka terhenti karena ada pohon besar tumbang melintang di kali. Pohon itu terlalu dalam ke dalam air untuk bisa dipotong, dan air terlalu dangkal untuk dilewati perahu. Jadi, sekali lagi usaha untuk ketemu orang Kombai gagal.

Tb41-42 R001-056 Tb41-42-L

Pohon jatuh melintang kali Manggono

Meuwese (2)

Setahun kemudian, Meuwese datang lagi kunjungi kampung-kampung di sepanjang kali Mappi. Sekarang sudah ada beberapa katekis. Tapi yang dari Somi dan Womu sudah tinggalkan tempat. Kata mereka bahwa pendeta dari Tanah Merah datang dan bilang bahwa dia yang berkuasa di situ. Meuwese bawa kembali katekis-katekis itu ke kampung mereka, dan dia coba jelaskan ke masyarakat supaya tidak takut pendeta atau polisi. Meuwese sendiri bingung harus percaya siapa, karena kadang para katekis juga tidak berani jujur waktu ditanya lebih dalam. Pendeta itu juga katanya janji akan kirim guru ke tiap kampung, tapi sampai sekarang baru satu guru ada di Bomakia. Masyarakat juga masih jarang tinggal di kampung, dan hanya kalau ada orang Belanda datang, mereka baru muncul sebentar, lihat-lihat kalau ada sesuatu bisa dibawa pulang. Para katekis sudah mulai mengajar agama kepada anak-anak di setiap kampung, walaupun anak-anak masih sering ke hutan, tapi sekarang mulai lebih baik. Di Sohokanggo juga misa sudah dibacakan.

Meuwese sadar bahwa sangat penting sekali kampung-kampung ini punya pastor sendiri yang tetap di daerah mereka. Kalau cuma dikunjungi dua bulan sekali, itu tidak cukup, apalagi kalau nanti pendeta Protestan betul-betul menetap di Boma.

IMG 7256-L

IMG 7170-L
Pastor Meuwese mengemudi kapal Misi.

Meuwese (3)

Dua bulan kemudian, Meuwese kembali lagi ke daerah ini. Sekarang, dia lihat bahwa Zending (misi Protestan) sudah mulai jadikan Bomakia menjadi tempat untuk simpan barang sebagai tempat perbekalan untuk kerja mereka ke arah Kombai. Sudah ada juga guru dari Belanda yang akan mulai sekolah kecil di sana.

Meuwese sudah dengar dari HPB Fanoy bahwa Zending tidak punya maksud untuk mulai bekerja di kampung-kampung lain di kali Mappi, tapi dia ragu itu betul, karena pendeta sudah pernah kunjungi beberapa kampung lain di Mappi atas. Bahkan di Sohokanggo Zending bangun rumah sederhana, padahal di sana sudah ada pembantu katekis.

Meuwese harap nanti akan ditempatkan seorang pastor untuk daerah ini, supaya kerja Misi bisa lebih intensif. Tapi selama itu belum jadi, sebaiknya dua kampung lain yang masih kosong juga harus diberi seorang katekis, “supaya dari segi pendudukan, kita duluan dari zending.” Mungkin salah satu dari dua kampung yang dia maksud adalah kampung Tagiop.

Tentang orang Kombai, Meuwese tidak bicara lagi. Karena sekarang Zending sudah menetap di Boma, sehingga jalan ke daerah Kombai sudah tertutup untuk pihak Katolik. Yang penting sekarang itu menjaga supaya kampung-kampung lain di Mappi atas tetap tinggal wilayah kerja Misi Katolik.

IMG 4825-L
Kapal Misi

3. ZENDING :
PINTU MASUK KE DAERAH KOMBAI

 

Cari tempat yang cocok

MKD-d-133-L
Orang Kombai di pesta ulat sagu yang dikunjungi pdt Drost pada patroli 1958.

Masalahnya

Drost memang serius waktu dia bilang bahwa dia tidak mempunya rencana untuk bekerja di daerah kali Mappi. Sejak awal, dan apalagi setelah dia ikut perjalanan besar dengan HPB Peters melintasi daerah Kombai, dia hanya fokus ke suku itu: itulah daerah yang dia mau Injili. Tapi untuk melaksanakan rencananya itu, dia harus cari tempat yang cocok di dalam daerah orang Kombai, atau setidaknya lebih dekat ke sana daripada Tanah Merah, untuk membangun pos Zending. Tempat itu juga harus bisa dibekali dengan mudah. Untuk itu ada dua kemungkinan: pakai kapal atau pakai pesawat. Dari kali Kasuari, kali Kouh, dan kali Manggono, hanya kali yang terakhir itu cukup besar untuk bisa dipakai dengan kapal. Kalau mau pakai pesawat, Zending Luchtvaart Vereniging (yang kemudian menjadi MAF) bersedia bantu, tapi untuk itu perlu dibuat lapangan terbang dulu.

Masalah paling penting adalah soal keamanan. Apakah aman bagi suatu keluarga tinggal di daerah di mana belum ada pemerintah, sehingga dalam keadaan bahaya atau hal darurat harus urus diri sendiri tanpa bisa cepat dapat bantuan dari polisi?

 Tamu tak terduga

Satu hari HPB datang ke rumah Drost. Dalam percakapan rahasia, dia bilang ke Drost bahwa Zending benar-benar harus bergegas sedikit dengan pekerjaan di Kombai. Jika tidak, bisa-bisa Misi Katolik duluan masuk ke sana! Karena HPB sudah dengar ada misionaris Katolik terlihat di daerah hulu kali Mappi dan sepanjang kali Ndeiram, tampaknya sedang mencari jalan masuk ke daerah Kombai.

Ini adalah langkah luar biasa dari Toon Fanoy, yang akhir Desember 1958 telah menjadi HPB menggantikan Frans Peters. Sebagai wakil pemerintah, dia sebenarnya tidak boleh memihak antara Misi dan Zending. Awalnya dia juga ingin benar-benar netral. Tetapi ketika dia lihat cara Misi kerja — yang menurut dia kurang menghormati pemerintah — dia jadi tidak suka dengan mereka. Di sisi lain, dia makin simpati ke pihak Zending. Namun, tentu saja itu harus tetap dirahasiakan.

Havinga-foto 61-L
Pendeta Van Benthem dan pendeta Drost

Patroli ke daerah Kombai

Tidak lama kemudian, Drost dan Van Benthem masuk ke daerah Kombai untuk cari tempat bikin pos zending. Mereka bawa duapuluh orang angkut barang dan jalan lewat Werarop dan dusun Kenamberop (kebun dengan sepuluh rumah tinggi) ke kali Mare. Di sana mereka jaga malam, karena kata kepala kampung dari Kouh yang ikut sebagai pemandu, orang Papua di daerah itu bisa saja serang dan tangkap orang untuk dimakan. Ini daerah yang dulu, tiga tahun lalu, ada bentrok antara patroli De Haas dan orang hutan. Dan belum satu tahun lalu, pekerja dari NNGPM diserang pakai panah dan lari kembali. “Tapi kami tidak kena apa-apa. Tuhan di surga jaga kami dengan mata-Nya yang terbuka,” tulis Drost keesokan pagi dalam laporannya.

Mereka lanjut jalan menyeberang kali Mare ke kali Rufu dan tinggal dua malam. Di sini juga jaga malam, tapi tidak terjadi apa-apa. “Kami tidur enak dalam perlindungan Tuhan.” Lewat Firiwage, mereka kembali ke Kouh dan Tanah Merah. Tapi di perjalanan ini, mereka belum temukan tempat yang cocok.

ZIT-0663-L

ZIT-0660-L
Drost dan Van Benthem pada patroli ke Kombai

Map III-276-L

093 C 109 (C19)(Foto 1-4)(glas) 93-L
Pendeta Van Benthem naik rumah tinggi.

Kecewa

Bulan Desember, Meijer pergi ke Hollandia untuk ketemu Boendermaker, mantan Residen bagian selatan Papua (Zuid Nieuw-Guinea), saat ini direktur Dalam Negeri dan Gubernur sementara. Dia mau bicara mengenai kabar  angin bahwa pemerintah tunda rencana masuk ke daerah Kombai. Kata Boendermaker, kabar itu tidak sepenuhnya benar. Sekarang memang belum bisa, karena kurang tenaga dan tidak ada anggaran. Mungkin hanya bisa buat pos polisi sementara.

Meijer pikir pemerintah sudah terlalu sibuk dengan Lembah Baliem. Itulah juga daerah ‘baru’ untuk pemerintah Belanda, tapi penduduknya jauh lebih banyak. Proyek itu mendapat lebih banyak perhatian, dan nanti bisa kasih hasil juga untuk Hollandia, seperti sayur-sayuran. Itu lebih menarik dibanding daerah Kombai.

Waktu bicara soal ini, HPB Fanoy frustrasi dan bilang, “Urus orang pergi berburu kepala manusia dan pastikan banyak orang mati, baru pemerintah pasti mau turun tangan!” Itu tentang apa yang terjadi di Kepi: sesudah pembunuhan banyak orang Citak, langsung pejabat tinggi turun tangan.

Usaha baru dari Drost dan Van Benthem untuk cari tempat di daerah kali Rufu atau dekat Fifiro juga gagal. Waktu itu juga daerah itu tidak tenang karena ada orang meninggal.

ZIT-0004-L
Pendeta Van Benthem pada patroli di hutan.

Pilihan Lain?

 Satu usulan

Drost mulai kehilangan harapan bahwa di sepanjang Manggono bisa dapat tempat bagus untuk membangun pos Zending. Setelah perjalanan terakhir, dia dan Rietkerk bicara lagi secara rahasia dengan Fanoy. Fanoy sendiri juga bingung bagaimana caranya untuk mengamankan wilayah ini yang sulit diakses. Baru-baru ini dia beberapa kali menyusuri kali Mappi dan Manggono dengan kapal. Dia usul, mungkin Bomakia bisa jadi tempat yang cocok untuk Zending mulai kerja ke arah Kombai. Menurut dia, orang di Bomakia ada banyak hubungan ke utara, misalnya ke Borokambia dan Tumariop, dan lebih jauh lagi. Mungkinkah tempat itu bisa menjadi titik tolak untuk pembukaan daerah Kombai?

Drost pikir Bomakia agak terlalu jauh ke selatan, tapi pemasukan barang melalui kali Mappi memang bisa. Dan kalau Zending menetap di sana, pemerintah mungkin juga akan buka pos di tempat itu untuk bantu jaga keamanan. Mungkin ini satu-satunya tempat yang aman untuk seorang misionaris bisa tinggal dengan keluarga. Dan dengan mendirikan pos Zending di Bomakia, mereka juga tutup jalan masuk ke Kombai bagi pihak Misi.

Misi mulai masuk diam-diam

Seminggu setelah itu, Drost dan keluarganya pergi ke Kouh dan Kawagit untuk bicara dengan Van Benthem dan Klamer tentang usulan dari Fanoy. Mereka juga setuju bahwa mungkin ini pilihan terbaik.

Waktu kembali ke Kouh, Drost dengar kabar yang mengganggu: sesudah perjalanan terakhir Drost dan Van Benthem ke Kombai, kapal Misi sudah naik kali Mappi, bawa pastor Meuwese dan pastor Hendriks, dan mereka juga sudah coba naik kali Manggono. Drost marah dan anggap ini sebagai upaya masuk diam-diam dari Misi. Dia tahu mereka kekurangan tenaga dan belum bisa tempatkan seorang pastor di Mappi atas, tapi dia tetap berpikir bahwa Zending tidak boleh anggap situasi ini tidak penting. Apalagi karena dia dengar bahwa Misi sudah tanya-tanya di Tanah Merah kapan pendeta zending akan cuti, dan apakah akan diganti orang lain saat itu! (catatan-5)

IMG 7328-L
Pastor Hendriks

Saran dari mantan pastor

Sementara itu, Drost juga tanya pendapat mantan pastor Van der Velden, yang pada tahun 1959 disuruh oleh uskup untuk coba masuk daerah Kombai lewat kali Mappi. Kemudian, waktu dia tinggalkan Misi dan bertemu pdt Drost di Tanah Merah, dia sudah sarankan Zending buat pos dekat Bomakia. Sekarang dia tulis:

“Dari pihak Misi, kamu tidak usah kuatir, karena mereka tidak ada di sana. Biarkan saja kampung-kampung Misi itu. Tapi mulai dari Ikisi ke atas, itu wilayah kamu — dan itu bagian paling penting dan paling baik.” (catatan-6)

Situasi sekarang sudah mendesak, jadi tim Zending ikut usul Drost: secepat mungkin mereka akan mulai bangun pos zending di Bomakia.

Meijer-A P76-4-L
Mantan pastor Jac. van der Velden dalam kantor di Jayapura, di mana dia bekerja selama dua tahun sebelum dia ke Belanda (sekitar 1960-1962). Dia meninggalkan Misi Katolik pada bulan Oktober 1959, lalu Drost bantu dia sampai ke Hollandia.

Kunjungan pertama

Tanggal 5 Mei 1960, Drost dan Van Benthem naik kapal “Ichthus” dari Tanah Merah menuju ke Bomakia. Perjalanan ini agak jauh, tapi karena mereka naik kapal, tidak perlu bawa banyak orang untuk pikul barang, dan dengan demikian mereka juga bisa lihat apakah kali Mappi betul bisa dipakai untuk kirim barang sampai di Bomakia. Lima hari kemudian, tanggal 10 Mei, mereka sampai di kampung kecil itu.

MKD-d-007-L
Pada kunjungan pertama pdt Drost dan pdt Van Benthem ke Boma. Kanan: pdt Van Benthem. Di pinggir kali Mappi, kapal Ichthus kelihatan.

Di situ ada 15 rumah tinggi dan bivak, belum ada rumah biasa. Pembangunan kampung sempat berhenti lama karena tahun 1958 polisi tangkap 8 laki-laki di situ, termasuk kepala kampung, karena kasus pembunuhan di Werarop. Waktu itu orang-orang jadi takut. Tapi Drost dan Van Benthem segera berhasil mendapatkan kepercayaan mereka.

Bersama dengan orang kampung mereka bangun rumah sederhana sebagai tanda bahwa zending sungguh-sungguh mau menetap di situ. Mereka juga pergi ke danau Mappi, tapi tidak ketemu orang di sana.

Beberapa hari kemudian, orang dari kampung Womu, Somi, dan Sohokanggo datang kunjungi mereka. Mereka minta guru-guru untuk kampung-kampung itu. Drost dan Van Benthem bersedia untuk janji itu, asal mereka mengerti bahwa mereka harus sabar karena perlu waktu sebelum mereka bisa memenuhi janji itu.

Hari Minggu pagi mereka adakan ibadah, setelah itu Drost kembali ke Tanah Merah dengan kapal, dan Van Benthem pulang jalan kaki ke Kouh. Mereka senang, karena Bomakia kelihatan cocok untuk menjadi tempat kerja Zending untuk daerah Kombai. Selain dua kampung Kombai di utara (Werarop dan Borokambianop), masih ada beberapa kampung lain di hilir di mana Misi Katolik belum kerja. Drost sekarang akan pergi cuti ke Belanda dulu, tapi dia harap bahwa setelah itu dia dapat membangun rumah untuk keluarganya di Bomakia, sekitar bulan Januari 1961. Rencananya Versluis juga akan mulai kerja dari Bomakia sampai dia temukan tempat tetap yang cocok untuk membangun pos Zending di pusat wilayah suku Kombai.

Map XI-410-L
Ikma Hugagi dari kampung Somi, yang waktu itu bersama dengan saudaranya Kikine Hugagi naik ke Boma tujuan minta guru. Mei 1960.

Map III-277-L

Map III-282-L-PH-L

Kikine Hugagi dari Somi, yang bersama dengan saudaranya Ikma Hugagi datang minta guru. Kikine punya anak ada dua, laki laki dan perempuan, laki laki namanya Yanggisi Hugagi (nama kristen: Yehezkiel Hugagi).Dia-097-L

MKD-d-104-L

ZIT-0780-L

 

Kampung-kampung di Mappi-atas

 

Misi Katolik atau Zending Protestan?

Sekarang jadi waktu yang sibuk. Zending tahu mereka harus sering-sering kunjungi Bomakia dan kampung lain di Mappi, supaya Misi Katolik tidak masuk duluan. Klamer, Van Benthem, dan Versluis (catatan-7) bergantian jalan ke daerah ini karena Drost dan Meijer sedang cuti. Sekarang semuanya tergantung pada mereka. (catatan-8)

Bulan Oktober, Pdt Klamer dan guru Rietkerk di Kawagit menangkap lewat radio suatu telegram dari Kepi ke Mindiptana yang minta guru agama untuk daerah Mappi atas. Tidak lama kemudian, guru-guru agama dari Misi Katolik memang datang ke Sohokanggo, Somi, dan Womu. Ada juga desas-desus sebentar lagi mereka akan taruh guru atau pastor di Bomakia. Oleh sebab itu sangat penting Zending terus kunjungi kampung itu sampai ada misionaris yang menetap di situ.

Orang-orang di kampung-kampung di selatan dari Bomakia bingung, karena kadang pendeta datang, kadang juga pastor Katolik. Mereka tahu dua pihak ini tidak cocok, tapi tidak tahu apa persis perbenaan antara Misi dan Zending. Bagaimana seharusnya mereka membuat pilihan? Jadi mereka lihat saja siapa yang bisa kasih barang lebih banyak: seperti tembakau, parang, kapak, dll. Dan juga mereka perhatikan siapa yang bisa kasih guru. Di bagian ini, Misi Katolik memiliki keuntungan karena langsung bisa bawa guru agama dan guru sekolah, sedangkan zending hanya bisa membuat janji. Tetapi yang merugikan Misi Katolik itu adalah bahwa para katekis kadang-kadang memberikan tekanan yang sangat berat kepada masyarakat kampung dengan segala macam ancaman yang tidak berdasar, dan beberapa dari mereka bahkan memukul anak muda jika mereka berani mau ikut Zending.

Bomakia

Lebih dari sebulan sesudah kunjungan pdt Drost dan pdt Van Benthem, pdt Klamer jalan kaki dari Kouh ke Bomakia. Waktu hampir sampai, pemandu jadi hati-hati dan berteriak dari jauh kasih tahu mereka datang. Dekat kampung, mereka disambut oleh kelompok orang dari Sohokanggo yang cari ikan di kali Mappi dan yang tinggal di bivak besar di pinggir kali.

Rietkerk Foto 035-L
Pdt Klamer berpatroli di hutan.

Bulan Oktober, laki-laki yang dulu ditangkap karena kasus di Werarop akhirnya bebas dari penjara. Di Tanah Merah, mereka disambut oleh pendeta Knigge dari Zending (catatan-9), dan atas inisiatif mereka sendiri, hari Minggu pertama mereka datang ikut ibadah bahasa Melayu. Mereka juga bantu turunkan barang milik Versluis yang baru sampai dengan kapal. Beberapa hari kemudian mereka naik kapal Pemerintah ke Kouh dan dari situ jalan kaki pulang ke Bomakia.

Womu dan Tagiop

Klamer sangat senang dengan kepala kampung Womu, namanya Pemo Forki. Dia ajak Klamer ke kampungnya. Mereka dayung satu setengah jam baru sampai. Orang di sini punya hubungan baik dengan kepala kampung Tanah Tinggi di kali Digul. Karena itu, dua anak muda dari kampung Womu kerja sebagai buruh di Hollandia: anak Pemo yang bernama Genemo, dan sepupunya Hugeru Forki.

Ketika Misi Katolik kirim guru agama ke sini, situasi jadi sulit. Guru itu ancam orang supaya tidak ikut Zending, katanya bisa masalah dengan polisi. Tapi masyarakat kampung, apalagi kepala kampung, tidak suka dia. Bulan Nopember, dia dan keluarganya ternyata sudah pergi. Salib yang dulu dipasang dekat kampung di pinggir kali, dia bawa juga. Tapi Misi tidak menerima begitu saja dan kirim seorang lain lagi.

IMG 018363-L
Salib di pinggir kali dekat Womu, 2022.

Fanoy ikut campur dan bicara dengan pastor Meuwese di Kepi tentang masalah dua organisasi penginjilan bekerja di kampung ini (Misi Katolik dan Zending Protestan). Ketika ia menghadiri rapat Zending (ZGK) di Kouh pada tanggal 1 September, ia juga membahas hal itu dengan para misionaris, karena Misi menyatakan bahwa mereka dulu sudah buat perjanjian dengan Drost bahwa daerah Mappi itu untuk Misi. Tapi Zending bilang tidak pernah ada perjanjian seperti itu. Hasilnya pembicaraan itu adalah bahwa Zending boleh pergi ke mana saja, tapi mereka hanya akan dapat bantuan dari Pemerintah kalau mereka akan kerja ke arah utara dari Bomakia, karena itu membantu rencana Pemerintah untuk tenangkan daerah Kombai. Kalau kerja ke selatan, mereka tidak akan dapat bantuan agar Pemerintah tidak dituduh pilih kasih.

Di Womu, orang tetap pilih Zending, dan guru agama dari Misi akhirnya pergi. Di Tagiop, tidak banyak masalah, karena letaknya kampung itu sedikit jauh dari kali Mappi dan susah dijangkau.

041 5 CAVersluis 97 (55) 41-L
Jalan dari kali Mappi ke Tagiop
043 5 CAVersluis 99 (57) 43-L
Jalan para-para di bagian rawa di jalanan dari kali Mappi ke Tagiop.

Somi

Somi kampung yang aneh. Rumah-rumah tidak sejajar, tapi dua baris panjang, dan pintu-pintu tidak menghadap ke jalan kampung. Kalau ada bahaya, orang bisa lari diam-diam lewat belakang masuk hutan. Kepala kampung yang waktu itu diduga pimpin penyerangan ke Werarop tahun 1958, tidak ada di tempat waktu pendeta Klamer datang kunjungi kampung ini. Menurut pemandu Klamer yang namanya Kewamu, yang dari dusun di atas kali Khohu, orang di sini “jahat betul.” Dia cerita kalau waktu musim kering, mereka suka ke danau Mappi dan sembunyi tunggu orang Kombai yang datang mancing, lalu serang dan potong kepala. Menurut dia, masyarakat kampung-kampung lain pun turut bersalah dalam hal ini.

Orang Somi tidak suka Zending datang. Mereka pikir Pemerintah akan marah kalau mereka terima Zending. Zending dan Fanoy pikir bahwa pasti Misi yang membuat mereka percaya demikian. Bahkan waktu Simboro dari Sohokanggo coba bujuk orang Somi untuk ikut Zending, tetap tidak berhasil.

Barangkali perkara yang berlarut-larut mengenai masalah perkawinan antara suku Awyu di kampung ini dan orang Jair di Boma juga berperan di sini. Pada bulan Maret, polisi bahkan harus datang untuk atasi masalah itu. Bagaimanapun juga, sikap masyarakat terhadap Zending tetap keras kepala, dan akhirnya Zending ambil keputusan untuk tidak lagi mengunjungi kampung ini untuk sementara waktu.

Sohokanggo

Waktu pendeta Klamer kunjungi Sohokanggo, kampung ini ada 19 rumah. Lokasi bagus di tepi kali yang tinggi, dan halamannya bersih dan rapi. Zending disambut dengan ramah. Seluruh masyarakat minta supaya Zending menetap di sini dan akan bekerja di kampung mereka. Simboro dan Hendrikus Ware sudah lebih dulu ke Tanah Merah untuk minta pendeta Drost datang ke Mappi. Oleh karena itu, tampaknya ada dasar yang cukup untuk membangun rumah sederhana untuk Zending di kampung ini. Van Benthem dan Versluis mulai membangunnya dan masyarakat membantu dengan penuh semangat.

Waktu mereka pulang, Simboro datang berpamit dengan mereka dengan peluk dan gosok dagu. Rumah Zending itu belum selesai, tapi orang kampung janji akan teruskan.

Mereka memang membuat demikian, tapi lama-lama Misi Katolik makin berpengaruh. Orang tua tetap ikut Zending, tapi anak muda mulai ikut guru dari Misi. Karena itu, akhirnya Zending putuskan juga tidak kunjungi kampung ini lagi untuk sementara.

Raaff 121a-L
Patroli polisi ke Sohokanggo, sekitar 1959.
T6-2 R001-017 TVI2-L
Salam gosok dagu

 

Pos Zending

 Versluis dan Fanoy

Waktu Versluis tiba di Tanah Merah pada tanggal 12 Juli 1960, dia langsung kunjungi kepala pemerintahan di sana, Fanoy, untuk memperkenalkan dirinya. Fanoy bilang baik kalau dia juga pergi kunjungi pastor Katolik. Versluis tidak terlalu tertarik dengan hal ini, karena menurutnya sulit untuk bikin kesepakatan dengan Misi Katlik, jadi dia pilih jalan dulu ke Kouh dan Kawagit untuk orientasi. (catatan-10)

Havinga Foto Hattem 035-L
Pendeta Versluis dengan keluarganya tiba di Tanah Merah. Dari kiri ke kanan: pdt Versluis, istrinya, ibu Rietkerk, ibu Klamer.
Havinga Foto Hattem 036-L
Pendeta dan ibu Versluis di depan rumah Zending di Tanah Merah.

Malam sebelum dia berangkat, Fanoy datang ke rumahnya. Dari pembicaraan itu, Versluis dapat kesan bahwa Fanoy kira waktu Drost dan Van Benthem rencana pergi ke Bomakia pertama kali, mereka akan jalan kaki dari Kouh. Tapi ternyata mereka naik kapal dan juga singgah di empat kampung lain yang waktu itu belum ada Misi Katolik. Sekarang mereka coba tarik kampung-kampung itu juga ikut dengan Zending. Fanoy bilang itu bukan maksudnya waktu dia usul Bomakia menjadi tempat kerja Zending untuk masuk Kombai.

Fanoy bersedia untuk ikut kalau Versluis mau kunjungi pastor, supaya dia dapat catat baik-baik apa yang dibahas; itu akan tolong jika kemudian akan timbul masalah. Tapi dia juga bilang bahwa Zending tidak usah terlalu sensitif dengan Misi Katolik, karena mereka sendiri juga tidak demikian. Versluis menyimpulkan bahwa Fanoy tidak akan membuat masalah kalau Zending juga akan kerja di keempat kampung lain itu.

Fanoy juga cerita, sebelum ada rencana Drost ke Bomakia, dia sudah dengar bahwa orang di kampung-kampung itu minta guru, dan waktu itu dia sudah meneruskan permohonan itu kepada Misi Katolik. Apakah maksud ucapannya itu adalah untuk mendesak Zending agar cepat-cepat bertindak?

Sesudah kunjungan Versluis ke Kawagit, Klamer antar dia kembali ke Tanah Merah. Di pelabuhan mereka dengar bahwa Misi Katolik mulai pindahkan guru-guru mereka. Klamer yakin mereka mau kirim ke kampung-kampung di Mappi. Jadi memang Zending harus bertindak cepat!

Geeft Idee Van De Kotta (34)-L
Pelabuhan Tanah Merah, sekitar 1960

Siapa akan tinggal di Boma?

Bulan Maret, Drost dan Meijer kembali dari cuti, dan langsung pergi ke Bomakia bersama Versluis. Sudah ada rencana: para utusan dari gereja Spakenburg akan bekerja di Kawagit, yang diutus oleh gereja Groningen akan bekerja di Kouh, dan yang diutus oleh gereja Enschede akan bekerja di Boma. Itu berarti bahwa Drost dan Meijer akan tinggal di Boma. Versluis, yang diutus oleh gereja Leerdam untuk bekerja di daerah Kombai, dulu akan tinggal di Boma, sampai nanti dia bisa buka pos Zending baru di hulu kali Manggono. (catatan-11)

Tb05-6 R001-020 Tb5-6-L
Di tengah jalan menuju ke Boma, pdt Versluis beristirahat.

Tukang, arsitek dan mandur

Versluis mau secepat mungkin pindah ke Bomakia bersama istri dan anaknya. Waktu kunjungan bulan Februari 1961, dia sudah mulai bangun rumah untuk keluarganya.

“Untuk rumah kami, saya pilih bukit kecil di pinggir kampung. Dengan begitu kami akan tinggal agak terpisah. Pemilik tanah setuju, itu bekas kebun dia. Kami kasih dia tembakau, manik-manik, baju, dan sabun. Dia juga izinkan kami bikin kebun. Di kaki bukit ada kali kecil (kali Boma) yang bisa kasih air waktu musim hujan.
Kami mulai dari awal: bersihkan rumput, potong pohon, cabut akar. Lalu kami bangun rumah ukuran 10 x 8 meter, atap model perisai.
Karena bantuan orang kampung, laki-laki dan perempuan, rumah selesai hari Jumat, 19 Februari. Mereka kerja keras. Di bawah atap ada pendopo ukuran 8 x 3 meter, dapur, ruang tamu besar, kamar tidur, dan kamar mandi. Nanti kami juga harus bangun gudang.
Malam itu orang kampung menari karena senang lihat rumah bagus itu. Kami sangat senang bisa bangun rumah sendiri. Semua bahan diambil dari hutan, tidak pakai paku. Alat satu-satunya cuma kapak.”

096 142CAVersluis=44 96-L
Pembangunan rumah pertama pdt Versluis di Boma.

097 143CAVersluis=45 97-L

Pindahan

Setelah itu, mereka tunggu kesempatan baik untuk pindah dari Tanah Merah ke Bomakia. Hanya bisa pakai kapal, tapi kapal Ichthus terlalu kecil untuk semua perabut rumah tangga dan bahan makanan untuk empat bulan. Satu-satunya cara adalah sewa kapal Pemerintah.

Fanoy setuju, dan pertengahan April kelihatan ada kesempatan, tapi batal karena kapal harus dipakai untuk jemput orang yang mau ikut pesta Hari Ratu di Tanah Merah.

Pertengahan Mei juga gagal. Awal Juni juga gagal. Lalu kapal rusak dan harus tunggu onderdil dari Hollandia. Butuh waktu lama sekali, dan oleh karena itu, Versluis dan keluarganya pergi ke Kouh untuk sementara waktu. Di sana mereka bisa bantu, karena Van Benthem sangat sibuk membangun rumah untuk ibu guru Nieboer dan suster Havinga.

Havinga Foto Hattem 037-L

Havinga-foto 49-L
Pendeta dan ibu Versluis dengan anak mereka di Kouh.

Setelah tinggal di sana satu minggu lebih, mereka dapat berita bahwa kapal sudah diperbaiki. Langsung mereka kembali ke Tanah Merah. Tanggal 23 Juni mereka berangkat dari Tanah Merah dengan kapal Pemerintah, dan kapal Ichthus ikut di samping. Lima hari kemudian mereka sampai di Bomakia.

Langsung mereka mulai bongkar barang. Semua orang kampung datang bantu. Sore hari semua sudah diturunkan ke darat. Di dalam rumah masih kacau, banyak kotak dan peti di mana-mana. Mereka cuma sempat pasang tempat tidur dan kelambu. Pintu belum semua selesai, gudang dan kamar mandi juga belum selesai. Tapi mereka sudah tiba!

Tergantung kepada Tuhan

Sejak hari pertama, mereka rasa betul bahwa mereka tergantung penuh pada Tuhan. Sesudah tiba, anak mereka, Goof, umur sekitar tujuh bulan, tiba-tiba sakit keras. Mereka tidak tahu kenapa. Mungkin perjalanan panjang terlalu berat untuk dia. Mereka pikir mau balik ke Kepi, perjalanan dua hari penuh naik kapal. Tapi untung, setelah tiga hari dia mulai sembuh.

Satu bulan sebelumnya, Meijer juga sakit parah di Bomakia. Waktu itu, pesawat air coba turun di kali untuk evakuasi, tapi kali Mappi itu ternyata terlalu sempit. Dalam keadaan darurat, pesawat bisa turun di Danau Mappi, dengan kapal itu dua jam dari Bomakia, tapi hanya bisa kalau air cukup tinggi.

Jadi jelas, mereka harus segera buat lapangan terbang. Pada waktu kunjungan sebelumnya, Versluis sudah lihat tempat yang cocok untuk itu.

Epilog

Sekarang mulai masa baru, untuk Versluis dan juga untuk Bomakia. Pekerjaan Zending di daerah Mappi-atas akhirnya bisa benar-benar mulai. Semoga nanti juga bisa sampai ke daerah Kombai. Fajar kabar baik mulai bersinar di tempat yang gelap ini! Sebagaimana Versluis tulis dalam suratnya ke gereja di Leerdam untuk memberitahukan bahwa ia menerima panggilan untuk menjadi misionaris di Papua:

“Supaya nanti Tuhan dimuliakan oleh pujian dari hati dan mulut orang-orang yang belum kenal Dia.” (catatan-12)

ZIT-0191-L
Bpk Mumaha Besagi di Boma, sekitar 1985. Anaknya Petrus menjadi pendeta (meninggal dunia tahun 2022).

Catatan

  1. Satu cara untuk lihat lapisan bawah tanah dengan ukur perbedaan gaya berat bumi, untuk untuk cari tempat yang mungkin ada minyak atau gas.
  2. Dia juga ikut pada patroli besar Bestir di daerah Kombai bulan Februari-Maret tahun itu, sama dengan pendeta Drost. Lihat cerita di posting nomor 11 s/d 17.
  3. Di tulisan laporan, misionaris tulis nama-nama seperti orang lain ucapkan, tapi dari cerita itu jelas bahwa maksudnya orang Kombai dan kali Manggono.
  4. Waktu itu belum ada indikasi bahwa Zending memang ada rencana ke sana. Meski begitu, pastor Thieman dan uskup Tillemans kelihatan tidak begitu mempercainya.
  5. Memang benar bahwa pada saat itu pendeta Drost dan bapak guru Meijer sebentar lagi akan ambil cuti.
  6. Ini kutipan dari laporan pendeta Drost. Dia pikir usaha infiltrasi dari Misi yang baru-baru ini ada hubungan dengan bantuan yang diberikan oleh Zending kepada pastor Van der Velden waktu dia meninggalkan Misi Katolik. Tetapi kami tidak temukan bukti di arsip Misi bahwa dugaan itu benar.
  7. Versluis tiba di Tanah Merah tanggal 12 Juli 1960.
  8. Awal bulan November Van Benthem datang, lalu Klamer, bulan Desember Versluis. Setengah awal Januari 1961 Versluis lagi, setengah kedua Knigge, awal Pebruari Versluis lagi. Bulan Maret pergi bersama-sama: Versluis, Meijer dan Drost, lalu Meijer sendiri, dan akhir April sampai awal Mei Versluis lagi. Setengah awal Mei Drost, setengah kedua Meijer, lalu Drost lagi.
  9. Knigge tiba di Tanah Merah pada tanggal 16 Agustus 1960.
  10. Waktu itu pastor Huiskamp yang bertugas di Tanah Merah, karena Thieman masih cuti. Huiskamp adalah pastor yang dulu bersama Van der Velden naik kali Mappi .
  11. Akhirnya bapak guru Meijer akan tinggal di Kouh untuk urus ODO (Opleiding Dorpsonderwijzers = Pelatihan Guru Kampung). Rencana pindah pendeta Drost dan keluarganya ke Bomakia batal, jadi hanya Versluis saja yang pada awalnya tinggal di Boma.
  12. Versluis, dalam suratnya ke gereja di Leerdam waktu dia terima panggilan gereja itu.

 

Sumber

Perpustakaan Universitas Leiden:

Koleksi Moll, KITLV, D H 1430

  • Moll, L.O.A., Bestuursmemorie van de onderafdelingschef Boven Digoel van 8 januari 1955 tot 23 januari 1957. Tertanggal 8 Maret 1957.
  • Moll, L.O.A., surat kepada Residen Zuid-Nieuw Guinea, tertanggal 14 Mei, 1956.
  • Moll, L.O.A., Laporan Bestuur Boven Digoel bulan Yanuari s/d April 1956.
  • Moll, L.O.A., Laporan bulanan, Mei 1956.

ARSIP NGK (Archief- en Documentatiecentrum van de Nederlandse Gereformeerde Kerken – ADC) :

  • Benthem, J. van, Rapporten. In: Zendingsarchief, Archiefnr 78, doos 14.
  • Drost, M.K., Rapporten. In: Archief Zending Enschede, archiefnr 78, doos 56.
  • Klamer, J., Rapporten. In: Archief zendende Kerk Spakenburg-Zuid, archiefnr 154, doos 10.
  • Meijer, J.W., Rapporten. In: Archief Vereniging Mesoz, archiefnr 253, doos 5

ARSIP TORONTO MISSION

  • Rapporten pdt Knigge

ARSIP NGK LEERDAM

  • Rapporten pdt Versluis

Arsip MSC dalam Erfgoedcentrum Nederlands Kloosterleven di St Agatha

  • Thieman, W. msc, buku harian, 3. Inv.nr 5045
  • (Thieman), Laporan perjalanan Masin – Tanah Merah, 2 Agustus s/d 12 Agustus 1951. Inv.nr 6415-B, bagian pertama.
  • Patrouille naar de Mappie-rivier van 30 april 1957 tot 9 mei 1957 door J. van de Velden m.s.c. en C. Huiskamp m.s.c.. Inv. nr 6415-B bagian pertama.
  • Beberapa catatan yang diambil dari paloran patroli Kapten Wiarda ke kali Mappi, 3 April – 2 Mei 1936. Inv.nr. 6463 (dokumen-dokumen dari sejarah daerah Mappi).
  • Boelaars, J., surat kepada uskup Tillemans, 12 Pebruari 1959. Inv.nr. 5190 (1959).
  • Huiskamp, K., Laporan patroli ke Mappi atas, 11-27 Pebruari 1959. Inv.nr. 5190 (1959).
  • Meuwese, C., Patroli dengan motor Misi, 11-28 Pebruari 1959. Inv.nr. 5191.
  • Lommertzen, W., buku harian, hal. 293-296. Inv.nr. 7881.
  • Meuwese, C., Patroli ke Mappi Atas; laporan kepada uskup, Kepi 12 Maret 1960. Inv.nr. 5204 sampai 1962.
  • Meuwese, C., Laporan patroli di triwulan pertama tahun 1961, kepada uskup. Inv.nr. 5204 sampai 1962.
  • Meuwese, C., Laporan triwulan Missi Kepi, April 1961 s/d Juni 1961. Inv.nr. 5204 sampai 1962.

Arsip pdt C.J. Haak:

  • Surat-48 (24 Mei 1988) ke gereja Enschede-Utara.

Arsip pdt J.P.D. Groen:

  • Fanoy, A., laporan-laporan bulanan dan triwulan
  • Meijer, J.W., Memoires, mengenai masa kerjanya di Papua (tidak diterbit)

Publikasi

  • Boelaars, J., Met Papoea’s samen op weg, jilid 2 dan 3. Kampen 1995 (2) dan 1997 (3).
  • Drost, M.K., Opnieuw naar de Kombay’s. Dalam majalah zending Ons Zendingswerk, tahun terbitan 4 (September 1959).
  • Geloof, T.C.C. van ‘t, Nederlands Nieuw-Guinea en de behandeling van oliearbeiders in Sorong. Onderzoeksseminar-III Koloniale Ervaring. Universitas Utrecht, 2015.
  • Velden, Aliene Bruinink van der Velden, WEST PAPUA ons verhaal: Presentatie Vreemd vliegt de Paradijsvogel. Pada pertemuan ‘Kansen door Onderwijs’. Di Youtube.(https://www.youtube.com/watch?v=4SdlIGIfVLA)
  • Velden, J.A. van der, Vreemd vliegt de paradijsvogel. Franeker 1997.

Nara sumber:

  • Barnabas Yeragi, Boma 02-01-2023
  • Catharina Theresia Noemo van der Velden – Gebse
  • Damianus Womu, Sohokanggo 30-12-2022
  • Don Hugagi (dari Boma), Internet
  • Dorteus Isimi, Sarbu 31-12-2022
  • Efraem Besagi (dari Boma), via internet
  • Genemo Forki, 12 maart 1996 (video)
  • Godi Ware, Sohokanggo 31-12-2022
  • J.W. Meijer, email-correspondentie 2019.
  • Karin Forki, Boma 01-01-2023, dan internet 2025
  • Karolina Forki (dari Boma), internet
  • Kikise Somi, Womu 30-12-2022
  • Lukas Kulehalemi (dari Boma), Sentani 12-01-2023
  • Robi Forki (dari Boma), internet 2025
  • Ruben Mito, anak dari Rul Mito uit Uni, internet 2025
  • Samuel Yeragi, Somi 30-12-2022
  • Yafa Yunagaifo, Boma 02-01-2023
  • Yonatan Momelemi, Boma 02-01-2023

–//–